Menuju konten utama

Realitas di Indonesia: Mudik Murah versus Mudik Mewah

Peristiwa sosial mudik tahunan menggambarkan ketimpangan pendapatan masyarakat Indonesia.

Realitas di Indonesia: Mudik Murah versus Mudik Mewah
Jet Pribadi yang diparkir dan siap untuk disewakan pada konsumen. Foto/Atlantic Aviation

tirto.id - Lima tahun lalu, Slamet tak punya ongkos mudik ke kampung halamannya di Kutoarjo, Jawa Tengah. Ia baru tiga bulan bekerja di sebuah pabrik di Bekasi. “Rasanya sedih,” kata Slamet, mengenang.

Mendekati hari Lebaran, Slamet akhirnya memutuskan naik sepeda motor buat menyiasati ongkos mudik yang mahal. Motor itu ia beli secara kredit, biasa ia pakai untuk transportasi rutinnya menuju tempat bekerja.

“Ongkosnya jauh lebih murah daripada naik bus,” ujar Slamet. Tekadnya bulat. Bagaimanapun, seperti banyak pemudik lain, merayakan Lebaran terasa lengkap bersama sanak keluarga di kampung halaman.

Tak mampu beli tiket kereta api dan bus, sebagian pemudik seperti Slamet menjadikan sepeda motor sebagai pilihan termurah demi merasakan Lebaran di kampung. Peristiwa ini jadi rutinitas tahunan bagi sebagian penduduk muslim, betapapun pemerintah terus-menerus mengimbau dan melakukan langkah solutif demi mengurangi jumlah pemudik dengan sepeda motor.

Indonesian Development and Islamic Studies (IDEAS) pada 2016 meriset tentang peristiwa sosial para pemudik. Dalam satu artikel berjudul “Mudik, Macet, Maut,” diperkirakan 32,2 juta pemudik menyerbu 20 wilayah aglomerasi di seluruh Indonesia. Dari angka itu, 5,8 juta dari 8 juta kendaraan pribadi yang dipakai pemudik adalah sepeda motor. Sementara ada 2,4 juta pemudik memakai mobil pribadi. Mayoritas para pemudik berbondong-bondong dan menyebar ke daerah Jawa.

Tahun ini, berdasarkan keterangan Kementerian Perhubungan, taksiran jumlah pemudik mencapai 28,99 juta orang. Prediksinya, ada 6,07 juta pemudik dengan sepeda motor.

Fasilitas Mewah Transportasi Mudik

Kisah Slamet adalah cerita dominan para pemudik di Indonesia. Cerita sebaliknya, yang sangat kontras, adalah kaum berduit yang tak segan mengeluarkan ongkos puluhan juta buat merayakan Lebaran di kampung kelahiran mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah penyedia jasa transportasi meluncurkan fasilitas mudik mewah. Misalnya, mudik dengan menggunakan jet pribadi dan helikopter hingga memborong satu gerbong tiket kereta wisata. Ada pula layanan bus dengan fasilitas mewah baru-baru ini.

Harga mudik super mewah ini bervariatif. Biaya menyewa jet pribadi, misalnya, berkisar antara 4.000 dolar AS dan 14.000 dolar AS untuk sekali penerbangan. Sedangkan harga untuk menyewa gerbong kereta antara Rp25 juta hingga Rp43 juta, tergantung jarak tempuh. PT Kereta Api Indonesia mengklaim bahwa setidaknya sudah ada 30 rombongan keluarga yang menyewa salah satu layanan super eksklusif tersebut untuk lebaran tahun ini.

Minat mudik dengan menggunakan helikopter pun menunjukkan antusiasme. Denon Prawiraatmaja, CEO PT Whitesky Aviation, mengklaim bahwa peminat mudik dengan memakai helikopter tahun ini mengalami kenaikan. “Tahun lalu hanya 30 kali penerbangan. Tahun ini pemesanan sudah penuh sejak 17 Juni sampai 30 Juni,” ujarnya kepada Tirto.

Ia menjelaskan, perusahaannya saat ini hanya melayani penyewaan helikopter untuk mudik dengan tujuan Jakarta-Bandung. Harga yang dipatok sebesar Rp14 juta untuk sekali penerbangan atau sekitar Rp2,3 juta per orang untuk helikopter dengan enam kursi penumpang.

Awal Juni lalu, Lorena Holding Group, salah satu Perusahaan Otobus, menawarkan layanan fasilitas super mewah bagi para pemudik dari kalangan menengah ke atas. PO Lorena meluncurkan 12 unit bus tingkat yang melayani rute utama Jakarta-Madura dan Jakarta-Surabaya-Malang. Harga tiket yang dipatok sama seperti harga tiket pesawat atau kereta api di saat hari biasa, yakni Rp450 ribu sampai Rp470 ribu.

Tak hanya Lorena, PT Blue Bird Tbk pun telah lama menyediakan bus berfasilitas mewah bagi para pemudik. Sambil menikmati perjalanan, pemudik bisa karaoke dan menonton film. Bus ini dilengkapi perkakas dapur dan toilet. Buat menikmati fasilitas bus premium berkapasitas 12 penumpang ini pemudik harus merogok kocek Rp9,5 juta per hari.

Infografik HL Mudik Orang Kaya

Wajah Kelas Pemudik

Kontras para pemudik merepresentasikan 'puncak gunung es' dari realitas penghasilan masyarakat Indonesia. Ia menggambarkan ketimpangan antara segelintir orang super kaya dan rata-rata pendapatan mayoritas warga. Kaum berduit tentu memilih kenyamanan saat mudik. Sebaliknya, jutaan pemudik lain harus menekan biaya pengeluaran buat menikmati Lebaran di kampung halaman.

Realitas sosial para pemudik ini menunjukkan bahwa pertumbuhan Indonesia dengan rata-rata 5 persen selama beberapa tahun terakhir tak dinikmati oleh semua kalangan. Dalam riset terbaru Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD), berjudul “Menuju Indonesia yang Lebih Setara,” miliuner Indonesia terus bertambah tapi di saat yang sama ketimpangan antara si kaya dan si miskin meningkat lebih cepat dari negara lain di Asia Tenggara, bahkan salah satu yang terburuk di dunia, dalam dua dekade terakhir.

Ada sekitar 93 juta penduduk Indonesia yang hidup di garis kemiskinan, demikian riset tersebut. Selain itu, jumlah penduduk yang hidup miskin juga rentan kembali ke garis kemiskinan. Di sisi lain, jumlah miliuner Indonesia terus meningkat dari satu orang pada 2002 menjadi 20 miliuner pada 2016.

Baca:

Jika merujuk proyeksi kenaikan jumlah pemudik pada tahun ini, pemudik dengan sepeda motor meningkat dari tahun lalu. Riset IDEAS tahun lalu menekankan bahwa kesenjangan pada musim mudik salah satunya karena pembangunan hanya terkonsentrasi pada kota-kota besar, khususnya di Jawa, yang menjadi pusat migrasi nasional. Meski bukan cerita baru, sentralisme pembangunan di Jawa sebagai pusat pusat politik dan ekonomi mendorong kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa.

Dan bagi Slamet, seorang buruh perantau dari sebuah desa di Jawa Tengah, bisa mudik saja sudah bersyukur. Terpenting adalah lebaran di kampung halaman.

“Karena berkumpul dengan saudara itu hanya bisa dilakukan saat Lebaran,” ujar Slamet.

Baca juga artikel terkait MUDIK atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti