tirto.id - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta memaparkan perbedaan kronologi dan prekursor (pertanda) letusan Gunung Merapi tahun ini dengan yang terjadi pada 2006 dan 2010.
"Letusan Merapi tahun 2006 dan 2010 mempunyai prekursor yang jelas dari semua parameter data pemantauan, namun letusan tahun 2018 ini tidak memberikan prekursor yang jelas yang didominasi oleh pelepasan gas," ujar Kepala BPPTKG Hanik Humaida dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (6/6/2018).
Letusan tahun 2006 dan 2010 memiliki pola kronologi jelang letusan yang hampir sama, namun intensitas data kegempaan dan deformasi pada letusan tahun 2010 jauh lebih tinggi dari letusan tahun 2006.
Hanik mengatakan, letusan tahun 2006 menghasilkan material letusan kurang dari 10 juta m3 dengan jarak luncur awan panas mencapai 7 kilometer (km). Sementara letusan tahun 2010 menghasilkan material letusan 130 juta m3 dengan jarak luncur awan panas mencapai 15 km.
Sedangkan letusan tahun 2018 hanya menghasilkan material letusan kurang dari 100 ribu m3 dengan lontaran material jatuhan dalam radius kurang dari 3 km dari puncak.
“Letusan freatik bukan merupakan bahaya utama yang mengancam jiwa penduduk, namun bisa menjadi indikasi untuk aktivitas selanjutnya," ujar Hanik.
Aktivitas vulkanik saat ini didominasi oleh aktivitas pelepasan gas yang ditunjukkan oleh kegempaan multiphase (MP)--rekaman gempa yang mencerminkan proses retakan batuan pada sumber dangkal (permukaan), Guguran dan Hembusan yang cukup tinggi.
Berdasarkan manifestasi pelepasan gas di permukaan yang ditunjukkan oleh data pemantauan disimpulkan bahwa aktivitas vulkanik masih cukup tinggi sehingga tingkat aktivitas masih ditetapkan pada tingkat WASPADA (Level II).
BPPTKG mengimbau penduduk sekitar agar tidak melakukan aktivitas di radius 3 km dari puncak Gunung Merapi. Penduduk yang berada di Kawasan Rawan Bencana III diminta untuk tetap meningkatkan kewaspadaan.
Editor: Dipna Videlia Putsanra