tirto.id - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) bakal mengecek penyebab kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium di Riau dan Lampung. Terjadinya kelangkaan itu dinilai janggal mengingat BPH Migas telah menugaskan PT Pertamina (Persero) untuk menjual Premium di luar Jawa, Madura, dan Bali dengan kuota 7,5 juta kiloliter pada 2018.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, Pertamina wajib untuk menyalurkan Premium di luar wilayah Jawa, Madura, dan Bali.
“BPH Migas menetapkan kuota sebesar 7,5 juta kiloliter [dalam setahun]. Ini baru berjalan tiga bulan, maka tidak masuk akal kalau ada kelangkaan [Premium],” kata anggota Komite BPH Migas Hendry Ahmad saat jumpa pers di kantornya, Jakarta pada Rabu (7/3/2018).
Hendry sendiri berpendapat bahwa kelangkaan terjadi karena masalah penyaluran BBM. Ia menduga ada dua hal yang perlu menjadi perhatian, yakni upaya pengurangan pasokan Premium sehingga kuotanya tetap terjaga hingga akhir tahun dan juga SPBU yang lebih memilih untuk menjual BBM nonsubsidi.
Lebih lanjut, Hendry menyebutkan margin pendapatan yang diperoleh dari penjualan BBM nonsubsidi memang lebih besar, yakni Rp400,00. Sementara margin pendapatan untuk BBM jenis Premium hanya Rp280,00. Adapun margin tersebut sudah disepakati Pertamina selaku badan usaha dengan pemerintah.
“Seperti di Riau, Premium kurang sekali, tapi Pertalite lebih mahal dibandingkan provinsi lain di sekitarnya. Kami akan tindaklanjuti. Masyarakat [di sana] mendapat harga BBM jenis Premium di kisaran Rp9.000,00-Rp10.000,00 per liter,” jelas Hendry.
Masih dalam kesempatan yang sama, Hendry meminta agar Pertamina tidak menahan penyaluran BBM jenis Premium. Ia pun lantas mengacu pada kuota Premium bagi wilayah di luar Jamali pada 2017 yang ditetapkan sebesar 12,5 juta kiloliter, namun realisasinya hanya 7 juta kiloliter.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Pertamina dan semua SPBU bahwa dari awal, untuk BBM penugasan itu wajib dipenuhi. Pertamina juga tidak boleh mengurangi pasokan. Kalau masyarakat butuh, kami minta Pertamina untuk menyalurkan lagi,” ucap Hendry.
Saat disinggung mengenai kinerja Pertamina yang menjadi tertekan maupun mengalami kerugian karena adanya penugasan, Hendry enggan berkomentar. Kendati demikian, Hendry menekankan bahwa orientasi kepada masyarakat jauh lebih penting daripada mempermasalahkan kerugian perusahaan pelat merah tersebut.
“Yang kami lakukan adalah verifikasi volume, seperti berapa yang disalurkan badan usaha. Untuk realisasi volume itu kaitannya dengan subsidi yang akan dibayarkan pemerintah,” ujar Hendry lagi.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yuliana Ratnasari