Menuju konten utama

BPKN Sebut Pengaduan Konsumen Soal Perumahan Semakin Meningkat

Ardiansyah menilai, meningkatnya pengaduan soal perumahan ini terjadi karena lemahnya hukum yang mengatur dan mengawal transaksi perumahan.

BPKN Sebut Pengaduan Konsumen Soal Perumahan Semakin Meningkat
Ilustrasi perumahan. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mencatat tren pengaduan konsumen terhadap masalah perumahan semakin meningkat selama 3 tahun terakhir.

Pada 2018, ada 50 persen lebih aduan mengenai persoalan perumahan dari 80 pengaduan yang masuk, baik rumah tapak maupun rumah susun (Rusun).

Padahal, kata Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Ardiansyah Parman, biasanya porsi pengaduan rumah hanya berkisar 10 persen, seperti pada 2017 sebanyak 8 persen dan 2016 sebesar 11 persen.

"BPKN melakukan penelitian terhadap kasus ini, terhadap pengaduan ini. Di samping itu kami juga mengambil langkah untuk mencarikan solusi terhadap pengaduan yang ada," ucap Ardiansyah di Jakarta pada Rabu (28/3/2018).

Ardiansyah mengatakan, berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian terhadap persoalan perumahan, BPKN menemukan banyak masalah mulai dari perencanaan hingga pasca-transaksi.

Di tahap pra transaksi, permasalah itu berada pada perizinan, status tanah, iklan, cara menjual dan klausula baku.

Di tahap transaksi, permasalah terjadi pada klausula baku, seperti Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), Berita Acara Serah Terima, Akta Jual Beli (AJB), pertelaan/pemisahan, Sertifikat Hak Milik.

Sementara pada tahap pasca-transaksi, permasalahan yang muncul berupa pengaduan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa.

Ardiansyah mencontohkan, permasalahan yang paling tampak adalah kasus Violet Garden dan Yellow Garden di Sentul City karena ketidakjelasan status sertifikat.

Sementara di kasus Rusun MT Haryono Residence, kata dia, terjadi karena ketidakjelasan izin lingkungan. Pembangunan hotel/apartemen di dalam lingkungan rusun tidak melibatkan persetujuan warga rusun.

Ardiansyah menilai, meningkatnya persoalan perumahan ini terjadi karena lemahnya hukum yang mengatur dan mengawal mengenai transaksi perumahan.

Ia menyatakan, meski saat ini ada UU No.20/2011 tentang Rumah Susun, namun aturan itu tidak spesifik mengatur regulasi turunannya, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), ataupun Peraturan Daerah (Perda).

"Nah itu, ternyata sampai hari ini belum terbit peratutan pelaksanaan yang mengacu kepada UU yang baru 2011 itu. Kami berkesimpulan bahwa pengaturan dan pengawasan memang perlu disempurnakan," ucap Ardiansyah.

Ia mengatakan, sebenarnya undang-undang tersebut sudah mengatur perihal standar progres pembangunan rumah yang dapat ditawarkan atau promosikan kepada calon pembeli, yaitu 20 persen pembangunan. Ia mengatakan, pengawasan dapat dimulai dari situ.

"Itu sebenarnya sederhana kalau kita benar-benar melakukan pengawasan ketika mereka membagi-bagikan brosur di tempat umum," terangnya.

Kemudian, dapat dicek mengenai kepemilikan tanah bangunannya. "Apakah yang ditawarkan ini sudah ada peruntukannya, sudah ada izin lokasinya, sudah ada status tanahnya? Tanah milik, tanah negara, atau tanah yang dalam penguasa pengelolakah atau apa?" kata dia.

Baca juga artikel terkait PERUMAHAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto