Menuju konten utama

BPDPKS Bantah Aktivitas Industri Sawit Sebabkan Karhutla Kalimantan

BPDPKS mengklaim industri sawit telah mematuhi Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang moratorium sawit, sehingga tuduhan sejumlah pihak bahwa sawit menyebabkan Karhutla terbantahkan.

BPDPKS Bantah Aktivitas Industri Sawit Sebabkan Karhutla Kalimantan
Petugas Manggala Agni Daops Pekanbaru berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut di perkebunan sawit milik warga di Kecamatan Rumbai, Pekanbaru, Riau, Rabu (4/9/2019). ANTARA FOTO/Rony Muharrman/wsj.

tirto.id - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) membantah bila akivitas industri sawit menjadi penyebab atas kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang melanda sejumlah daerah di Sumatra dan Kalimantan.

BPDPKS beralasan, perusahaan sawit mematuhi Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018 tentang moratorium sawit sehingga tuduhan sejumlah pihak seharusnya terbantahkan.

“Ada Inpres moratorium. Kalau dikatakan turut membakar, industri sawit tidak boleh lagi memperluas perkebunan. Kalau melanggar ya itu penajahat, (perusahaan sawit) juga ya harus ditangkap,” Direktur Penyaluran Dana BPDPKS, Edi Wibowo dalam konferensi pers di Hotel Aloft Kamis (19/9/2019).

Berdasarkan data Forest Watch, sebut Edi, sekitar 83 persen kebakaran hutan pada 8-15 September 2019 berada di luar lahan konsensi sawit. Rinciannya 69 persen di luar konsensi, 11 persen di konsensi pulpwood, dan 3 persen di konsensi logging.

Kendati demikian, Edi membenarkan juga kalau karhutla di sejumlah negara, termasuk Indonesia, memang terjadi akibat aktivitas manusia.

Karena itulah, BPDPKS berpandangan bahwa setiap perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran hutan dengan sengaja harus berhadapan dengan hukum.

“Kalau kami prinsipnya yang melanggar aturan itu sebaiknya diproses hukum secara berlaku. IndustrI sawit yang sengaja melakukan itu harus diproses sesuai peraturan yang ada,” ucap Edi.

“Kami sepakat bahwa siapa pun yang menyebabkan Karhutla dengan sengaja adalah kejahatan bahkan jika itu adalah untuk kepentingan ekspansi kelapa sawit sekalipun,” tambahnya.

Meski demikian, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengungkapkan hal berbeda. Selama Januari-Juli 2019 secara nasional terdapat 4.528 titik panas. 2.087 di antaranya, menurut Walhi, berada di kawasan konsensi dan gambut.

Kemudian, ada juga 613 perusahaan yang beroperasi di kawasan gambut dengan rincian 453 konsensi HGU, 123 konsensi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dan 37 sisanya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam (IUPHHK-HA).

Sementara sejak Januari hingga awal pekan September 2019, Walhi mencatat terdapat 19 ribu titik panas dengan 3.500 lebihnya berada di kawasan konsensi dan 8.000 di kawasan gambut.

Per Senin (16/9/2019) lalu pun, polisi juga sudah menetapkan 5 perusahaan yang bergerak di industry sawit. 4 di antaranya beroperasi di Kalimantan dan sisanya di Riau.

Klarifikasi soal Sawit Baik

Edi menyatakan, acara bertajuk sawit baik yang viral di medsos digelar untuk merespon kampanye hitam sawit Uni Eropa. Dengan kata lain, munculnya kampanye sawit baik di tengah kebakaran hutan yang sedang melanda diklaim tidak berhubungan.

“Kampanye negatif di luar negeri mengenai isu sawit harus direspons dengan konten positif yang berdasarkan fakta dan data,” klaim Edi.

Ia juga membenarkan bahwa acara itu terselenggara atas kerjasama BPDPKS dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Peran Kominfo katanya menjalankan fungsi public relation (PR) bagi BPDPKS yang juga adalah unsur pemerintah.

Karena itu, menampik bila kegiatan ini berkaitan dengan pembenaran praktik pembakaran hutan sawit.

“Kegiatan sawit ini tidak bertujuan untuk membela perkebunan kelapa sawit apalagi membenarkan pembukaan lahan dengan pembakaran hutan, tetapi mengedukasi masyarakat bahwa sawit merupakan komoditas paling strategis di Indonesia,” ucapnya

Baca juga artikel terkait KASUS KARHUTLA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana