tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data neraca perdagangan Indonesia Oktober 2017 mengalami surplus sebesar 0,90 miliar dolar AS atau senilai Rp12,150 triliun (dengan kurs Rp13.500). Capaian ini dipicu oleh surplus sektor nonmigas sebesar 1,69 miliar dolar AS.
Secara sektoral, salah satu ekspor nonmigas yang menunjukkan nilai paling tinggi adalah industri pengolahan yang memberikan kontribusi pada Januari-Oktober sebesar 74,48 persen dengan nilai ekspor 103,131 miliar dolar AS. Dibandingkan dengan sektor pertambangan yang hanya berkontribusi 13,99 persen yang senilai 19,370 miliar dolar AS, dan sedangkan pertanian hanya 2,23 persen yang senilai 3,08 miliar dolar AS.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan bahwa tahun depan tren ekspor masih akan ditunjang oleh sektor industri pengolahan. Menurutnya, industri ini menjanjikan untuk dijadikan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi.
Apalagi, industri pengolahan dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar. "Jadi saya pikir ekspor kita ke depan masih diwarnai oleh produk-produk industri pengolahan. Ekspor kita masih mengandalkan industri pengolah yang menurut saya sebetulnya masih banyak peluang untuk ditingkatkanlah," kata Suhariyanto di kantor BPS Jakarta, Rabu (15/11/2017)
Namun sejalan dengan itu, impor Indonesia terhadap bahan baku dan bahan penolong sangatlah tinggi, baik dari bulan ke bulan atau pun tahun ke tahun. Sepanjang Januari-Oktober mencapai 95,535 miliar dolar AS atau mengambil peran 75,42 persen dari jenis barang impor golongan penggunaan barang.
Sementara, persentase jenis barang modal sebesar 15,55 persen atau senilai 19,697 miliar dolar AS. Lalu, untuk barang konsumsi 9,03 persen atau senilai 11,445 miliar dolar AS.
"Sebetulnya kalau kita lihat share-nya tidak terlalu jauh dari tahun ke tahun, pada periode yang sama 2016 nilainya sebesar 82,134 miliar dolar AS. Masih banyak industri kita yang ketergantungannya di bahan penolong masih besar," ujarnya.
Ke depan, dia berharap bahan baku/penolong bisa diproduksi di dalam negeri untuk menekan impornya. Tentu kemudian yang menjadi tugas pihak terkait adalah memperhatikan secara detail jenis bahan baku/penolong yang sebetulnya bisa diproduksi dalam negeri dan yang tidak.
"Tapi saya rasa, masih banyak produk yang seharusnya bisa dihasilkan dalam negeri. Tapi, yang perlu diperhatikan bukan cuma kemampuan kita berproduksi atau tidak, melainkan harus perhatikan harganya kompetitif atau tidak dibandingkan dengan impor," ungkapnya.
Menurut dia, ada banyak hal yang perlu dibenahi dari sisi perizinan hingga sumber daya manusianya. Menurutnya, peluang pengembangan di dalam negeri itu masih ada.
Di sisi lain, surplus di sektor nonmigas terkoreksi oleh defisit neraca perdagangan sektor migas Oktober 2017, yang besarnya 0,79 miliar dolar AS dan defisit volumenya 0,68 juta ton.
Nilai impor sektor migas baik jenis minyak mentah, hasil minyak, dan gas, mengalami kenaikkan, dengan masing-masing kenaikan 51,98 persen, 32,32 persen, 76,12 persen. Persentase impor migas total sepanjang Januari-Oktober 2017, mencapai 42,67 persen.
"Yang mempengaruhi defisit ada volumenya naik dan harga naik. Ada kenaikan harga secara agregat, sehingga secara totalnya naik semua. Sehingga naik 42,67 persen," jelasnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto