tirto.id - Golf, tenis, ski, berlayar dengan yacht, atau berkuda adalah contoh umum jenis-jenis olahraga untuk kalangan elit. Dibutuhkan uang—dan pelatihan khusus—yang tidak sedikit untuk mahir naik kuda atau mengoperasikan yacht. Belum lagi harga peralatan dan unitnya.
Kuda, misalnya. Pada pemilu 2014 lalu, harga kuda yang dinaiki Prabowo dalam kampanye dikabarkan mencapai Rp3 milyar. Kuda itu berjenis lusiano, kuda portugis. Kuda tunggang lokal ternakan Malang, kabarnya senilai Rp50 juta-Rp150 juta. Adapun harga yact paling murah dibanderol seharga $19 ribu-$$90 ribu. Paling mahal $26 juta.
Itu baru olahraga tunggangan. Tarif main golf di Rancamaya berkisar antara Rp320 ribu hingga Rp1.465.500. Belum lagi alatnya. Tenis, mungkin yang paling terakses, butuh sekitar Rp2 jutaan untuk raket dan setengahnya lagi untuk sepatu. Ski kurang populer di Indonesia, negeri tropis yang tak mengenal salju, kecuali di beberapa titik di Papua. Untuk main ski, Anda harus terbang minimal ke selatan Australia, ke New South Wales, Victoria atau Tasmania. Itu artinya Anda perlu mempersiapkan visa, tiket, akomodasi, dan tetek-bengek perjalanan lain.
Namun suatu olahraga bisa dianggap elit bukan hanya karena peralatan yang mahal. Ia mendapat predikat elit karena menjadi cara mengisi waktu luang elit-elit bisnis atau politik, dan persis di situlah koneksi-koneksi sosial terjalin. Main golf tidak saja membuktikan bahwa seseorang mampu membeli stik golf dan menyewa caddy, tetapi juga memunculkan pertanyaan: dengan siapa dia bermain?
Husain Pontoh, dalam “Konflik Nan Tak Kunjung Padam”, menuturkan cerita tentang siasat Tempo untuk bertahan setelah dibredel pada 1982. Tempo dibredel lantaran, menurut Goenawan Mohamad, “kekurangan lobi di pemerintahan”. Maka dibentuklah tim lobi tingkat tinggi. Beberapa awak mendekati CSIS, Golkar, dan orang-orang kepercayaan Soeharto. Goenawan Mohamad bahkan jadi teman bermain tenis dengan menteri sekretaris kabinet Moerdiono.
Perlu diperhatikan pula bahwa hari ini nyaris tak ada olahraga elit yang bercorak adu fisik. Olahraga mahal yang dikatakan berbahaya atau ekstrem, misalnya balapan mobil atau naik jetski, tidak melibatkan adu fisik. Barangkali adu fisik terlanjur identik dengan kelas bawah atau menengah, meskipun sarung tinju, sansak, dan ongkos keanggotaan klub Muay Thai juga tidak bisa dibilang murah.
Namun demikian, ada satu aktivitas adu fisik yang belakangan marak di kalangan elit politik: berkelahi di parlemen. Apa yang terjadi di Dewan Perwakilan Daerah pada Senin lalu (3/4/17) adalah contohnya. Perkelahian itu dipicu oleh kegagalan mencapai kesepakatan untuk menyikapi putusan Mahkamah Agung terkait Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib. Satu orang anggota DPD dikabarkan diopname di rumah sakit.
Pola Perkelahian di Parlemen
Blog parliamentfights.wordpress.com mendokumentasikan perkelahian di parlemen 35 negara, dari negara maju hingga negara terbelakang: mulai dari Afghanistan, Argentina, Bolivia, Brazil Kanada, Kongo, Georgia, Jerman, Inggris, Jepang, Israel, Yordania, Kenya, Kosovo, Kuwait, Lebanon, Macedonia, Maladewa, Mexico, Nepal, Nigeria, Pakistan, Rusia, Somalia, Afrika Selatan, korea Selatan, Sri Lanka, Suriname, Taiwan, Thailand, Turki, Ukraina, Amerika Serikat, dan Venezuela.
Aksi-aksi bentrok fisik yang dicatat dimasukkan ke dalam satu atau lebih kategori berdasarkan tindakan atau jenis kelamin pelaku. Misalnya: “tinju dan pukul”, “sikut-sikutan”, “kembang api”, “cabut pistol”, “borgol”, “tendangan judo”, “laki-laki”, “laki-laki dan perempuan”, “anggota parlemen berkelahi di luar parlemen”, “menggampar", “lari kayak orang gila”, “meludah”, “mencekik”, “melempar benda”, “melempar kertas”, ”menyiram air”, “menggunakan kursi dan perabot”, dan seterusnya.
Penyebab perkelahian parlemen bisa sangat remeh, tapi bisa jadi berakhir dengan bencana kemanusiaan. Perang sipil di Ukraina sejak 2014 di wilayah Donbass juga diwarnai atau didahului oleh gontok-gontokkan fisik di gedung parlemen antara partai-partai pro-Rusia dan pro-Uni Eropa.
Persoalan ini tidak khas negara Dunia Ketiga, sehingga terbatasnya tingkat pendidikan tidak menentukan apakah seseorang akan melempar kursi ke podium atau hanya melempar argumen ke meja pimpinan dewan. Dari daftar di atas, panjang atau pendeknya usia suatu negara—atau usia pengalaman berdemokrasi—juga bukan jaminan seseorang tidak disikut di podium. Situs yang sama juga memuat kericuhan-kericuhan yang melibatkan anggota parlemen perempuan (Taiwan, Argentina, Israel, Palestina, Nepal, Ukraina). Jumlah yang sedikit ini agaknya berhubungan dengan jumlah perempuan yang lebih sedikit ketimbang laki-laki di parlemen.
Apakah maraknya perkelahian parlemen menandakan krisis demokrasi parlementer? Jelas jika bentrok fisik tidak terjadi negara-negara otoriter saking tidak berfungsinya parlemen. Tapi tampaknya klaim ini terlalu jauh. Wikipedia mempunyai entri khusus yang diberi judul “legislative violence”, mencatat perkelahian di parlemen di beberapa tempat dan melacaknya hingga ke peristiwa pembunuhan Julius Caesar oleh serombongan senator di ruang sidang yang dipimpin oleh Brutus dan Cassius.
Studi Christopher Gandrud, satu-satunya riset serius tentang fenomena global ini, sekadar mengkonfirmasi apa yang kita curigai dari perkelahian di parlemen. Para pelaku datang dari kelompok yang nyaris menang atau nyaris kalah menjelang palu diketok, apakah itu dalam pengesahan undang-undang baru atau penentuan tata-tertib sidang. Dalam ketegangan itu, tak ada yang mau kalah, namun tak satu pihak pun yang ingin berkompromi.
Soal anggaran dan rancangan UU penyelenggaraan pemilu serta peraturan-peraturan yang berkaitan langsung dengan jabatan mereka, tergolong dalam topik-topik pemancing kericuhan. Pada masa Perang Sipil AS, misalnya, para legislator yang meradang dan memancing perkelahian berasal dari negara-negara bagian selatan yang mendukung perbudakan—dan wakil-wakil rakyat ini memelihara budak di rumah mereka.
Berkelahi sebagai Olahraga Elit
Dalam sejarahnya, cabang-cabang olahraga yang kini dipertandingkan di Olimpiade dapat dilacak hingga era Yunani Klasik hingga tradisi ksatria di berbagai tempat. Pertempuran antar dinasti menuntut ketangkasan fisik, dengan atau tanpa senjata.
Menurut Michael Poliakoff dalam Combat Sports in the Ancient World: Competition, Violence, and Culture (1987), pada zaman Yunani Kuno, atletik dipandang sebagai pemenuhan alamiah dari "agon", yaitu kebutuhan untuk bersaing dan meraih pujian sebagai individu. Olahraga peperangan muncul sebagai ekspresi yang lebih jinak dari praktik-praktik militer antar polis. Kendati partisipan terbanyak adalah rakyat jelata, tak sedikit pemuda-pemuda berdarah biru yang terlibat.
Tradisi ini terbalik pada Abad Pertengahan di Eropa, ketika kelas sosial dibagi ke dalam kelompok yang melakukan pekerjaan kasar (petani), kelompok pendoa (gereja), serta kelompok yang berperang (bangsawan). Kelompok kedua dan terakhir menempati hirarki sosial teratas dalam masyarakat feodal ini. Perang umum terjadi antar-dinasti dan menjadi aktivitas yang setara dengan kerja kasar bagi kaum tani.
Dalam perkembangannya, lokus kekuasaan para bangsawan mengerucut ke parlemen, dan sampai kira-kira abad 19, masing-masing dinasti dan istana memiliki pasukan masing-masing. Revolusi nasional dan Perang Napoleonik yang pada akhirnya memaksa penyatuan pasukan-pasukan dinastik ini ke dalam tentara nasional. Olahraga turunan yang dihasilkan dari aktivitas perang tersebut di antaranya adalah melatih elang untuk berburu, yang harus dikuasasi para raja dan ahli perang sebagai suatu sains, seperti tertulis dalam traktat De arte venandi cum avibus (“Seni Berburu dengan Burung”) karya Raja Frederick II (1215-1250).
Ilustrasi sejarah di atas tampaknya berguna untuk mengelompokkan aktivitas perkelahian parlemen sebagai cabang olahraga tersendiri. Kurang apa lagi? Tentu konflik-konflik yang benar-benar terjadi secara struktural, dan sungguh-sungguh berdampak, berlangsung nyata di akar rumput. Namun secara legal-formal, para legislator menyandang fungsi untuk mewakili pertarungan di akar rumput ke dalam ruang sidang.
Lagi pula, selain status para legislator sebagai kelompok elit, secara teknis sikut-sikutan di ruang rapat selalu melibatkan perkubuan, kompetisi, orang-orang yang bersorak, kekalahan dan kemenangan (yang tidak abadi), serta risiko fisik yang jelas. Jika golf merupakan olahraga yang paling sopan untuk melakukan lobi demi kepentingan politik, mengapa tidak perkelahian kala sidang diusung sebagai bentuk pemuasan kepentingan atau agon yang paling tinggi?
Jadi silakan saja berkelahi. Sesekali bolehlah rakyat yang tertawa bersorak-sorak -- walau hanya untuk sekejap.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Zen RS