tirto.id - Tanggal 29 Juli diperingati sebagai International Tiger Day atau Hari Harimau Sedunia.
Peringatan ini dicetuskan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang populasi harimau yang jumlahnya semakin menurun.
Hari Harimau Sedunia diresmikan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Harimau Internasional yang digelar tahun 2010 di Rusia.
KTT yang digelar dengan upaya menambah populasi harimau ini diikuti oleh 13 negara, termasuk Indonesia.
Saat ini, jumlah populasi harimau yang hidup di alam liar terus menurun.
Penurunan angka populasi ini disebabkan oleh beberapa hal, mulai dari seleksi alam, perburuan liar oleh manusia, hingga berkurangnya habitat alami bagi harimau.
Dari sinilah KTT Harimau Internasional digelar dengan misi menambah atau melipatgandakan jumlah populasi harimau di alam liar.
Bolehkah Memelihara Harimau atau Hewan Liar yang Dilindungi?
Sebelum menjawab pertanyaan tentang boleh atau tidaknya memelihara satwa liar yang dilindungi, ada beberapa hal dasar yang harus diketahui.
Pemerintah telah mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang satwa liar. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya
Pada Pasal 21 ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa dilindungi, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Siapapun yang sengaja melanggar pasal tersebut bisa ditindak pidana dan dikenai hukuman penjara hingga lima tahun serta denda maksimal Rp100 juta.
Sedangkan bagi orang yang lalai melakukan pelanggaran dapat dipidana penjara paling lama setahun serta dikenai denda maksimal Rp50 juta.
Dilansir laman Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), setiap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi dan secara administrasi tidak diketahui asal usulnya akan disebut sebagai F0 atau W (wild).
Kita juga mengenal adanya satwa yang dikembangbiakkan di penangkaran.
Untuk hal penangkaran, maka aturannya mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19 Tahun 2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa liar.
Penangkaran adalah unit usaha yang hasilnya ditujukan untuk jual beli atau dijadikan objek yang dapat menghasilkan keuntungan komersial.
Hasil yang dimaksud adalah spesimen dari pengembangbiakan satwa generasi kedua (F2) dan generasi berikutnya.
Hasil pengembangbiakan F2 dan generasi berikutnya diperlakukan sebagai spesimen yang tidak dilindungi setelah memenuhi syarat yang diatur dalam Permenhut Nomor P.19 tahun 2005.
Semua satwa yang masuk kategori F0 atau W (tidak diketahui asal-usul atau status keturunannya) dapat dijadikan sebagai indukan dalam penangkaran dengan izin Menteri
Di sisi lain, indukan pengembangbiakan satwa liar yang dilindungi dan berstatus F0/W adalah milik negara. Indukan generasi pertama (F1) hasil penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi juga berstatus milik negara.
Jadi, kedua jenis indukan tersebut (F0 dan F1) tidak boleh diperjualbelikan karena statusnya milik negara. Yang diizinkan untuk kepentingan komersial adalah generasi kedua (F2) dan seterusnya.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat boleh memelihara satwa liar dengan syarat hewan tersebut berasal dari penangkaran dan masuk kategori generasi kedua (F2) atau generasi berikutnya.
Masyarakat dilarang untuk memelihara satwa liar yang ditangkap dari alam (F0/W) maupun satwa liar dari penangkaran yang masih berstatus generasi pertama (F1).
Syarat Memelihara Satwa Liar/ Langka
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, setidaknya ada dua syarat utama yang harus dipatuhi jika ingin memelihara satwa liar, yaitu:
- Hewan langka yang hendak dipelihara didapatkan dari penangkaran, bukan dari alam.
- Hewan langka dari penangkaran yang hendak dipelihara termasuk kategori F2 (atau generasi berikutnya)
Jadi, masyarakat umum yang ingin memelihara satwa langka wajib mengurus surat izin ke BKSDA terlebih dahulu.
Dikutip dari laman indonesia.go.id, berikut hal-hal yang harus disiapkan untuk mengurus surat izin:
- Proposal izin memelihara hewan langka yang diajukan ke BKSDA
- Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk individu atau perseorangan serta akta notaris untuk badan usaha.
- Surat Bebas Gangguan Usaha dari kecamatan setempat. Surat ini berisi keterangan bahwa aktivitas pemeliharaan hewan tidak mengganggu lingkungan sekitar.
- Bukti tertulis asal usul indukan dari hewan yang dipelihara. Dokumen ini untuk membuktikan bahwa hewan yang hendak dipelihara memenuhi dua syarat utama yang sudah disebutkan sebelumnya.
- BAP kesiapan teknis yang mencakup kandang, kesiapan pakan, perlengkapan memelihara hewan, dll.
- Surat Rekomendasi dari kepala BKSDA setempat jika hewan yang hendak dipelihara berasal dari daerah lain.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Dhita Koesno