tirto.id - Selasa (8/11/2016), warga ibukota Prefektur Fukuoka dikejutkan munculnya sinkhole alias lubang runtuhan raksasa di sebuah persimpangan jalan di tengah kota. Seorang warga yang sedang berada di lantai atas gedung dekat lokasi bencana berhasil mengabadikan momen kolapsnya aspal dan tanah yang di bawahnya. Kejadian itu menghasilkan lubang sepanjang hampir 30 meter dan sedalam 14 meter lebih.
Lubang runtuhan memotong kabel-kabel telepon dan pipa-pipa yang ditanam di dalam tanah. Demikian juga saluran air utama yang patah dan terus menerus mengeluarkan air limbah sehingga dalam beberapa jam saja sudah menggenangi lubang runtuhan. Saat pekerja konstruksi dan aparat keamanaan setempat tiba di lokasi, lubang raksasa itu sudah berubah menjadi waduk yang hampir terisi penuh oleh air berwarna kecoklatan.
Meski lubang yang menganga sebesar kolam renang standar olimpik, menurut laporan reporter lokal, hanya butuh waktu dua hari bagi pemerintah kota Fukuoka untuk memperbaikinya. Itu artinya, perbaikan jalan sampai pulih seperti sedia kala hanya membutuhkan waktu dua hari saja. Pada hari Kamis (10/11/2016), lokasi sudah sama seperti sebelumnya, seakan tidak terjadi apa-apa.
Namun, demi keselamatan pengguna jalan, pemerintah kota Fukuoka belum membolehkan kendaraan lewat selama beberapa hari. Jalan baru dibuka kembali dan lalu lintas menjadi normal seperti sedia kala sejak hari Selasa (15/11/2016).
Atas kerja yang luar biasa itu, pemerintah Fukuoka masih merasa harus menyatakan permintaan maaf resmi yang diedarkan ke awak media.
“Kami mengambil langkah hati-hati agar tidak memicu kecelakaan sekunder, dan untungnya tidak ada korban jiwa selama proses perbaikan. Terima kasih atas kerja keras semua pekerja konstruksi dan banyak pihak yang terlibat,” demikian pernyataan resmi pemerintah Fukuoka sebagaimana dilansir Fukuoka Now.
Dunia maya gempar dengan betapa tanggap dan efisiennya kerja pemerintah Fukuoka menanggulangi bencana tersebut. Saat video keruntuhan dan perbaikan jalan diposting di sejumlah media sosial, web dan media kenamaan seperti The Guardian atau CNN, komentar-komentar lucu dari orang-orang di seluruh dunia pun bermunculan. Muaranya sama: jika tragedi serupa terjadi di tempat tinggal mereka (luar Jepang), butuh waktu berbulan-bulan untuk mengatasinya.
Keberhasilan pemerintah lokal dalam memberikan pelayanan publik yang prima sudah diakui oleh Asian Barometer Survey (ABS). ABS mengadakan serangkaian riset yang terbagi menjadi empat gelombang dan meliputi 15 negara di kawasan Asia Timur, Tengah, hingga Tenggara.
Dalam riset gelombang ketiga, ABS mencoba memahami apa makna demokrasi bagi para responden di 14 negara. Ada empat elemen yang ditanyakan kepada mereka untuk diukur dan dibandingkan skornya antar negara, yakni keadilan sosial, pemerintahan yang baik, norma dan aturan, dan kebebasan dan kebebasan individu.
Berbeda dengan pemahaman demokrasi di Barat, orang-orang di Asia cenderung memahami demokrasi sebagai alat menuju elemen-elemen substantif yang akan mereka dapatkan dari pemerintahan yang dipilih. Hasilnya responden memberikan skor yang tinggi untuk dua elemen yakni keadilan sosial dan pemerintahan yang baik ketimbang dua elemen lain, norma dan aturan atau kebebasan dan kemerdekaan individu—dua elemen yang sangat diagung-agungkan di Barat.
Menariknya, skor tinggi untuk dua elemen itu konsisten di semua negara Asia yang disurvey. Jepang menempati urutan pertama sebagai negara dengan skor elemen pemerintahan yang baik dengan mencapai skor 42,3 persen. Di tempat kedua, Korea Selatan mendapatkan skor 38 persen, dan di urutan ketiga Singapura dengan skor 36,4 persen.
Penekanan pada komitmen serta kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang terbaik menjadi jualan yang ampuh dalam tiap pemilihan umum. Di ketiga negara itu, terutama Jepang, politikus yang terpilih adalah yang mampu memberikan pelayanan publik yang terbaik.
Konsekuensinya terlihat seperti dalam penanganan lubang runtuhan di Fukuoka. Kerja keras yang konsisten kemudian membuahkan kepuasan bagi warga Jepang sendiri.
Dikutip dari laman Nippon, pemerintah Jepang merilis hasil survei kualitas hidup edisi 2016 yang risetnya dilaksanakan selama bulan Juni dan Juli serta melibatkan 6.281 warga. Hasilnya menyatakan 70,1 persen warga puas dengan kondisi penghidupan selama ini. Hasil ini tak mengalami perubahan dari riset di tahun-tahun sebelumnya.
Kualitas Jalan di Atas Rata-rata
Khusus dalam pelayanan publik bidang jalan raya, pemerintah Jepang bersungguh-sungguh menerapkan prinsip “good governance” terutama sejak era 1960-an. Jepang yang hancur lebur karena Perang Dunia II sedang berusaha membangun lagi infrastruktur yang hancur berantakan.
Hasilnya memang mentereng. Dalam ranking negara-negara berdasarkan kualitas jalannya, untuk periode 2011-2012, Jepang menempati urutan ke-14 dari 140 negara dengan skor 5,9. Dalam hasil riset yang disusun World Economic Forum itu, Jepang mengungguli Kanada (5,9), Korea Selatan (5,8), Denmark (5,7), Amerika Serikat (5,7), maupun Inggris (5,6). Jepang hanya kalah dari Singapura saja untuk kawasan Asia.
Sedangkan merujuk Statista, Jepang berada di urutan kelima untuk negara dengan kualitas jalan terbaik pada 2016 dengan skor 6,1. Jepang mengalahkan negara-negara maju di Eropa seperti Prancis (6), Denmark (5,7), Jerman (5,6), maupun Spanyol (5,5).
Data dari Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism dan Ministry of Finance menyebutkan bahwa anggaran untuk penyelenggaraan jalan di Jepang mencapai 244,90 miliar Yen atau setara dengan Rp29 triliun. Yang menarik, dengan kualitas yang begitu baik dan awet, proporsi pembiayaan untuk perawatan jalan terhitung cukup kecil dibandingkan proporsi terhadap belanja negara yakni hanya sebesar 0,25 persen.
Angka ini berbeda dengan proporsi anggaran penyelenggaraan jalan di Indonesia terhadap belanja negara yang mencapai 1,96 persen pada 2016. Bahkan pada tahun-tahun sebelumnya, proporsi anggaran mencapai 2,87 persen (2015), 2,15 persen (2014), 2,26 persen (2013), atau 2,61 persen (2012). Sementara di Jepang proporsi anggaran penyelenggaraan jalannya hanya berkisar 0,28 persen (2015), kemudian berturut-turut 0,20 persen (2014), 0,14 persen (2013), dan 0,61 persen (2012).
Besaran anggarannya juga lebih besar. Pada 2016 anggaran Indonesia untuk jalan raya mencapai Rp40,74 triliun, sedangkan anggaran pemerintah Jepang sebesar Rp29 triliun. Pada 2015 anggaran pemerintah Indonesia mencapai Rp56,97 triliun, sedangan anggaran pemerintah Jepang Rp32 triliun. Berturut-turut untuk anggaran pemerintah Indonesia yakni sebesar Rp40,27 triliun (2014), Rp38,96 triliun (2013), dan Rp40,34 triliun (2012). Sedangkan anggaran pemerintah Jepang selalu lebih kecil yakni Rp23 triliun (2014) dan Rp15 triliun (2013). Jepang lebih besar pada 2012 yakni Rp67 triliun.
Perbandingan besaran anggaran kedua negara di satu sisi bisa memperlihatkan kondisi anomali, mengingat dengan dana yang lebih kecil Jepang harus merawat jalanan yang totalnya lebih panjang daripada Indonesia. Panjang jalan di Jepang totalnya mencapai 1,2 juta km, sedangkan total panjang jalan di Indonesia tak sampai setengahnya yakni 496 ribu km. Indonesia, negara dengan luas daratan mencapai 1.922.570 km², ternyata memiliki jalan yang lebih sedikit ketimbang Jepang yang luas daratannya hanya 374.744 km² atau hanya 85 persen dari luas Pulau Sumatera.
Untuk dana yang besar itupun Indonesia memiliki kualitas jalanan yang jauh di bawah Jepang. Merujuk kembali pada hasil riset yang disusun oleh World Economic Forum, kualitas jalan di Indonesia hanya mendapat skor 3,4 sehingga berada di posisi 89. Sejumlah negara lain di kawasan Asia Tenggara mendapat skor yang lebih baik ketimbang Indonesia. Kamboja, misalnya, berada di posisi 66 dengan skor 4,0. Thailand menempati urutan ke-39 dengan skor 5,0. Brunei Darussalam di posisi 30 dengan skor 5,2, Malaysia di posisi 27 dengan skor 5,4, dan yang paling tinggi Singapura di posisi ketiga dengan skor 6,5.
Candu Kerja, Kerja, dan Kerja
Apa yang terjadi di Jepang tak hanya perkara anggaran, namun juga elemen kultural masyarakatnya yang bisa dibilang sudah kecanduan kerja. Riset Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) di tahun 2013 menyatakan bahwa warga Jepang rata-rata bekerja 1.735 jam per tahun atau 144 jam lebih per bulan atau 36 jam per minggu.
Data ini pun diragukan oleh publik Jepang sendiri. Dalam laporan The Guardian, sesungguhnya ada persentase 22 persen dari pekerja Jepang yang bekerja hingga 49 jam per minggu. Jumlah ini jauh lebih banyak dibanding pekerja di AS dengan persentase 16 persen atau di Prancis dan Jerman sebanyak 11 persen saja. Jepang hanya bersaing dengan Korea Selatan yang 35 persen pekerjanya bekerja dalam waktu 49 jam per minggu.
Seorang pekerja bernama Erika Sekiguchi mengungkapkan bahwa rata-rata lama bekerjanya yang mencapai 14 jam dalam sehari. Dan itu ia anggap tak ada apa-apanya dengan kawannya yang diklaim bekerja lebih lama. Mereka, termasuk pegawai pemerintahan untuk urusan jalan dan transportasi, juga sangat amat jarang mengambil waktu libur. Meskipun libur adalah hak pekerja, menurut staf Kementerian Kesehatan Jepang Yuu Wakebe, budaya kerja keras yang begitu kuat membuat pekerja Jepang biasa tidak memanfaatkan waktu libur.
Hasilnya, pelayanan publik di Jepang memang sangat baik. Namun di sisi lain, tingkat kematian para pekerjanya juga meroket. Angka kematian akibat kerja yang berlebihan (dalam bahasa Jepang istilahnya “karōshi”) mencapai rekornya tahun lalu. Klaim kompensasi untuk karōshi mencapai 1.456 klaim pada akhir Maret 2015, demikian menurut data Kementerian Tenaga Kerja Jepang. Kasus yang dilaporkan mayoritas terkait dengan pekerja di ranah industri termasuk jasa pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, jasa pengiriman dan pekerja konstruksi.
Hiroshi Kawahito, Sekretaris Jenderal Penasehat Hukum Nasional untuk Korban Karoshi, mengatakan kepada Reuters bahwa jumlah sebenarnya mungkin 10 kali lebih tinggi. Permasalahannya, pemerintah enggan untuk mengakui betapa masifnya insiden tersebut.
"Pemerintah sebenarnya menyelenggarakan banyak simposium dan membuat poster tentang masalah ini, tapi ini tak cukup. Masalah sebenarnya adalah mengurangi jam kerja, dan pemerintah belum berusaha dengan maksimal," ungkapnya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS