tirto.id - Day care bisa jadi alternatif bantuan guna mengurai beban pengasuhan pada ibu. Namun, para ibu seringnya justru merasa bersalah ketika harus menitipkan anak. Apalagi ditambah stigma bahwa anak lebih baik diasuh oleh ibu ketimbang orang lain.
Di masyarakat kita, seorang ibu digambarkan sebagai makhluk sempurna: mampu mengurus anak dan suami, kerja domestik (plus kerja cari “duit”), tak pernah—atau lebih cocok tak boleh—sakit, dan semua beres.
Para ibu digelayuti beragam beban tersebut sambil melakukan pengasuhan anak. Maka tak heran banyak yang kemudian merasa bersalah karena tak bisa maksimal.
Hasil survei oleh NUK—sebuah produk perawatan bayi asal Jerman, misalnya, mendapati 87 persen ibu yang menjadi respondennya terkadang masih merasa bersalah atas proses pengasuhannya. Sementara itu, sebanyak 21 persen sisanya merasa bersalah setiap waktu.
“Ada yang berpikir kurang waktu untuk anak-anaknya, merasa kurang sabar dan sering marah,” tulis survei tersebut seperti dikutip oleh laman The Telegraph.
Para ibu ini tetap merasa bersalah dan merasa tak pantas merilis rasa lelahnya, meski sudah bekerja keras memberikan yang terbaik bagi anaknya. Bahkan untuk sekadar istirahat tidur siang.
Bagi para ibu pekerja, situasinya tambah sulit karena konstruksi mayoritas membuat posisi mereka selayaknya peran antagonis: tega meninggalkan anak.
Padahal, semua ibu—yang bekerja di luar ataupun ibu rumah tangga—memikul beban yang sama-sama berat. Tekanan sosial sebagai “ibu super” malah membuat mereka memaksakan diri harus sempurna dalam pekerjaan, relasi romantis, pengasuhan, dan kerja domestik.
“Untuk mewujudkan gambaran itu, perempuan pekerja menambahkan 80 jam per minggu untuk menyelesaikan urusan rumah tangga, di samping bekerja,” tulis sebuah studi yang digagas Care.com (2014).
Studi tersebut menyebut 1 dari 4 ibu pekerja menangis sekali dalam seminggu karena stres atas beban-beban “keibuan” mereka.
Yang lebih membikin miris, 29 persen ibu merasa mampu menyewa bantuan atau memasukkan anak mereka ke day care. Namun, mereka memilih tidak melakukannya karena dihinggapi rasa bersalah.
Perkara memilih day care akhirnya jadi pelik. Ada rasa bersalah yang terus menghantui, tapi anak-anak juga butuh ibu yang waras dan bahagia, bukan ibu yang sempurna berdasar standar orang lain.
Kala itu, Afifah menjalani peran sebagai perempuan karier sekaligus ibu rumah tangga.
“Meski repot, sebisa mungkin dilakukan sendiri. Waktu itu, mikirnya anak harus diasuh orang tua,” katanya.
Rasa bersalah karena menitipkan anak cenderung jadi bagian tak terpisahkan dari ibu pekerja. Jika digambarkan, situasi Afifah saat itu semacam: sungguh tak berperasaan meninggalkan anak yang sangat berharga bersama dengan orang asing.
Namun, situasi pandemi yang makin membaik kemudian memaksanya menitipkan anaknya di day care. Afifah menjalani minggu-minggu pertama dengan rasa sesal luar biasa. Bekerja pun rasanya sulit fokus lantaran selalu teringat anaknya yang menangis saat ditinggal.
Afifah kemudian mengobati rasa bersalahnya dengan memantau kegiatan anak melalui akses kamera pengawas yang diberikan oleh pengelola day care. Ternyata kegiatan di day care diisi dengan berbagai kelas bermain dan belajar sehingga kemampuan sosialisasi sang anak justru berkembang pesat.
“Sekarang justru bersyukur, jadi lebih bisa mengontrol emosi ke anak. Pengasuhnya juga sabar. Saya tidak bisa begitu (sabar) kalau harus mengasuh, bekerja, dan urus domestik,” ujar Afifah.
Memang, orang tua yang kelelahan cenderung melampiaskan emosi kepada anak-anak mereka. “Capek bikin gampang lepas kendali.”
Namun ketika menitipkan anak di day care, telinga perlu ditebalkan. Seperti cerita Afifah, akan selalu ada pihak-pihak yang berkomentar negatif, menuduh si ibu lebih pilih bekerja ketimbang melihat perkembangan si anak atau sibuk berkomentar “kasihan anaknya.”
Padahal, kenyataannya tidaklah selalu demikian. Sebuah studi (2006, PDF) justru membuktikan bahwa anak-anak di day care memiliki perkembangan kognitif dan bahasa yang lebih baik. Studi lainnya di Prancis (2017) juga menyebut anak-anak dengan day care berkualitas punya perilaku baik dan keterampilan kognitif lebih baik daripada teman sebayanya.
Jadi, kekhawatiran perkara perkembangan anak sudah ada jawaban empirisnya. Lantas, bagaimana dengan tangki cinta anak yang dianggap akan kosong ketika tak diasuh ibunya?
Lagi-lagi, tak ada alasan untuk merasa bersalah menjadi ibu pekerja yang memiliki anak. Sebuah studi besar-besaran (2018) terhadap 100 ribu orang di 29 negara menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu pekerja tumbuh sama bahagianya dengan anak-anak ibu rumah tangga.
Studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Harvard Bussiness School tersebut menemukan bahwa anak perempuan dari ibu pekerja tumbuh menjadi karyawan berkinerja tinggi di tempat kerja. Mereka juga tak serta merta melupakan atau jauh dari orang tuanya.
Ringkasan penelitian juga menyebut bahwa anak laki-laki dari ibu pekerja menghabiskan lebih banyak waktu merawat anggota keluarga mereka.
Jadi, para ibu, buanglah jauh-jauh rasa bersalah dan mulailah kembali melihat ke dalam dirimu. Nikmati waktu yang tersisih dari menitipkan anak di day care. Lalu, cobalah kembali hobimu, pergilah berbelanja, bertemu kawan, atau sekadar minum teh dan membaca beberapa lembar buku.
Sebab anak-anak butuh ibu yang bahagia, bukan sempurna.
Di masyarakat kita, seorang ibu digambarkan sebagai makhluk sempurna: mampu mengurus anak dan suami, kerja domestik (plus kerja cari “duit”), tak pernah—atau lebih cocok tak boleh—sakit, dan semua beres.
Para ibu digelayuti beragam beban tersebut sambil melakukan pengasuhan anak. Maka tak heran banyak yang kemudian merasa bersalah karena tak bisa maksimal.
Hasil survei oleh NUK—sebuah produk perawatan bayi asal Jerman, misalnya, mendapati 87 persen ibu yang menjadi respondennya terkadang masih merasa bersalah atas proses pengasuhannya. Sementara itu, sebanyak 21 persen sisanya merasa bersalah setiap waktu.
“Ada yang berpikir kurang waktu untuk anak-anaknya, merasa kurang sabar dan sering marah,” tulis survei tersebut seperti dikutip oleh laman The Telegraph.
Para ibu ini tetap merasa bersalah dan merasa tak pantas merilis rasa lelahnya, meski sudah bekerja keras memberikan yang terbaik bagi anaknya. Bahkan untuk sekadar istirahat tidur siang.
Bagi para ibu pekerja, situasinya tambah sulit karena konstruksi mayoritas membuat posisi mereka selayaknya peran antagonis: tega meninggalkan anak.
Padahal, semua ibu—yang bekerja di luar ataupun ibu rumah tangga—memikul beban yang sama-sama berat. Tekanan sosial sebagai “ibu super” malah membuat mereka memaksakan diri harus sempurna dalam pekerjaan, relasi romantis, pengasuhan, dan kerja domestik.
“Untuk mewujudkan gambaran itu, perempuan pekerja menambahkan 80 jam per minggu untuk menyelesaikan urusan rumah tangga, di samping bekerja,” tulis sebuah studi yang digagas Care.com (2014).
Studi tersebut menyebut 1 dari 4 ibu pekerja menangis sekali dalam seminggu karena stres atas beban-beban “keibuan” mereka.
Yang lebih membikin miris, 29 persen ibu merasa mampu menyewa bantuan atau memasukkan anak mereka ke day care. Namun, mereka memilih tidak melakukannya karena dihinggapi rasa bersalah.
Perkara memilih day care akhirnya jadi pelik. Ada rasa bersalah yang terus menghantui, tapi anak-anak juga butuh ibu yang waras dan bahagia, bukan ibu yang sempurna berdasar standar orang lain.
Baca juga:
Buang Jauh-jauh Rasa Bersalahmu, Bu
Afifah, 31 tahun, mulai kebingungan ketika kantornya mulai menerapkan kerja penuh di kantor pada Desember tahun lalu. Dia merupakan ibu dengan satu anak berusia dua tahun. Masa kehamilan dan dua tahun pengasuhan anak dia jalani saat pandemi.Kala itu, Afifah menjalani peran sebagai perempuan karier sekaligus ibu rumah tangga.
“Meski repot, sebisa mungkin dilakukan sendiri. Waktu itu, mikirnya anak harus diasuh orang tua,” katanya.
Rasa bersalah karena menitipkan anak cenderung jadi bagian tak terpisahkan dari ibu pekerja. Jika digambarkan, situasi Afifah saat itu semacam: sungguh tak berperasaan meninggalkan anak yang sangat berharga bersama dengan orang asing.
Namun, situasi pandemi yang makin membaik kemudian memaksanya menitipkan anaknya di day care. Afifah menjalani minggu-minggu pertama dengan rasa sesal luar biasa. Bekerja pun rasanya sulit fokus lantaran selalu teringat anaknya yang menangis saat ditinggal.
Afifah kemudian mengobati rasa bersalahnya dengan memantau kegiatan anak melalui akses kamera pengawas yang diberikan oleh pengelola day care. Ternyata kegiatan di day care diisi dengan berbagai kelas bermain dan belajar sehingga kemampuan sosialisasi sang anak justru berkembang pesat.
“Sekarang justru bersyukur, jadi lebih bisa mengontrol emosi ke anak. Pengasuhnya juga sabar. Saya tidak bisa begitu (sabar) kalau harus mengasuh, bekerja, dan urus domestik,” ujar Afifah.

INfografik Day care. tirto.id/Fuad
Memang, orang tua yang kelelahan cenderung melampiaskan emosi kepada anak-anak mereka. “Capek bikin gampang lepas kendali.”
Namun ketika menitipkan anak di day care, telinga perlu ditebalkan. Seperti cerita Afifah, akan selalu ada pihak-pihak yang berkomentar negatif, menuduh si ibu lebih pilih bekerja ketimbang melihat perkembangan si anak atau sibuk berkomentar “kasihan anaknya.”
Padahal, kenyataannya tidaklah selalu demikian. Sebuah studi (2006, PDF) justru membuktikan bahwa anak-anak di day care memiliki perkembangan kognitif dan bahasa yang lebih baik. Studi lainnya di Prancis (2017) juga menyebut anak-anak dengan day care berkualitas punya perilaku baik dan keterampilan kognitif lebih baik daripada teman sebayanya.
Jadi, kekhawatiran perkara perkembangan anak sudah ada jawaban empirisnya. Lantas, bagaimana dengan tangki cinta anak yang dianggap akan kosong ketika tak diasuh ibunya?
Lagi-lagi, tak ada alasan untuk merasa bersalah menjadi ibu pekerja yang memiliki anak. Sebuah studi besar-besaran (2018) terhadap 100 ribu orang di 29 negara menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu pekerja tumbuh sama bahagianya dengan anak-anak ibu rumah tangga.
Studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Harvard Bussiness School tersebut menemukan bahwa anak perempuan dari ibu pekerja tumbuh menjadi karyawan berkinerja tinggi di tempat kerja. Mereka juga tak serta merta melupakan atau jauh dari orang tuanya.
Ringkasan penelitian juga menyebut bahwa anak laki-laki dari ibu pekerja menghabiskan lebih banyak waktu merawat anggota keluarga mereka.
Jadi, para ibu, buanglah jauh-jauh rasa bersalah dan mulailah kembali melihat ke dalam dirimu. Nikmati waktu yang tersisih dari menitipkan anak di day care. Lalu, cobalah kembali hobimu, pergilah berbelanja, bertemu kawan, atau sekadar minum teh dan membaca beberapa lembar buku.
Sebab anak-anak butuh ibu yang bahagia, bukan sempurna.
(tirto.id - Sosial Budaya)
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi