tirto.id - Citra negatif yang selalu melekat pada Jakarta adalah macet, polusi, banjir, dan kumuh. Menurut data TomTom Traffic Index, Jakarta pernah menempati rekor kota paling macet ketiga di dunia (saat ini ke-7). Penyebabnya karena volume kendaraan tidak sebanding dengan kapasitas jalan. Transportasi publik seperti tidak familiar bagi warga Jakarta.
Kondisi itu membuat warga Jakarta menanggung beban waktu tambahan selama 19 menit per 30 menit pada pukul 6-9 pagi. Waktu yang terbuang di jalan bertambah menjadi 26 menit per 30 menit pada jam 6 sore hingga setengah 12 malam (asumsi menggunakan mobil). Dampak dari kemacetan di Jabodetabek membikin kerugian mencapai Rp65-100 triliun tiap tahun.
“Bayangkan saja, pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen sementara pengguna kendaraan bertambah 8.75 persen per tahun,” ungkap Muhammad Effendi Direktur Operasi dan Perawatan MRT, Jumat (15/11/2019).
Data Kementerian Perhubungan mencatat pengguna jasa transportasi publik di Jakarta dan sekitarnya memang baru mencapai 40 persen atau sekitar 4,2 juta penduduk dari 10,37 juta jiwa penduduk per akhir 2017. Effendi melanjutkan, sebanyak 80 persen polusi di Jakarta bersumber dari kendaraan pribadi, sisanya baru transportasi umum.
Dengan beralih menggunakan MRT, waktu perjalanan bisa terpangkas secara signifikan dan lebih efisien. Bandingkan saja jarak Lebak Bulus-Bundaran HI dengan MRT hanya butuh waktu 30 menit, sementara dengan sepeda motor bisa mencapai 1 jam, dan menggunakan mobil/bus memakan waktu 1,5-2 jam.
“Keberangkatan antar rangkaian kereta hanya 5 menit pada waktu sibuk dan 10 menit di luar waktu sibuk. Ketepatan waktu tunggu mencapai 99.87 persen,” papar Effendi.
Efisiensi Waktu Komuter
Pemandangan lazim di stasiun MRT adalah orang-orang yang bergegas namun tetap mau membuka tas mereka sebelum melewati mesin pengetapan. Mereka juga sabar mengantre di garis kuning (tepat di samping kanan-kiri) pintu masuk serta mengosongkan ruangan tengah sebagai akses penumpang keluar.
Tak ada yang makan atau minum dengan sengaja di dalam gerbong, membuang sampah sembarangan, atau sekadar duduk-duduk di lantai stasiun, kecuali jika ingin didenda sebesar Rp500.000. Sejak dibuka pada 24 Maret 2019, PT MRT Jakarta konsisten menjalankan aturan ini hingga penumpang jadi terbiasa berperilaku tertib dan bersih.
“Karena tempat sampah cuma ada di stasiun, pernah ngelap sepatu, tisunya saya simpan di tas sampai turun,” aku Anggraini Damayanti, 35 tahun, seorang pegawai di Samsat Ciputat.
Anggraini adalah salah satu warga Jakarta yang beralih menggunakan MRT sebagai moda transportasi harian. Sebelum ada MRT, setiap hari ia pergi-pulang kantor dari Cipete Raya ke Ciputat menggunakan ojek online supaya lebih cepat. Tapi efisiensi waktu sebanyak 30 menit itu harus ia bayar dengan ongkos harian sekitar Rp75.000.
Jenis transportasi lain seperti TransJakarta memang lebih murah, tapi memakan perjalanan lebih dari satu jam. Jika masuk pukul 7 pagi, maka ia harus berangkat maksimal jam 6. Dengan beralih menggunakan MRT, waktu Anggraini tetap bisa efisien seperti menggunakan ojek online. Biasanya setelah turun di stasiun Lebak Bulus ia melanjutkan perjalanan menggunakan TransJakarta.
“Jadi lebih hemat waktu dan biaya, Cipete-Lebak Bulus cuma 5 menit, yang agak lama nunggu Trans Jakarta. Tapi ongkos totalnya hanya Rp8.500 sekali jalan,” tambah Anggraini.
Kajian yang dilakukan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) juga mengungkapkan bahwa MRT Jakarta berpotensi mengurangi emisi hingga 85.680 ton karbon dioksida per tahun. Dilansir dari Antara, angka tersebut didapat dengan menghitung sumbangan emisi CO2 dari 175.000 orang yang melintas di rute MRT Jakarta fase 1, yakni 171.360 ton CO2 per tahun.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Ivan Aulia Ahsan