tirto.id - “Aku masih sangat kecil ketika ibuku mati
Ayah bergegas menjualku bahkan ketika lidahku
baru bisa teriakkan tangisan.
Begitulah, kubersihkan cerobong asap kalian
dan dalam dekap jelaga pula ku terlelap.”
Bait di atas dikutip dari "The Chimney Sweeper" karya William Blake dalam kumpulan puisinya, Songs of Innocence (1794). Puisi Blake tidak hanya menyoroti kemiskinan di Inggris di masa awal Revolusi Industri, ketika terjadi perubahan-perubahan besar dalam manufaktur, pertambangan, transportasi, pertanian, serta berbagai aspek sosial dan lingkungan, tetapi juga menunjukkan ancaman kematian yang menanti di dalam cerobong asap pabrik-pabrik.
Di masa Revolusi Industri, kota-kota di Inggris terkenal dengan cerobong-cerobong pabrik yang menguarkan asap hitam. Awan putih jadi gelap, udara memburuk, dan batang-batang pohon pun menghitam bersalut jelaga dari tungku raksasa berbahan bakar batu bara.
Begitu signifikan jelaga hitam di batang pepohonan di Inggris hingga berhasil memengaruhi evolusi warna ngengat. Ngengat warna gelap yang hinggap di batang pohon bersalut jelaga sulit dikenali burung pemangsa sehingga jenis ini saja yang lebih panjang masa hidupnya dan berhasil melanjutkan keturunan. Pada akhir abad ke-18, 98% ngengat di Inggris berwarna gelap.
Tidak hanya ngengat dan pepohonan di kota-kota industri di Inggris yang berwarna gelap. Tubuh anak-anak dari keluarga yang sangat miskin atau yatim-piatu juga segelap nasibnya. Di masa itu, lazim bagi pemilik pabrik mempekerjakan anak lelaki, bahkan sejak usia empat tahun, untuk membersihkan cerobong asap. Tubuh mereka yang kurus dan mungil cocok untuk tugas itu. Lagipula, anak-anak ini terlalu melarat untuk dapat melawan para pemilik pabrik. Bahkan seringkali orangtua mereka sendiri yang menjual bocah-bocah belia ini ke pabrik, seperti dalam puisi William Blake.
Oliver Twist juga mengalaminya.
“Aku butuh seorang bocah magang,” kata Mr. Gamfield ketika melakukan tawar-menawar harga Twist di sebuah workhouse (tempat tinggal orang miskin dan anak-anak terlantar, kebijakan Inggris di bawah Hukum Orang Miskin di abad ke-19).
Rumor telah beredar bahwa Tuan Gamfield sudah membuat tiga atau empat bocah sebelumnya mati akibat membersihkan cerobong asap. Hanya karena keberuntunganlah Oliver berhasil lolos menjadi pembersih cerobong asap Tuan Gamfield, seperti dikisahkan Charles Dickens di karyanya yang amat masyhur, Oliver Twist (1838).
Sebenarnya bisa saja cerobong dibersihkan dengan alat atau mesin. Tetapi rupanya cara ini tidak terlalu disukai perusahaan asuransi, karena dianggap sering menyebabkan kebakaran. Pemilik pabrik pun kurang puas karena hasilnya tidak terlalu bersih, sementara abu dan jelaga yang tidak sering dibersihkan menumpuk di dalam cerobong. Jadi memang anak-anaklah alat terbaik untuk membersihkan cerobong asap.
Selama berjam-jam anak-anak ini berada di dalam cerobong, seringkali tanpa baju—di musim dingin sekalipun—sehingga kulit mereka bersentuhan langsung dengan abu dan jelaga batu bara. Praktik kebersihan yang buruk di masa itu membuat mandi setiap hari bukan tradisi. Bisa jadi anak-anak ini mandi setahun sekali atau tidak pernah sama sekali.
Para pembersih cerobong harus membayar mahal pekerjaan ini, yang sama sekali tidak setara dengan upah amat kecil. Penyakit gangguan pernapasan, dermatitis, kutil, dan kanker kulit buah zakar, adalah beberapa penyakit yang mengancam mereka—di luar kecelakaan kerja, yang jamak terjadi di dalam cerobong yang sempit, pengap, gelap, dan tinggi.
Kanker kulit buah zakar pada anak-anak pembersih cerobong pertama kali diidentifikasi oleh Percivall Pott, seorang dokter bedah Inggris. Pott pula yang pertama kali mengajukan temuan bahwa penyakit kanker dapat disebabkan oleh paparan buruk lingkungan—atau kini disebut karsinogen.
Pada 1775, Pott mengamati bahwa kanker ini banyak diderita oleh pria muda London—mulanya dokter-dokter menduga karena aktivitas seksual mereka. Tetapi Pott menemukan kesamaan pada semua pria muda ini, bahwa mereka bekerja sebagai pembersih cerobong asap ketika masih kecil.
“… di usia yang masih sangat belia, mereka sudah terlampau sering menerima perlakukan brutal, dan hampir selalu kelaparan serta kedinginan; mereka menjejalkan diri ke dalam cerobong asap yang sempit, dan kadang masih panas, yang membuat tubuh mereka memar, terbakar, dan hampir-hampir tercekik asap. Lalu ketika mereka mulai menginjak usia remaja, mereka sendirilah yang harus menanggung suatu penyakit yang sangat mengganggu, menyakitkan, dan fatal," tulis Pott dalam "Cancer Scroti" yang terbit pada 1775.
Pott menduga bahwa iritasi kronis pada kulit buah zakar dan tar cerobong menjadi penyebab kanker kulit buah zakar. Pott memperhatikan bahwa ketika sedang bekerja di dalam cerobong, anak-anak ini bermandikan keringat sehingga jelaga menempel pada kulit basah mereka dalam waktu lama.
Kulit buah zakar yang berkerut-kerut merupakan rumah yang nyaman untuk kotoran yang mengendap selama bertahun-tahun. Begitu berbahayanya paparan racun dalam pekerjaan ini, pembersih cerobong asap menanggung risiko kanker jauh lebih tinggi dibandingkan para penggali kubur, tukang jagal, dan pekerjaan kelas bawah lainnya di London.
Parlemen Inggris bukannya menutup mata pada lingkungan kerja anak-anak pembersih cerobong asap. Pada 1788, terbit sebuah peraturan yang menetapkan bahwa usia minimal untuk pembersih cerobong asap adalah 8 tahun. Tetapi peraturan ini tak pernah sungguh-sungguh ditegakkan. Eksploitasi buruh anak terus menjadi bahasan di parlemen.
“The Chimney Sweeps Act” kemudian diberlakukan pada 1834, melarang pembersih cerobong di bawah usia 10 tahun untuk bekerja. Regulasi ini senantiasa direvisi dan diperbarui, tetapi tanpa penegakan hukum, sehingga praktiknya terus dilanggar.
Pada 7 Agustus 1840, tepat hari ini 182 tahun lalu, Inggris menetapkan usia minimal untuk membersihkan cerobong asap pabrik adalah 16 tahun. Tetapi baru pada 1875, polisi baru dilibatkan dalam penegakan hukum “Chimney Sweepers’ Act”.
Hidup pembersih cerobong asap tak seindah dalam lagu "Chim-Chim Cher-ee" di film musikal Mary Poppins, yangberdendang ceria sembari menenteng sapu dan sikat, menghapus jelaga hitam industrialisasi di masa Revolusi Industri.
Bagi mereka, hidup yang harus dijalani kerap sehitam jelaga yang mereka bersihkan.
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Nuran Wibisono