tirto.id - Konser Dream Theater di Yogyakarta yang akan berlangsung pada 29 dan 30 September 2017 harus mengalami beberapa kali pemindahan lokasi. Saat awal diumumkan pada Agustus 2017 lalu, lokasi awal konser adalah Candi Prambanan. Lokasi ini sudah bisa ditebak sebelumnya, karena penyelenggara konser bertajuk JogjaRockarta ini adalah Rajawali Indonesia Communication, event organizer yang juga membuat Prambanan Jazz Festival.
Namun, beberapa saat kemudian muncul pengumuman: konser dipindah ke Stadion Kridosono. Penyebabnya adalah izin memakai Prambanan belum keluar Semakin dekat hari H, ada pengumuman baru: lokasi konser kembali dipindah ke Prambanan karena EO sudah mengantongi izin.
"Demi promosi dan diplomasi budaya Indonesia di dunia internasional, maka venue yang semula dari Stadion Kridosono kami pindah ke Candi Prambanan. Karena Candi Prambanan adalah heritage warisan dunia," kata CEO Rajawali Indonesia Communication, Anas Syahrul Alimi.
Sedangkan Project Director JogjaRockarta, Bakkar Wibowo, menjelaskan proses penentuan lokasi yang rumit. Bowo—panggilan akrab Bakkar—mengisahkan sempat tidak turunnya izin memakai candi Prambanan. Karena itu mereka kemudian memutuskan memakai Stadion Kridosono.
"Kami ini selalu bekerja sesuai prosedur. Karena izin Prambanan waktu itu tidak turun, kami pakai stadion. Dalam konferensi pers, kami juga mengumumkan akan memakai stadion kan," ujar pria yang sudah berkecimpung dalam penyelenggaraan konser rock selama 20 tahunan ini.
Baca juga:Alasan Dream Theater Batal Konser di Candi Prambanan
Namun setelah beberapa saat, ia dan timnya dipanggil ke Jakarta oleh PT Taman Wisata Candi (pengelola Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko) dan Dirjen Kebudayaan untuk memaparkan konsep konser ini di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam paparan itu, menurut Bowo, hadir juga ahli arkeologi dari UNESCO. Kesimpulannya: mereka mengatakan konser ini aman untuk diselenggarakan.
"Setelah itu keluarlah surat izin untuk memakai Prambanan, dengan menyiapkan lampiran-lampiran untuk standar keamanan," kata Bowo.
Setelah izin keluar, tim JogjaRockarta kembali bikin pengumuman bahwa konser akan diselenggarakan di Prambanan. Semua sudah disiapkan, termasuk panggung, rig, dan segala properti yang diminta oleh UNESCO. Hingga, dua hari sebelum penyelenggaraan muncul pernyataan dari Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI).
Dalam surat pernyataan sikap itu, mereka menyampaikan protes keras terhadap penyelenggaraan JogjaRockarta. Pertimbangannya antara lain, Prambanan merupakan situs agama yang memiliki nilai sakral bagi umat Hindu. Pertimbangan lain adalah perihal tingkat kebisingan yang disebabkan oleh acara musik. Mereka memakai parameter tingkat kebisingan di Prambanan Jazz Festival.
"Tingkat kebisingan sudah melebihi ambang batas yang sudah ditentukan karena di atas 60 db. Tingkat getaran 0,04 mm/detik, sementara ambang batas untuk getaran bangunan kuno atau bersejarah sebesar 2 mm/detik, yang dapat menghasilkan efek merusak pada struktur ikatan batu-batu candi apabila digelar musik rock," tulis mereka dalam surat pernyataan.
Protes juga dilayangkan oleh Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam). Jika IAAI memakai alasan arkeologis, Kokam beralasan konser ini mengganggu ketertiban umum. Mereka juga takut ada penyalahgunaan narkoba dan miras.
Sementara itu, Agus Ari Munandar, Guru Besar Arkeologi dan Lingustik Universitas Indonesia, setuju konser ini tidak dilangsungkan di candi Prambanan. Ia mengatakan bahwa candi itu lemah dari dalam, tidak terlihat.
"Lebih baik berhati-hati. Siapa yang mau tanggung jawab kalau candi Siwa Prambanan yang tingginya 47 meter runtuh setelah konser?" ujarnya ketika dihubungi Tirto.id.
"Unesco boleh bicara apa saja. Ilmuwan lokal lebih akrab dengan obyek di negerinya sendiri. Toh kalau rusak UNESCO enggak rugi apa-apa."
Polemik Getaran, Kebisingan, dan Kurangnya Lokasi Konser
Polemik soal boleh tidaknya menyelenggarakan konser di lokasi bersejarah atau bangunan tua ini menarik. Pasalnya, bukan satu dua kali ada konser musik, termasuk rock, di kawasan bersejarah dunia.
Salah satu yang paling tenar tentu adalah Pink Floyd: Live at Pompeii. Ini konser yang tidak biasa. Pertama, dari lokasinya yang mengambil tempat di ampiteater Romawi di Pompeii, Italia. Bangunan ini dibuat sekitar tahun 70 Masehi. Ini adalah salah satu amfiteater awal yang dibangun oleh batu.
Kedua, konser ini tidak menghadirkan penonton. Konser ini direkam dan dirilis dalam bentuk film dokumenter, dirilis pada 1972. Pada Juli 2016, David Gilmour, gitaris dan vokalis Pink Floyd, melangsungkan dua konser di lokasi yang sama. Kali ini dengan penonton.
Baca juga:Satu-Satunya Jejak Syd Barret
Selain itu, ada pula Stonehenge Free Festival. Bisa dibilang ini adalah salah satu festival musik sisa-sisa dari era generasi bunga. Ia diadakan pertama kali pada 1974. Lokasinya adalah monumen Stonehenge, Inggris, yang diperkirakan dibuat pada 3000 Sebelum Masehi.
Banyak band dan musisi yang pernah bermain di acara ini. Sebagian besar berasal dari genre rock. Mulai Hawkwind, Omega Tribe, Joe Strummer, juga Jimmy Page. Acara itu terus berlangsung tiap tahun hingga 1984. Pada festival terakhir itu, jumlah penonton mencapai 30.000 orang.
Baca juga:
Di luar musik rock, ada banyak konser musik klasik maupun jazz yang dilangsungkan di kawasan bersejarah. Salah satunya berbagai gelaran orkestra di Aphrodisias, Turki, yang masuk dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Contoh-contoh di atas adalah beberapa bukti bahwa ada banyak konser yang dilakukan di tempat bersejarah. Lalu bagaimana dengan getaran, seperti yang dikhawatirkan oleh IAAI? Perihal ini, ada beberapa teori tandingan. Salah satunya seperti yang ditulis oleh Walter Konon dan John R. Schuring dalam makalah "Vibration Criteria for Historic and Sensitive Older Buildings."
Menurut makalah yang diterbitkan pada 1983 ini, ambang batas getaran yang aman bagi bangunan tua dan bersejarah adalah 2 inci/detik. Alias 50 mm/detik. Tidak seperti yang diungkap oleh IAAI, yakni 2 mm/detik. Angka 50 mm/detik itu pun berasal dari, "getaran tanah yang disebabkan oleh kegiatan konstruksi, seperti peledakan, pengeboran, dan pemadatan yang berpotensi merusak struktur yang berdekatan dengan lokasi konstruksi." Jadi bukan soal suara musik.
Namun, telaah dari Arne P. Johnson dan W. Robert Hannen menekankan bahwa batas getaran tak bisa disamaratakan. Tak ada standar baku batas getaran yang berlaku bagi semua kasus.
Makalah yang mereka tulis, "Vibration Limits for Historic Buildings and Art Collections" (2015), menyimpulkan bahwa, "Batas getaran untuk bangunan bersejarah dan koleksi seni, dan yang sejenisnya, harus dibuat secara kasus per kasus menggunakan prosedur rasional yang punya basis riset dan prinsip keilmuan yang jelas."
Kalau begitu, bagaimana dengan tingkat kebisingan? Soal ini pun bisa ditengok dari berbagai teori. Salah satunya dari studi Marshall Chasin, peneliti di Centre for Human Performance & Health. Menurut bagan yang ia buat, tingkat kebisingan musik simfoni atau orkestra, puncaknya mencapai angka 120-137 desibel (dB). Sedangkan musik rock di jarak 4-6 kaki adalah 120 dB. Dengan kata lain, tingkat kebisingan antara musik orkestra dan musik rock tidak jauh berbeda.
Tingkat kebisingan itu juga dipengaruhi oleh lokasi konser. Di konser dalam ruangan (indoor), suara akan terdengar lebih keras karena selain dari sumber suara, juga ada pantulan suara. Sedangkan di luar ruangan, suara tidak memantul. Karenanya bisa mengurangi tingkat kebisingan.
Teori itu salah satunya bisa ditengok di buku Rock and Pop Venues: Acoustic and Architectural Design (2014). Buku itu menjelaskan kalau di luar ruangan, suara yang didengar akan semakin kecil seiring semakin jauhnya penonton dari sumber suara.
Tingkat kebisingannya akan berkurang 6 dB tiap dua kali lebih jauh (doubling of distance) dari sumber suara. Menurut Larsen yang meneliti 55 lokasi konser pop dan rock untuk bukunya, hal ini dikarenakan, "udara menyerap jumlah suara frekuensi tinggi dalam jumlah signifikan."
Soal getaran dan tingkat kebisingan ini tentu bisa menjadi pemantik untuk diskusi yang lebih serius. Di Inggris, ada beberapa kekhawatiran tentang kerusakan lokasi konser berusia tua karena dampak dari getaran musik. Salah satunya adalah Knebworth House yang sudah ada sejak 1490.
Bangunan bersejarah ini pernah dipakai untuk konser Queen, Led Zeppelin, Pink Floyd, Red Hot Chili Peppers, Iron Maiden, Oasis, hingga Robbie Williams. Begitu pula kastil Donington yang kerap dipakai untuk menyelenggarakan festival musik rock, semisal Monster of Rock dan Download.
Bangunan-bangunan tua itu membutuhkan biaya perawatan besar. Biaya itu bisa didapat dari membukanya untuk umum dan kegiatan pariwisata, juga menyewakannya untuk kegiatan massal, semisal konser musik.
Dalam kaca mata besar, polemik lokasi konser ini menunjukkan bahwa Indonesia, terutama luar Jakarta, kekurangan lokasi konser yang memadai. Pihak penyelenggara harus kelimpungan mencari lokasi yang sesuai standar konser kelas internasional.
Selain itu, seperti belum ada pembahasan serius tentang lokasi mana yang boleh dipakai untuk konser. Begitu pula tentang apa saja kegiatan yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan di bangunan cagar budaya. Jika konser musik tidak boleh dilakukan di Prambanan, kenapa sejak 2015 lokasi ini bisa dipakai untuk Prambanan Jazz Festival?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, juga diskusi tentang kebisingan dan getaran, seharusnya bisa memantik pembahasan yang lebih serius.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani