tirto.id - Pilkada 2018 diwarnai fenomena baru yakni perwira aktif TNI-Polri dan aparatur sipil negara (ASN) berstatus aktif menjadi calon kandidat.
Saat ini, sudah ada 6 perwira TNI-Polri turun dalam kontestasi Pilkada 2018 seperti Letjen TNI Edy Rahmayadi (mantan Pangkostrad), Irjen Pol Anton Charliyan (mantan Walemdiklat Mabes Polri), atau Irjen Pol Murad Ismail (mantan Kakorbrimob Polri).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahkan mencatat, ada fenomena berbeda antara Pilkada sebelumnya dengan Pilkada tahun ini. Ketua KPU Arief Hidayat menyebut, pada Pilkada sebelumnya ada dari kalangan TNI-Polri yang menjadi peserta namun mereka berstatus purnawirawan bukan perwira aktif seperti saat ini.
“Dulu juga ada TNI Polri tapi biasanya sudah purnawirawan baru dia maju. Ini masih aktif juga," kata Arief di Cikini Jakarta, Sabtu (13/1/2017).
Sedangkan dari kalangan ASN, KPU mencatat muncul ratusan nama menjadi peserta Pilkada 2018. "ASN atau PNS itu angkanya mencapai 150-an yang maju," kata Arief.
Polemik Pengunduran diri Calon dari TNI/Polri atau ASN
Sesuai PKPU Nomor 3 tahun 2017 pasal 69, “Bagi Calon yang berstatus sebagai Anggota DPR, DPRD atau DPD, Anggota TNI/Polri, dan PNS wajib menyampaikan keputusan pejabat yang berwenang tentang pemberhentian sebagai Anggota DPR, DPRD atau DPD, Anggota TNI/Polri, dan PNS kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.”
Artinya, bila pemungutan suara dilakukan pada 27 Juni—sebagaimana dijadwalkan KPU, setidaknya pada 27 Mei calon kepala daerah berstatus TNI/Polri/PNS itu harus sudah mundur dari jabatannya, dibuktikan dengan SK Pemberhentian dari instansi terkait.
Namun KPU sendiri menjadwalkan kampanye pilkada dari 15 Februari–26 Juni 2018. Artinya selama 15 sampai 27 Mei seorang calon kepala daerah berstatus TNI/Polri/ASN masih bisa berstatus aktif.
Ketua DPP Perindo bidang Politik M Yamin Tawary menilai aturan tersebut tidak adil. Ia bahkan agar KPU untuk mengubah ketentuan pendaftaran calon kepala daerah.
"Jadi waktu mendaftar itu jangan hanya TNI dan Polri ini jangan hanya membawa surat pengunduran diri yang bersangkutan, atau juga pegawai negeri sipil tetapi sudah ada persetujuan pimpinan mereka untuk mengundurkan diri," kata Yamin di Cikini, Jakarta, Sabtu.
Yamin khawatir surat kesediaan mengundurkan diri itu hanya bersifat formalitas untuk memenuhi persyaratan. Ia menduga para kandidat yang masih proses mengundurkan diri itu akan menyalahgunakan wewenang demi memenangkan Pilkada. Lantaran itu, KPU seharusnya memperkecil ruang kecurangan berbentuk penyalahgunaan wewenang dengan memperketat pencalonan.
Tapi Arief berdalih, KPU membuat syarat seorang TNI-Polri atau ASN boleh mendaftarkan diri dalam Pilkada karena menghargai calon dan sudah diatur dalam undang-undang Pemilu. Selain itu, KPU kasihan apabila calon yang mendaftarkan keluar dari kesatuan tapi batal maju Pilkada.
"Kadang-kadang malah pada saat proses verifikasi dia tidak memenuhi syarat, syarat kesehatannya ternyata tidak memenuhi syarat maka sebetulnya sudah tidak jadi calon tapi dia berhenti dari posisinya. Itulah mengapa pada saat mendaftar hanya diminta membuat surat pernyataan bahwa dia bersedia mengundurkan diri," kata Arief.
Contoh kasus lain yang terjadi di lapangan adalah adanya upaya mengganjal kandidat yang mau maju dalam Pilkada dari instansi yang bersangkutan. Menurutnya, tidak sedikit instansi justru menghalangi proses pengunduran diri salah satu calon. Hal itu yang membuat tidak sedikit pasangan calon yang sebelumnya lolos menjadi gagal.
Arief mencontohkan kejadian salah satu PNS di Pilkada di daerah Yogyakarta. Calon tersebut sudah mengajukan pengunduran diri, tetapi instansi yang bersangkutan tidak mengeluarkan surat keputusan pemberhentian. Padahal, PNS tersebut tidak menggunakan fasilitas negara dan sudah mundur dari instansi negara. KPU pun akhirnya meloloskan sang calon sebagai pemenang meskipun status masih PNS.
"Jadi jangan sampai orang yang sudah ditetapkan paslon (pasangan calon) diganjal oleh kepentingan-kepentingan itu (hambatan mengeluarkan surat keputusan pemberhentian)," kata Arief.
TNI/Polri/ASN Gagal Maju Pilkada Bukan Urusan KPU
Pengamat Pemilu dari Perludem Titi Anggraini menilai, KPU seharusnya tidak pilih kasih dalam menjalankan pesta demokrasi. "KPU harus membebaskan diri dari bias kepentingan. Sudah jelas-jelas TNI/Polri/ASN tidak boleh berpolitik, dia harus terima konsekuensi," kata Titi di Cikini, Jakarta, Sabtu.
Titi berpendapat, banyak TNI-Polri maupun ASN yang ikut dalam kontes Pilkada adalah masalah klasik. Apalagi menjelang Pilpres 2019, ridak sedikit partai melirik TNI-Polri dan ASN untuk maju dalam Pilkada.
"Memang kekuasaan menggoda apalagi kemudian dikaitkan dengan 2019 partai-partai perlu kepastian dengan calon yang dianggap menguasai wilayah, menguasai daerah, putra daerah berhasil dan TNI Polri ASN itu dicitrakan sebagai figur itu menguasai daerah atau putra daerah yang berhasil di daerahnya," kata Titi.
Titi kembali menegaskan TNI-Polri dan PNS yang aktif harus mundur dari instansi ketika berniat maju ke Pilkada. "Kalau pun gagal dia ditetapkan sebagai calon, ya itu bukan urusan KPU. Karena dia sudah berani mengambil resiko untuk maju menjadi bagian dari politik praktis," kata Titi.
Baca juga: "Perwira Aktif Tidak Boleh cawe-cawe Politik Praktis"
Indikasi Kecurangan itu Nyata
Kekhawatiran indikasi kecurangan itu nyata. Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja menyebut, indikasi kecurangan itu makin meningkat bahkan sebelum kampanye Pilkada resmi digelar pada 15 Februari-24 Juni mendatang. "Intensitas ini terlihat pada kami, pada saat sebelum tahapan dimulai," kata Rahmat di Cikini, Jakarta, Sabtu (13/1/2017).
Rahmat tidak merinci jumlah pelanggaran yang melibatkan TNI-Polri-ASN peserta Pilkada. Namun, Bawaslu mengaku sudah mengantongi sejumlah temuan-temuan curi "start" kampanye. Tidak sedikit kampanye-kampanye "terselubung" itu menggunakan kewenangan atau jabatan.
Ia mencontohkan, foto salah seorang Kapolda di banyak rumah makan di wilayah kerja atau isi program pemerintah dengan foto salah satu Sekretaris Daerah. "Kan tidak boleh dalam Sumpah Prajurit, dalam Tribrata itu menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan dirinya," kata Rahmat tanpa menyebut nama contoh yang ia maksud.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Agung DH