Menuju konten utama

Bisakah BPJS Menyelamatkan Jiwa Kita?

Data Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat dari 1-2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat.

Bisakah BPJS Menyelamatkan Jiwa Kita?
Panti rehabilitasi gangguan jiwa di Yayasan Galuh, Bekasi, Jawa Barat. [Tirto/Andrey Gromico]

tirto.id - Tomo Hartono adalah seorang musisi dengan wajah tirus minus pesona. Jika anda kenal Mike Kinsella dari American Football, Tomo adalah perwujudan Mike ketika masih duduk di bangku SMP dan terindikasi menghirup lem aibon terlalu banyak. Ia terlalu putih dan terlalu manis untuk jadi vokalis band. Jika ia lahir di Korea Selatan bukan tidak mungkin Tomo menjadi anggota idol grup. Lagipula ia mengidap gangguan bipolar, sesuatu yang membuat dia susah untuk berkonsentrasi secara maksimal karena kerap merasa cemas tanpa alasan.

Gangguan Bipolar adalah gangguan mental yang menyerang kondisi psikis seseorang yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang sangat ekstrem berupa mania dan depresi, karena itu istilah medis sebelumnya disebut dengan manic depressive. Tomo baru menyadari bahwa ia menderita gangguan ini sejak ia memeriksakan diri di klinik. “Gue gak pernah sadar kalau menderita bipolar, waktu itu keluhannya depresi dan anxiety aja,” katanya. Sejak saat itu ia mengkonsumsi anti depresan untuk mengatasi triggered manic phase.

Untuk pengobatan, pada awalnya Tomo menggunakan jasa BPJS. Sayangnya, tidak lama kemudian klinik tempat ia dirawat tidak menerima BPJS. “Klinik langganan gue gak nerima BPJS, kalo mau BPJS mesti ke rumah sakit rujukan. Gue tanya di RS Fatmawati bisa. Tapi seperti yang kita tahu kan layanan rumah sakit rujukan gitu menyedihkan,” katanya. Tomo berhenti melakukan perawatan karena biaya pengobatan yang terlalu mahal. “Lagipula obat kemarin masih cocok-cocokan juga sih. Soalnya reaksinya untuk tiap orang kan beda,” lanjut Tomo.

Penelusuran tim tirto.id, biaya perawatan untuk kesehatan jiwa tanpa BPJS memang mahal. Seorang pasien bisa dikenai biaya Rp. 370.000 untuk satu kali sesi pertemuan di Sanatorium Darmawangsa, sementara untuk obat bisa mencapai Rp980.000. Sesi pertemuan di Darmawangsa bisa dua kali dalam sebulan. Biaya pengobatan ini tentu tidak murah bagi banyak orang. Untuk itu keberadaan BPJS semestinya bisa membantu dan mempermudah beban pembiayaan untuk pengobatan. Sayang tidak semua orang mau dan tahu soal pelayanan kesehatan mental BPJS.

Pengobatan dan perawatan bagi penderita gangguan kesehatan jiwa di Indonesia memang masih belum maksimal. Hal ini pernah di sampaikan Eka Viora SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, dalam workshop Penguatan Peran dan Kurikulum Psikolog di University Center UGM tahun lalu. Menurutnya kesenjangan pengobatan gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 90 persen. Artinya, kurang dari 10 persen penderita gangguan jiwa yang mendapatkan layanan terapi oleh petugas kesehatan. Kebanyakan justru berobat ke tenaga non-medis seperti dukun maupun kiai.

Meski belum maksimal, pemerintah sebenarnya sudah berkomitmen untuk melakukan perbaikan terhadap pelayanan kesehatan jiwa. Kepala Departemen Informasi dan Komunikasi Antarlembaga BPJS Kesehatan Pusat, Irfan Humaidi, menyebutkan bahwa BPJS telah menjamin bahwa penderita kesehatan jiwa akan mendapatkan pelayanan medis sebaik-baiknya. Ia menjamin Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) atau Disabilitas Psikosial akan dilindungi haknya oleh BPJS.

“Selama ini yang masuk dalam sakit jiwa dan segala macamnya itu kita jamin juga. Jadi intinya selama sesuai dengan indikasi medis, sesuai prosedur, dan diagnosanya ada di Permenkes 59 tahun 2014,” katanya.

Menurut Irfan Humaidi, berdasarkan Permenkes 59 tahun 2014 penyakit kejiwaan dijamin oleh BPJS, ia bahkan menyebutkan banyak pasien yang sampai berbulan-bulan dirawat di rumah sakit jiwa dengan jaminan BPJS. Meski demikian, ketika Tirto meminta data tentang pasien kesehatan jiwa yang dimaksud pihak BPJS menyebutkan masih belum melengkapi datanya. “Wah itu enggak ada. Soalnya diagnosa itu kan ribuan, jadi enggak bisa, soalnya harus didata satu-persatu,” kata Irfan.

BPJS sebenarnya cukup banyak membantu penderita kesehatan mental. Johan Kristantoro, seorang warga Jakarta, rutin mengantarkan kakak kandungnya memeriksakan diri ke RSJ Soeharto Heerdjan di Grogol. “Kakak saya penderita schizophrenia sudah bertahun-tahun. Dulu memang kami membiayai secara mandiri. Tapi semenjak ada JKN/KJS/BPJS, semua keperluan kontrol dan berobatnya ditanggung pemerintah,” katanya. Sejauh ini tidak pernah ada keluhan atau hambatan terkait pelayanan BPJS terkait gangguan kesehatan mental yang diderita kakaknya.

Johan menyebut ada proses yang mesti dilalui agar dapat menikmati layanan BPJS. “Memang, setiap beberapa bulan, kakak saya harus ngurus perpanjangan surat rujukan, tapi nggak sulit. Bahkan, atas rekomendasi dokter, dia bisa memilih RS yang dia suka. Kakak saya tinggal di Jakarta Timur, tapi selalu kontrol ke RSJ Soeharto Heerdjan di Grogol,” katanya. Tidak hanya jaminan pelayanan konsultasi dan obat BPJS juga menyediakan pelayanan rehabilitatif yang ditanggung penuh negara.

Di RSJ Suharto Heerdjan misalnya, ada layanan daycare, di mana pasien menjalani terapi okupasi melalui kegiatan-kegiatan yang menyenangkan (seni, sosial, kerajinan, kerohanian) sejak pagi sampai sore. Sejalan dengan itu Irfan Humaidi, mengatakan bahwa pelayanan kesehatan kejiwaan sejatinya sudah ada di seluruh Indonesia. “Saya pernah ke Gorontalo, itu di kabupaten ada menangani itu dan dijamin. Tergantung rumah sakitnya soal tenaga kesehatannya. Tentu itu kan berbeda-beda satu rumah sakit dengan yang lain,” katanya.

Untuk proses pelayanan setiap rumah sakit menyandarkan diri pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Permenkes 59 tahun 2014. Dedi Suryadi, Humas Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo, menyebutkan sejak untuk di Jakarta 1 September sudah ada kerjasama BPJS dengan Pemprov, untuk warga DKI kalau yang mandiri tidak mampu terkait layanan kesehatan. “Tapi posisinya dibayar pemerintah itu kan tidak ada kelas I dan II, adanya kelas III. Itu khusus provinsi DKI,” katanya.

Untuk gangguan kesehatan mental, kata Dedi Suryadi, pasien harus membuat punya keanggotaan setidaknya BPJS JKN-Kiss. Nantinya kalau ada kendala-kendala terkait kesehatan jiwa dan gangguan mental, pasien akan dirujuk ke psikiatri. “Jadi sebulan sekali biasanya kontrol. Kemudian ke rumah sakit dengan rujukan dari berbagai Faskes. Faskes primer dulu kan itu wajib, baru rumah sakit yang dituju. Apalagi sekarang sudah sistem regionalisasi, sistem mapping daerah maka (Jakarta) Timur ya Timur, (Jakarta) Utara ya Utara, dan sebagainya kecuali di daerah tersebut tidak bisa dirujuk ke tempat itu,” katanya.

Meski demikian, ada keluhan tentang layanan kesehatan yang disediakan pemerintah terkait kesehatan mental. Sejauh ini pemerintah hanya menjamin dan melayani penderita gangguan kesehatan mental di rumah sakit atau klinik yang ditunjuk. Namun, pada praktiknya ada penderita gangguan kesehatan mental yang tidak bisa mengakses rumah sakit itu. Beberapa masih belum ter-cover. Seperti Yayasan Galuh Panti Rehabilitasi Disabilitas Mental. Suhanda ketua yayasan itu mengaku tidak menerima bantuan dari BPJS secara langsung tapi ia mendapatkan bantuan secara informal. “Cuma kalau ada orang dinas atau warga biasa memberi bantuan,” katanya.

Beberapa penderita juga mengeluhkan layanan psikiater yang disediakan BPJS yang dianggap hanya memberikan obat tanpa memperdulikan kondisi pasien secara utuh. Tomo Hartono, pasien penderita gangguan bipolar, menyebutkan pasien bisa ketagihan jika dokter tidak ketat memberikannya. Kepedulian dokter terhadap pasien terkadang kurang.

“Kalau sekadar anti depresan gampang banget dapetnya di Fatmawati, tinggal minta rujukan aja bilang stres atau gimana. Tapi kan enggak sehat kalau begitu, diagnosa malas-malasan bisa berbahaya buat penyakit mental,” ungkap dia.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN JIWA atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Mild report
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti