tirto.id - Ban adalah sumber kecelakaan paling besar di jalan tol Indonesia. Pada 2019—seturut pemberitaan Republika, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis temuan yang menyebutkan bahwa 80 persen kecelakaan di jalan tol diakibatkan oleh ban pecah. Hal itu rupanya tidak cuma terjadi di Indonesia.
Di Amerika Serikat, menurut National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA), ada sekitar 11.000 kecelakaan mobil yang diakibatkan oleh kondisi ban yang buruk setiap tahun. Bisa karena ban pecah, kekurangan tekanan, atau sudah gundul.
Data-data tersebut menunjukkan bahwa ban adalah komponen yang sangat penting dalam aktivitas berkendara. Oleh karena itu, kualitas dan kondisi ban haruslah senantiasa menjadi prioritas bagi seluruh pengguna kendaraan.
Namun, kenyataannya tidaklah sesederhana itu. Sebab, menjaga kondisi ban memang memerlukan ketelatenan dan, tak jarang, biaya ekstra.
Di sini, tentu saja, kita bicara soal ban yang biasa kita jumpai sehari-hari. Yakni, ban yang diisi udara; entah yang memakai inner tube (ban dalam) atau ban tubeless. Dua jenis ban inilah yang ada di hampir seluruh kendaraan produksi massal di dunia ini.
Namun, apabila maintenance ban isi udara ternyata begitu merepotkan, dan apabila tidak di-maintain dengan baik bakal menimbulkan marabahaya, mengapa kendaraan produksi massal tidak menggunakan ban tanpa angin (airless tires) saja?
Bukankah teknologi ini sudah ada dan telah digunakan untuk beberapa jenis kendaraan?
Sejarah Singkat Ban
Roda adalah salah satu temuan tertua manusia. Setidaknya, teknologi ini sudah eksis sejak 3.500 tahun sebelum masehi. Meski demikian, penciptaan ban sebagai pelapis roda sebetulnya belum tua-tua amat.
Pada dasarnya, ban diciptakan untuk melindungi roda supaya tidak rusak. Ban adalah lapisan luar roda yang sengaja didesain untuk menyerap segala “serangan” terhadap ban, mulai dari batu-batu tajam sampai lubang di jalanan.
Sejak awal, ban dirancang untuk diganti secara berkala karena tujuan utamanya adalah memberi perlindungan kepada roda.
Sebelum ban karet ditemukan, roda dilapisi dengan kulit serta besi. Biasanya, pelapis tersebut ditemukan pada kereta kuda. Kemudian, setelah ditemukannya kereta api, baja juga mulai digunakan untuk melapisi roda. Kendati tahan lama, ban dari bahan keras seperti itu sangatlah tidak nyaman.
Ban karet sendiri ditemukan oleh Charles Goodyear. Dialah yang pertama kali melakukan apa yang kini disebut proses vulkanisasi. Dalam proses ini, karet yang lembek dipanaskan dengan belerang sehingga mengeras dan cocok untuk dijadikan pelapis roda.
Meski begitu, ban karet yang awalnya digunakan adalah ban karet padat, bukan ban karet berisi udara.
Kendati relatif lebih nyaman dibanding ban bermaterial keras, ban karet padat tetap belum bisa memberi kepuasan bagi para pengguna. Keluhan utamanya adalah karena ban seperti ini berat dan belum sepenuhnya bisa menyerap tekanan yang muncul akibat kondisi jalan.
Sampai akhirnya, pada 1847, ilmuwan Skotlandia bernama Robert Thompson berhasil menciptakan ban angin (pneumatik) pertama. Namun, temuan ini baru diproduksi massal oleh John Dunlop pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Setelah itu, perkembangan ban karet jenis pneumatik terus berkembang. Pada 1920-an, ditemukanlah ban jenis bias ply yang masih umum digunakan sampai sekarang. Yakni, ban dengan lapisan luar dan dalam. Tak lama kemudian, ban tubeless ditemukan dan kini pun telah digunakan di seluruh dunia.
Ban Tanpa Angin (Airless Tires)
Ban tanpa udara yang dimaksud bukanlah ban karet padat seperti yang biasa digunakan untuk sepeda anak-anak, melainkan ban dengan permukaan karet yang di bagian dalamnya terdapat lapisan penahan berbentuk jaring-jaring. Lapisan penahan itulah yang menggantikan fungsi udara pada ban airless ini.
Ban tanpa udara sebenarnya bukan barang baru. Setidaknya, sejak 2005 silam, Michelin sudah mengembangkannya dan bahkan mengaplikasikannya pada jenis kendaraan tertentu, seperti mobil golf serta ATV.
Namun, baru pada 2024 ini perusahaan asal Prancis itu (sepertinya) baru akan bisa merilis produk ban airless untuk kendaraan penumpang. Goodyear, perusahaan asal Amerika Serikat, bahkan baru berani merilis produk semacam ini pada 2030 nanti.
Sikap dua pabrikan ban raksasa itu mengindikasikan bahwa ban airless memang tidak semudah itu diaplikasikan untuk kendaraan penumpang produksi massal. Apa yang sebenarnya menjadi penghambat?
Pertama, desain ban airless sendiri selama ini masih memunculkan berbagai potensi masalah. Kedua, karena proses riset dan pengembangan ban airless ini memakan biaya sangat besar, produknya pun berpotensi untuk dijual dengan harga super tinggi.
Ban airless yang selama ini sudah diuji coba terbuat sepenuhnya dari karet, termasuk bagian jaring-jaringnya. Rupanya, ini membuat ban airless menjadi inferior ketimbang ban pneumatik atau ban angin. Sebab, ketika roda berputar di jalanan, roda tersebut akan menghasilkan kalor yang membuat segala yang ada di dalam ban itu mengembang.
Udara yang mengembang tidak akan memunculkan banyak masalah bagi struktur ban secara keseluruhan karena kita mengenal apa yang disebut tekanan udara ideal. Biasanya, ban kendaraan diisi dengan udara hingga tekanan tertentu (tidak sampai maksimal) untuk memberi ruang pemuaian.
Ban airless, sementara itu, tidak dapat menawarkan hal serupa. Akibatnya, ban bakal jauh lebih cepat rusak. Itu tentu saja bukan hal ideal bagi konsumen.
Belum lagi, ban pneumatik sampai saat ini terbukti lebih membuat kendaraan hemat energi. Dalam dunia ban, ada istilah rolling resistance yang berarti hambatan bagi roda untuk berputar. Dengan material yang lebih berat, ban airless memiliki rolling resistance yang lebih tinggi pula. Konsekuensinya, bahan bakar yang diperlukan untuk menggerakkan kendaraan jadi lebih banyak.
Masalah terakhir adalah banyaknya celah di jaring-jaring penyangga yang bisa dengan mudah dimasuki benda-benda asing di jalanan. Semakin banyak benda asing yang masuk, integritas struktur ban akan semakin berkurang.
Jika itu terjadi, bentuk ban lama kelamaan bakal berubah dan akhirnya tidak bisa digunakan lagi. Lagi-lagi, hal itu dapat merugikan konsumen.
Termoplastik sebagai Solusi
Dalam sebuah wawancara dengan Insider Cars, Chief Technology Officer Goodyear, Chris Helsel, menjelaskan bahwa salah satu inovasi yang kini telah dilakukan pabrikan untuk menyempurnakan desain ban airless adalah penggunaan material termoplastik. Tujuannya, tentu saja, untuk memberi ruang pemuaian yang diperlukan.
Termoplastik sendiri merupakan material yang akan melunak saat terkena panas dan mengeras saat terkena dingin. Artinya, ketika ia digunakan sebagai material pembuat jaring-jaring dalam ban airless, termoplastik bakal melunak terlebih dahulu sebelum memuai. Imbasnya, pemuaian tidak akan separah sebelumnya dan integritas struktur ban bisa lebih terjaga.
Selain itu, termoplastik juga lebih ringan daripada karet sehingga rolling resistance ban airless model baru bakal lebih rendah dibanding sebelumnya. Pabrikan ban juga telah membuat celah yang ada di jaring-jaring semakin kecil untuk mencegah masuknya benda asing berukuran besar yang bisa membahayakan.
Meski begitu, satu hal yang belum bisa benar-benar dijawab perusahaan-perusahaan manufaktur ban itu adalah persoalan keamanan. Masih dibutuhkan banyak sekali percobaan untuk memastikan ban jenis ini aman digunakan dalam jangka waktu lama.
Sejauh ini, kendaraan-kendaraan yang sudah menggunakan ban airless adalah kendaraan yang tidak dioperasikan dalam kecepatan tinggi.
Ban Airless untuk Masa Depan
Dua kelebihan utama ban airless adalah lebih ramah lingkungan dan lebih hemat perawatan. Ban airless lebih ramah lingkungan karena penggunaannya secara masif bakal mengurangi jumlah sampah ban secara signifikan pula.
Sebagai gambaran, Michelin mengatakan bahwa ban airless bisa tidak diganti sampai dengan lima tahun. Selain itu, ban ini tiga kali lebih tahan lama dibanding ban konvensional.
Para pembuat ban juga melihat ban airless ini sebagai bagian dari visi menyambut masa depan yang lebih berkelanjutan. Saat ini, pabrikan-pabrikan ban sudah mulai menjadikan keberlanjutan sebagai nilai jual.
Ban airless, di masa depan nanti, bakal menjadi kelanjutan dari visi tersebut, terutama karena proses pembuatannya yang menggunakan 100 persen material daur ulang.
Bagi konsumen, daya tahan ban airless bakal membuat mereka lebih bisa menghemat biaya perawatan. Masih menurut Helsel, selama ini, biaya perawatan ban muncul ketika konsumen sedang mengganti oli kendaraan karena, biasanya, mekanik juga akan sekalian mengecek tekanan ban dan mengisinya jika diperlukan. Ban airless, tentunya, tidak membutuhkan perlakuan seperti itu.
Saat ini, baru ada satu ban airless yang sudah siap untuk dilepas ke pasaran, yaitu Michelin UPTIS (Unique Puncture-proof Tire System). Belum diumumkan secara pasti berapa harganya, tapi menurut sejumlah pengamat, harganya akan lebih mahal sekitar 25 persen dari ban konvensional.
Namun, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ban ini dalam jangka panjang bakal membuat konsumen kehilangan lebih sedikit uang.
Untuk konteks Indonesia, apabila ban airless ini nantinya mampu menggantikan seluruh ban pneumatik, artinya bakal ada satu profesi yang hilang: penambal ban.
Akan tetapi, skenario ini sepertinya takkan terwujud dalam waktu dekat. Selain karena baru tersedia untuk mobil, ban airless juga lebih mahal dan ini mungkin saja membuat konsumen Indonesia berpikir dua kali untuk beralih. Suatu hari nanti, mungkin saja, tapi tidak dalam beberapa tahun ke depan.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi