tirto.id - Masyarakat Indonesia saat ini beramai-ramai melakukan aksi boikot produk pro Israel. Kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan telah mengeluarkan Fatwa untuk memboikot produk milik perusahaan yang disebut mendukung Israel.
Seruan tersebut dikeluarkan melalui Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Palestina. Dalam fatwa tersebut, tertuang pernyataan bahwa mendukung perjuangan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib.
Gerakan boikot tersebut dilakukan atas genosida yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina. Selama periode 7 Oktober-23 November 2023, pasukan Israel telah membunuh sekitar 15.000 warga Palestina. Sekitar 14.800 korban jiwa berada di Jalur Gaza dan 211 di Tepi Barat. Pada periode sama, korban jiwa Israel berjumlah sekitar 1.275 orang.
Tak hanya Indonesia, bahkan masyarakat dunia juga secara masif menyerukan boikot terhadap produk pro Israel. Mereka pun sampai membuat gerakan BDS atau Boycott, Divestment, Sanctions terhadap Israel dan para pendukungnya.
Berdasarkan laporan Vox baru-baru ini mengungkapkan, lembaga kebijakan global Rand Corporation pada 2015 memperkirakan produk domestik bruto (PDB) Israel akan kehilangan sekitar 15 miliar dolar AS karena pelanggaran hak asasi manusia di Palestina, termasuk BDS.
Namun angka tersebut masih merupakan sebagian kecil dari PDB Israel saat ini yang berjumlah lebih dari 500 miliar dolar AS. Sementara itu, Al Jazeera dalam laporannya pada 2018 menyebut, gerakan BDS berpotensi merugikan Israel hingga 11,5 miliar dolar AS per tahun.
Dari gerakan boikot produk pro Israel tersebut, apakah berdampak positif atau justru sebaliknya malah negatif terhadap perekonomian di Indonesia? Tirto mewawancarai Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah pada Kamis, [23/11/2023].
Saat ini marak terjadinya masyarakat Indonesia yang melakukan boikot produk Israel. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menetapkan bahwa aktivitas membeli produk yang mendukung Israel hukumnya haram. Bagaimana tanggapannya?
Pertama, backgroundnya kita sebagai Indonesia, dalam posisi Indonesia itu support-nya Palestina. Kita itu dari zaman dulu memang membela Palestina, makanya kita tidak punya hubungan dagang, hubungan diplomatik dengan Israel. Itu adalah bentuk support kita kepada Palestina, dan itu sangat diakui oleh Palestina sendiri, rakyat Palestina sendiri. Apalagi saat ini, di mana terjadi kejahatan kemanusiaan di Gaza, kita memang pasti akan mendukung Palestina. Nah, boikot itu adalah wujud dari pembelaan kita kepada Palestina.
Apakah boikot produk pendukung Israel ada dampak positif atau manfaatnya untuk dukungan terhadap Palestina?
Kalau kita ingin menyakiti Israel, menyerang Israel dengan cara memboikot itu tidak akan begitu terasa sama Israel. Harus diingat, bahwasannya boikot itu adalah langkah politik, bukan langkah ekonomi.
Langkah politik dalam rangka kita memberikan tekanan kepada Israel bersama-sama dengan negara-negara lain bahwasannya kita menentang agresi yang dilakukan oleh Israel di Palestina. Kalau masalah efektif, ya mungkin efektif, untuk membangun kesadaran publik. Tetapi, memboikot produk-produk [perusahaan negara pendukung Israel] yang ada di Indonesia itu sebenarnya menyakiti kita sendiri.
Tidak ada dampak positif kalau dari ekonomi. Dalam teori ekonomi, yang namanya boikot itu tidak ada baiknya. Boikot kadang-kadang dilakukan oleh buruh karena itu adalah bentuk sikap politik. Tidak ada boikot dalam rangka ekonomi itu. Agar supaya penjualannya naik? tidak ada. Ya boikot itu pasti akan merugikan perusahaan.
Menyakiti masyarakat kita sendiri itu maksudnya bagaimana? Berarti malah berdampak negatif buat masyarakat Indonesia?
Misalnya kita memboikot produk-produk tertentu di Indonesia yang kita kait-kaitkan dengan Israel. Padahal produk-produk itu kita produksi sendiri, kita makan sendiri, tenaga kerjanya, tenaga kerja kita, bahan bakunya, bahan baku kita, hanya mereknya saja yang disebut dukung Israel, kita boikot. Kalau diboikot, penjualan berkurang, perusahaan akan mengurangi produksi. Jadi sebenarnya itu lebih menyakitkan untuk kita sendiri.
Misalnya seorang bayi, dia sudah tergantung pada produk tertentu yang masuk di dalam daftar yang tidak jelas [daftar produk yang beredar di publik]. Kalau produknya ada dan diboikot, ya kasian si bayi.
Misalnya McDonald ya, McDonald itu bahan bakunya kan dari kita sendiri, ayam-ayamnya, berasnya, dan lainnya, tidak dari Israel. Nah itu berapa banyak itu kita belum menghitung, tapi ya dia ada multiplier efeknya, ada efek berantainya. Nah itu semua yang akan kita alami, bukan Israel yang akan mengalami itu.
Kalau sampai produk itu atau misalnya salah satu produk yang kemarin itu mereka viral karena produk tersebut memberi makan gratis kepada tentara Israel, tapi harus dipisahkan, itu kan mereknya harus jelas. Mereka yang di Israel itu tidak ada hubungannya sama kita, mereknya saja sama itu, tidak ada hubungan ke uang Israel, karena kita bayar franchise ke Amerika, bukan kita membayar franchise ke Israel.
Sebenarnya itu ke Amerika, alasan mereka [publik] kan mengatakan ‘Kalau [beli produk] ke [dari] Amerika, Amerika nanti kan yang bantuin Israel’. tidak kayak gitu juga. Walaupun kita kurangi franchise itu, bayar franchise itu, ya Amerika itu membantunya [Israel] pakai duit negara, itu bukan duitnya McDonald. McDonald itu kan punya perusahaan swasta. Makanya kita perlu tahu McDonald itu seperti apa kepemilikannya, siapa pemiliknya, bagaimana peran si pemilik itu terhadap perang Israel. Karena sekali lagi juga perlu diketahui, tidak semua Yahudi juga mendukung Israel, mendukung Zionismenya Israel. Kan kita bisa lihat juga di media sosial banyak orang Yahudi yang ikut mengecam tindakan Israel.
Kalau kita tutup Mcdonald, kita boikot McDonald, di Jepang kan Mcdonald-nya masih buka juga. Orang di Arab Saudi aja McDonald-nya masih buka. KFC tidak ada boikot di sana. Hanya saya bilang, boikot itu sekali lagi bukan dalam upaya kita menekan Israel secara ekonomi, karena tekanan itu walaupun ada, tidak akan begitu terasa oleh Israel. Tapi boikot itu adalah perwujudan, ungkapan bahwasanya kita bersama Palestina.
Apakah boikot juga bisa berdampak membuat perusahaan melakukan pemutusan kerja karyawan atau PHK?
Mereka bisa saja [PHK], kalau berlangsung lama bisa, tutup mereka [gulung tikar] bisa. Kalau jangka pendek sih, mereka masih bisa bertahan, tapi kalau boikotnya lama, mereka tidak kuat.
Setelah seruan boikot beredar, Perusahaan Nestle yang disebut mendukung Israel kemarin melakukan PHK kepada 126 karyawannya. Apakah PHK itu dampak dari gerakan boikot?
Kalau itu sih saya yakin itu bukan karena boikot, ya karena boikotnya baru berapa hari. Jadi tidak langsung lah perusahaan langsung melakukan PHK. Pasti sudah ada persoalan yang sebelumnya, yang lain, yang diperburuk oleh adanya boikotnya.
Apakah isu boikot ini dijadikan “kambing hitam” untuk melakukan PHK?
Iya benar, itu barangkali jadi ini saja apa namanya, “kambing hitam” boikot itu, sehingga memuluskan cara. Timing [momen melakukan PHK] nya jadi pas mungkin.
Apakah juga terdampak dari sisi investasi terhadap Indonesia?
Lah kalau orangnya bangkrut, investasinya tidak ada. Kalau pabrik susunya Nestle tutup, berarti tidak ada investasi. Kalau tidak ada investasi, tidak ada pajak dan sebagainya. Dampaknya itu lebih banyak ke kita secara ekonomi dan memang ini tidak efektif ya kalau bisa buat boikot.
Boikot produk ini dampaknya juga bisa dimanfaatkan untuk menguntungkan kompetitor perusahaan yang produknya diboikot?
Iya gini, yang dikhawatirkan itu adalah muncul tabel-tabel atau daftar-daftar [Perusahaan yang produknya diboikot] yang tidak jelas. Yang di dalamnya itu berbentuk produk-produk itu memang ada kaitannya dengan pendudukan Israel. Harus diingat, tidak semua produk yang dari Amerika, [tapi ada juga] dari Eropa, itu kemudian bisa kita sebut sebagai ikut bertanggung jawab, ikut mendukung pendudukannya Zionisme itu.
Makanya yang kita butuhkan itu adalah pemerintah harus benar-benar membantu dalam hal ini menjelaskan produk mana yang memang pantas diboikot, alasannya apa diboikot. Karena kalau hanya sekadar karena produknya itu Amerika, banyak yang produk Amerika kalau kayak gitu hampir semua produk nanti kena boikot semua.
Apa langkah konkret Indonesia sebagai bentuk dukungan ke Palestina dan menolak genosida dari Israel?
Kalau Indonesia itu misalnya, Indonesia mau secara ekonomi lebih terasa oleh Israel, ya putuskan hubungan dagang antara Indonesia sama Israel, itu lebih terasa. Sekarang ini kan kita masih melakukan ekspor impor dengan Israel. Kita impor barang Israel itu tidak banyak, kita lebih banyak ekspor ke Israel. Jadi ya kita bisa melakukan stop ekspor ke Israel.
Mungkin lebih setop ekspor gas ke Israel dan itu harus dilakukan oleh negara-negara Arab. Kalau kita melakukan boikot melalui produk-produknya McDonald, Nestle, itu tidak besar dapatnya. Paling mengurangi keuntungannya perusahaan-perusahaan McDonald saja. Yang terasa ya pengusaha di Amerika, bukannya pengusaha Israel.
Lagipula Israel juga walaupun memang disebut-sebut mendapatkan bantuan dari Amerika, dia juga punya pendapatan lain juga. Misalnya di bidang teknologi mereka unggul?
Iya mereka itu negara, bukannya negara kecil Israel itu. Ya macam-macam pendapatan mereka itu, kita sudah mengakui sendiri orang Yahudi jago, pintar. Kalau mengalahkan Israel itu bukan dengan cara ekonomi. Cara ekonomi mereka itu masih dapat bantuan dari Amerika, Eropa, Jepang, Korea Selatan.
Selain upaya setop ekspor impor, upaya apa lagi yang bisa dilakukan oleh Indonesia?
Yang bisa kita lakukan itu adalah langkah-langkah politik. Sekarang ini momentumnya bagus karena sekarang ini kesadaran orang terhadap kekejaman Israel itu sudah tidak hanya di satu negara, dua negara, tapi di seluruh dunia. Kesadaran itu yang harus kita bangun. Karena melalui upaya-upaya yang menggaungkan, menyebarluaskan informasi yang sebenarnya tentang kekejaman Israel. Kesadaran itu yang lebih kuat. Jadi dampaknya itu belum ada karena baru sebentar, tapi yang jelas, dampak negatif untuk kita lebih besar daripada negatif untuk Israel.
Apa hal yang harus dilakukan pemerintah dengan kondisi boikot produk pendukung Israel saat ini agar tidak merugikan masyarakat?
Jadi kalau menurut saya, kalau kita melakukan boikot, boikot itu harus terukur, pemerintah dalam hal ini harus jelas memberikan arahan, produk mana yang diboikot, kenapa diboikot? Tujuannya apa memboikot, harus jelas. Karena kalau tidak ada kejelasan dari pemerintah, mereka memboikot itu bisa memunculkan kondisi yang tidak bagus, bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam rangka persaingan yang tidak sehat.
Misalnya kemarin kan MUI sudah meluarkan fatwa boikot atau bahkan mengharamkan. Tapi kan MUI tidak memunculkan daftarnya, yang muncul daftar-daftar gelap, daftar-daftar yang tidak jelas, siapa yang menyusun. Kalau daftarnya tidak jelas, ada pihak-pihak yang bisa dirugikan, ini tidak benar. Karena yang muncul adalah fitnah atau bahkan upaya-upaya yang menjurus kepada praktek-praktek persaingan yang tidak sehat.
Terakhir, boikot itu tidak boleh memaksa, jadi tidak boleh memaksa. Kalau kita mau boikot, fatwa haram misalnya, itu kan fatwanya MUI mengharamkan, tapi kalau ada orang yang masih mengonsumsi, tidak boleh dia dipersekusi, tidak boleh diserang, dibully, tidak boleh. Itu pilihan orang. Boikot itu kan ajakan. Tapi kalau masih ada orang yang mau mengonsumsi, tidak ada larangan. Itu bukan kemudian menjadi alasan untuk kita bisa menyerang orang karena mereka mengonsumsi produk-produk yang diboikot.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri