Menuju konten utama

Cara Brazil Mengolah Makanan Sisa

Limbah makanan sisa merajalela di Brazil, padahal masih banyak yang layak konsumsi.

Cara Brazil Mengolah Makanan Sisa
Ilustrasi Food Waste. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Aku percaya, jika orang lebih sadar, maka akan ada lebih sedikit kelaparan. Aku pikir tidak ada yang lebih baik dibanding menilai semua makanan yang lewat melalui tangan kita. Mungkin, orang lain bisa kelaparan karena apa yang kita buang.”

Bagi Mariana Vilhena, masalah limbah makanan, atau populer dengan istilah food waste, begitu memprihatinkan. Mariana sendiri adalah koordinator komunikasi Gastromotiva, LSM yang berfokus pada isu ini. Gastromotiva didirikan pada 2006 di Rio de Janeiro, Brazil.

Mariana, sebagaimana ditulis Joi Lee, Elia Ghorbiah, dan Maria Fernanda Lauret dalam laporan bertajuk “From Waste to Taste: Brazil's Fight Against Food Waste” yang terbit di Al Jazeera, sudah 16 tahun berkecimpung dalam isu limbah makanan. Brazil, mengutip pernyataan Mariana, merupakan salah satu negara yang masuk dalam daftar 10 negara teratas yang paling banyak membuang makanan.

Sekitar 50 persen makanan (buah dan sayuran) di Brazil terbuang sebelum sampai di rak supermarket atau di rumah-rumah untuk dikonsumsi. Sementara banyak limbah dihasilkan dari buruknya infrastruktur dan perencanaan yang tidak memadai, tak sedikit makanan terbuang sia-sia karena kurangnya kesadaran masyarakat.

Kondisi itulah yang membuat Mariana bertekad untuk memerangi limbah makanan. Lewat Gastromotiva, Mariana dan teman-temannya mengadakan sosialisasi kepada siswa SD hingga pelatihan memasak bagi masyarakat dengan bahan ramah lingkungan. Mereka juga menerima sumbangan makanan, mengolahnya kembali dengan takaran gizi yang pas, sebelum akhirnya didistribusikan kepada mereka yang tak mampu secara ekonomi.

Masalah Serius

Setiap tahun, sekitar 26 juta ton makanan terbuang di Brazil, dengan rata-rata 40 ribu ton terbuang setiap harinya. Imbas dari limbah makanan ini tidak main-main: mengutip studi dari Institut Geografi dan Statistik Brazil (2013), kurang lebih terdapat 7,2 juta orang di seluruh negeri kekurangan makanan.

Selain faktor yang sudah disebutkan pada bagian pembuka, limbah makanan di Brazil juga muncul karena sebab lain. Dalam “Food Losses and Waste: How Brazil Is Facing This Global Challenge” (2017), Gilmar Paulo Henz dan Gustavo Porpino menulis, faktor itu adalah ketimpangan pendapatan dan budaya.

Pertama, soal ketimpangan. Faktor tingginya ketimpangan pendapatan membikin komposisi konsumsi makanan antara kelompok dengan penghasilan tinggi dan rendah begitu njomplang.

Kedua, faktor budaya. Sama halnya seperti negara-negara Latin pada umumnya, masyarakat Brazil mengenal tradisi memasak lebih dari yang diperlukan serta menyajikan makanan dalam porsi besar. Bagi masyarakat Brazil, stok makanan berlimpah sangat dihargai, dan untuk keluarga berpenghasilan rendah, hal tersebut dipandang sebagai simbol kekayaan.

Bukti empiris juga menunjukkan bahwa mereka yang menimbun makanan pernah mengalami kelangkaan di masa lalu. Kelompok-kelompok ini menjaga persediaan makanan tetap tinggi sebagai tindakan pencegahan, dan sebagai konsekuensinya cenderung menyiapkan porsi yang berlimpah.

Konsumen berpenghasilan rendah juga cenderung punya hubungan erat dengan warga di sekitar mereka. Makanan jadi semacam jaminan bahwa mereka dapat menawarkan makanan kepada tetangga atau tamu dadakan. Memiliki kelebihan makanan adalah jalan menjauhkan diri dari kondisi kemiskinan dan serta dianggap sebagai cara menunjukkan keramahan dan kasih sayang keluarga.

Menempuh Banyak Cara

Mengurangi limbah makanan membutuhkan pola pikir baru dan pemerintah Brazil percaya sekolah dapat memainkan peran penting.

Program yang menyasar sekolah dibikin pemerintah berdasarkan UU No. 11.947/2009. Aturan hukum ini menetapkan setidaknya 30 persen sumber daya keuangan yang ditransfer dari Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (FNDE) dipakai untuk membeli makanan dari petani lokal lewat Program Pengadaan Makanan (PAA).

Pada 2012, pemerintah mengalokasikan dana senilai 256 juta dolar untuk program ini. Karena perubahan politik dalam negeri dan krisis ekonomi, anggaran turut mengalami perubahan dari 134 juta dolar pada 2016 menjadi hanya 45 juta dolar setahun kemudian.

Mengutip laporan Huffington Post, program pemberian makanan secara nasional ini telah menyasar 42 juta anak di 160 ribu sekolah di Brazil setiap harinya. Tak sekadar pemberian makanan, program pemerintah juga mencakup edukasi makanan dan tingkat gizi. Cara sekolah untuk membeli, menyiapkan, dan menyajikan makanan pun tak ketinggalan disertakan dalam penilaian program.

Seiring waktu, program ini mulai memberikan hasil. Menurut jajak pendapat, sekitar 91 persen anak-anak menikmati sajian makanan yang diberikan oleh program. Selain itu, anak-anak juga mau mencoba menu makanan baru, terutama yang terbuat dari sayuran.

Tak hanya mengandalkan partisipasi sekolah, pemerintah Brazil juga membentuk jaringan bank makanan guna mengatasi persoalan yang ada. Jaringan bank makanan diciptakan untuk memperkuat dan mengintegrasikan kinerja bank makanan serta membantu pengurangan maupun pencegahan limbah makanan. Jaringan ini secara resmi didirikan pada 15 April 2016 dan dikoordinasikan langsung oleh Kementerian Pembangunan Sosial Brazil (MDS).

Sampai sejauh ini, sudah ada 249 bank makanan yang diidentifikasi oleh jaringan. Dari jumlah tersebut, 83 didanai oleh MDS. Bank menerima sumbangan makanan yang dianggap tidak standar untuk pemasaran, tetapi cukup baik untuk dikonsumsi. Makanan yang terkumpul lantas diteruskan ke lembaga-lembaga nirlaba yang memproduksi dan mendistribusikan makanan gratis ke orang-orang yang mengalami kerentanan pangan.

Inisiatif serupa juga muncul dari masyarakat sipil dan LSM. Salah satunya lewat proyek bernama “Comida Invisivie” (“Makanan Tak Terkalahkan”). Proyek ini didirikan oleh Daniela Leite, Flávia Vendramin, dan Sergio Ignacio di São Paulo. Komitmennya tetap sama: meningkatkan kesadaran tentang limbah makanan di kota serta ajakan untuk mengurangi limbah makanan, misalnya dengan memperpanjang masa pakai produk makanan.

Program yang ditawarkan Comida Invisivie antara lain lokakarya, kursus, dan kampanye secara daring. Baru-baru ini, mereka bahkan mengembangkan aplikasi yang memfasilitasi sumbangan makanan; menghubungkan pendonor dengan penerima melalui internet.

Infografik Sisa Makanan

Infografik Sisa Makanan

Kira-kira begini cara kerjanya. Restoran, bar, supermarket, hotel, dan pendonor lainnya dapat mendaftar untuk sumbangan makanan, dengan validitas yang mencakup tanggal dan bentuk pengiriman. Setelah terdaftar dalam sistem, makanan akan tersedia bagi lembaga yang bertugas menyiapkan atau mendistribusikannya. Ketika sumbangan diterima, donor mengkonfirmasi apakah makanan akan dikirim atau harus ditarik.

“Selain memberi sumbangan makanan ke orang, inisiatif ini juga berniat untuk membawa kesadaran dan informasi kepada penduduk, di samping memulihkan makanan yang hilang,” para pendiri menjelaskan.

Langkah serupa datang pula dari Slow Food Brazil. Partisipasi mereka terekam dalam acara “Disco Xepa” ("Sup Disko"), yang merupakan kegiatan memasak bersama dengan memanfaatkan bahan makanan terbuang sembari menikmati lantunan musik disko. Total, telah ada 14 kota yang mengadakan acara Disco Xepa.

Caio Dorigon, penggagas acara, percaya bahwa Disco Xepa adalah model yang efektif untuk menyatukan jaringan Slow Food secara langsung dan berkonsentrasi pada isu limbah makanan.

Di samping berbagi makanan, acara ini juga berisi sosialisasi tentang cara mengurangi sampah, pelatihan memasak dengan bahan baku hasil panen, hingga pembagian buku panduan yang memuat informasi mengenai limbah makanan.

Segala upaya yang ditempuh pemerintah dan masyarakat sipil Brazil untuk menghentikan limbah makanan terus berlangsung. Semua cara dilakukan agar isu ini tidak menimbulkan kerugian, baik secara finansial maupun kesehatan, yang berkelanjutan. Yang paling mudah untuk diterapkan: menghargai makanan.

Baca juga artikel terkait LIMBAH atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf