tirto.id - Pembukaan jalan layang Pancoran oleh Pemprov DKI Jakarta tanpa Sertifikat Laik Fungsi (SLF) sepintas tampak kontradiktif. Disebut kontradiktif karena berlawanan dengan sikap mereka yang belakangan berencana menerapkan sanksi agar timbul efek jera bagi pemilik gedung yang melanggar SLF.
Pemprov DKI Jakarta memang berjanji akan menindak bangunan-bangunan yang melanggar SLF. Mana bangunan-bangunan yang melanggar dan tidak akan diketahui berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi DKI Jakarta.
Namun Pemprov DKI punya alasan soal jalan layang yang menghubungkan Jalan MT Haryono dan Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Menurut Kepala Dinas Bina Marga DKI, Yusmada Faisal, Pemprov DKI tidak wajib punya SLF untuk mengoperasikan jalan layang Pancoran sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 41/PRT/M/2015 tentang Penyelenggaraan Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan.
"Pertanyaannya jembatan dan terowongan yang mana [yang harus punya SLF]? Tidak semua jembatan. Nanti jembatan dekat Balai Kota minta SLF dulu lagi. Ya tidak, tidak [perlu SLF]," ujar Yusmada saat ditemui di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis (18/1/2018).
Yusmada menjelaskan kriteria jalan layang yang wajib punya SLF diatur dalam Pasal 4 Permen. SLF wajib bagi jembatan dan terowongan jalan yang berspesifikasi punya bentang paling sedikit 100 meter; ketinggian pilar di atas 40 m; dan total panjang paling sedikit 3.000 meter.
"Pancoran berapa bentangnya? Jadi tidak perlu masuk ke sana," ujarnya.
Dengan dalil yang sama Yusmada mengatakan bahwa empat proyek infrastruktur perlintasan tak sebidang yang masih dalam proses penyelesaian juga tidak wajib mendapat SLF. Keempat proyek itu adalah Underpass Mampang (panjang 800 meter), Underpass Kartini (390 meter), Underpass Matraman (650 meter), Flyover Cipinang Lontar (500 meter), dan Flyover Bintaro (430 meter).
"Ini yang masuk kriteria terowongan yang tertutup, 200 meter. Mampang berapa meter? Hanya selebar Gatsu (Gatot Subroto), cuma 60 meter. Jadi jangan tanya lagi SLF-nya mana," katanya.
Garansi Aman
Tanpa kewajiban memenuhi SLF, timbul pertanyaan apakah jalan tersebut aman? Yusmada memastikan bahwa jalan layang Pancoran tidak dibuat asal-asalan. Katanya, kekuatan bangunan sudah diuji sebelum dan selama masa pelaksanaan pembangunan.
"Kami ada mekanisme internal. Ada perancangannya, ada independent checker. Dan selama pelaksanaannya sudah diuji dengan [dilewati] truk-truk molen," tuturnya.
Mereka, katanya, sudah menguji desain geometrik, berkaitan dengan kondisi lajur dan visibilitas pengendara. Uji desain geometrik sudah terpenuhi sebelum jembatan layang itu resmi dibuka.
Meski tidak wajib, Yusmada mengaku akan tetap mengurus SLF, paralel dengan pelaksanaan uji coba jalan layang. Pemprov, katanya, akan memakai jasa tim pemberi rekomendasi SLF dari Kementerian PU-PERA. Surat permohonan telah dikirim beberapa hari lalu.
SLF ini diurus untuk memastikan bahwa jalan layang dapat berfungsi dengan baik. "Demi meyakinkan kami, kami minta Komisi Keselataman Jembatan Terowongan dan Jalan tetap menolong uji beban. Kewajiban itu nggak ada, tapi kami yang minta," ujarnya.
Ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia, Drajat Hoedajanto, mengatakan proyek sekelas itu, terutama ada di ibu kota, tentu sudah melewati pengawasan dari pihak terkait.
"Soal regulasi saya memang tidak paham. Tapi kalau sudah dibangun, sudah ada yang mengecek, apalagi sudah dibuka untuk publik, berarti sudah dinilai aman," katanya kepada Tirto.
Jalan layang Pancoran dibangun oleh PT Nindya Karya (Persero). Jalan memiliki panjang 840 meter yang terdiri dari dua lajur dengan lebar 9 meter. Jalan dibuka pada 15 Januari lalu dalam bentuk soft launching. Dalam empat hari pengoperasian, jalan layang ini memang bisa mengurai kemacetan akut di sana, namun implikasinya kemacetan di pertigaan Tegal Parang semakin menjadi.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino