Menuju konten utama

Buni Yani Disebut Bisa Dijemput Paksa Jika Tak Mau Ditahan

Jaksa bisa melakukan jemput paksa terhadap terdakwa kasus UU ITE Buni Yani bila tidak mematuhi putusan pengadilan.

Buni Yani Disebut Bisa Dijemput Paksa Jika Tak Mau Ditahan
Terdakwa kasus dugaan pelanggaran UU ITE Buni Yani (kanan) berjalan menuju tempat duduk saat menjalani sidang lanjutan di Gedung Perpustakaan dan Arsip Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/10/2017). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Pengajar hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Miko Ginting menyebut tidak ada penangguhan eksekusi dalam hukum pidana. Menurut Miko, penangguhan hanya berlaku dalam penahanan.

"Kalau sudah diputus dengan putusan berkekuatan hukum tetap ya harus dieksekusi," kata Miko di STHI Jentera, Jakarta, Jumat (1/2/2019).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, seingat Miko, tidak mengatur masalah penundaan eksekusi. Miko menegaskan, eksekusi wajib dilakukan selama putusan berkekuatan hukum tetap.

Putusan pun harus tetap dieksekusi walau ada permohonan penundaan kecuali alasan mendesak seperti masalah kesehatan.

Aturan yang memuat soal eksekusi terdakwa diatur dalam pasal 270 KUHAP. Pasal tersebut berbunyi "pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya." Namun, Miko merujuk pada pasal 268 KUHAP yang menyebut putusan tetap dieksekusi walau ada upaya peninjauan kembali.

"Maka eksekusi wajib dilaksanakan. PK saja tidak menangguhkan atau menunda eksekusi meskipun narapidana mengajukan peninjauan kembali," kata Miko.

Miko menegaskan, seseorang yang tidak memenuhi panggilan jaksa untuk eksekusi mempunyai konsekuensi hukum. Jaksa bisa mengejar sang narapidana untuk jemput paksa.

"Bisa jemput paksa," kata Miko.

Buni Yani direncanakan akan dieksekusi, Jumat (1/2/2019). Namun, rencana tersebut diduga batal karena pihak kuasa hukum Buni Yani mengajukan permohonan penundaan eksekusi kepada kejaksaan.

"Nggak kayaknya. Kemarin surat permohonan surat penundaan eksekusi sudah dilayangkan," kata Pengacara Buni Yani, Aldwin Rahardian kepada Tirto, Jumat (1/2/2019).

Aldwin mengatakan, pengajuan dilakukan karena mereka akan mengajukan peninjauan kembali. Mereka sedang menyusun materi peninjauan kembali yang rencananya akan diajukan pekan depan. Tim pengacara juga tengah mengajukan fatwa ke Mahkamah Agung dalam putusan kasasi Buni.

Aldwin menerangkan, tim pengacara kini menunggu keputusan kejaksaan. Mereka berharap, pengajuan penangguhan eksekusi mereka bisa dikabulkan. Ia pun menganalogikan pengajuan penundaan eksekusi Buni Yani dengan penundaan eksekusi Baiq Nuril.

"Sama halnya hak yang sama sebagai warga negara diberikan kepada Baiq Nuril. Baiq Nuril kan halnya sama. Sudah ada putusan dan sudah akan eksekusi. Karena dianggap kontroversi, dimohonkan penundaan eksekusi. Kan dikabulkan," sebut Aldwin.

Buni sebelumnya divonis bersalah atas kasus ujaran kebencian yang berkaitan dengan kasus penistaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada tahun 2016. Dia mengunggah potongan video pernyataan Ahok terkait surat Al Maidah ayat 51. Unggahan tersebut kemudian viral hingga akhirnya Ahok dihukum karena kasus penistaan agama.

Selama proses tersebut, Buni Yani juga dilaporkan ke polisi. Ia pun diadili karena dianggap menyebar ujaran kebencian dan melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE. Pada putusan tingkat pertama, Buni Yani dinyatakan terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana UU ITE yang mengubah, memotong video sambutan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu pada 26 September 2016.

Majelis Hakim memvonis Buni Yani dengan hukuman 18 bulan penjara (1,5 tahun) sebagaimana diatur dalam pasal 32 ayat 1 jo pasal 28 ayat 1 Undang-undang RI nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Vonis tersebut terus diperkuat hingga Mahkamah Agung menolak kasasi Buni Yani sehingga tetap dihukum 1,5 tahun penjara.

Baca juga artikel terkait KASUS BUNI YANI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri