Menuju konten utama

Bijakkah PDIP Melarang Kadernya Ikut Retret Kepala Daerah?

Pejabat publik bekerja berdasarkan UU, partai harusnya tak ikut campur tugas-tugas kadernya yang menjadi kepala daerah.

Bijakkah PDIP Melarang Kadernya Ikut Retret Kepala Daerah?
Ketua Bidang Kehormatan DPP PDIP Komaruddin Watubun (tengah) didampingi unsur Pimpinan DPP PDIP, Ketua Tim Hukum Todung Mulya Lubis (ketiga kanan) dan Tim Hukum Maqdir Ismail (ketiga kiri) memberikan pernyataan terkait penangkapan Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Kamis (20/2/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/YU

tirto.id - Surat Instruksi Harian Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, kepada para kadernya yang menjadi kepala daerah tersebar dalam sejumlah lini percakapan media sosial. Surat tersebut memuat instruksi kepala daerah dan wakil kepala daerah dari PDIP untuk menunda perjalanan mengikuti retret di Akademi Militer (Akmil), Magelang, Jawa Tengah.

Kepada mereka yang sudah dalam perjalanan menuju Magelang, Megawati juga menginstruksikan untuk berhenti sejenak sembari menunggu instruksi lanjutan dari DPP PDIP.

Sejumlah kepala daerah dari PDIP telah bersiaga di sekitar wilayah Magelang untuk bersiap menuju Akmil sembari menanti arahan Megawati. Dalam pantauan Tirto, mobil kepala daerah milik kader PDIP terlihat berlalu lalang di sekitar Akmil.

Salah satunya milik Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih, yang terlihat terparkir di sekitar Akmil.

"Bu Endah sudah di Magelang, tapi belum registrasi," kata Wali Kota Yogyakarta yang juga kader PDIP, Hasto Wardoyo, saat dihubungi Tirto, Jumat (21/2/2025).

WartawanTirto juga melihat dua orang kader PDIP yang ikut dalam barisan peserta retret kepala daerah dan mengenakan seragam Komando Cadangan (Komcad). Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, membenarkan kehadiran beberapa kepala daerah kader PDIP dalam acara retret tersebut. Hal itu terlihat dari jumlah rekapitulasi kehadiran retret kepala daerah.

"Ya, harusnya sih ada ya. Karena, terdata jumlahnya mungkin lebih dari angka ini. Jadi, bisa saja ada di dalam," kata Bima Arya di Kompleks Akmil.

Bima Arya pun masih menantikan kehadiran para kepala daerah dari PDIP untuk hadir di acara retret. Dia tak merincikan berapa kader PDIP yang tak datang ke acara retret, tapi dia menyebut bahwa ada 47 kepala daerah yang tak hadir tanpa keterangan.

"Artinya ada 49, maksudnya 47 yang tidak ada kabar," kata Bima Arya dalam konferensi pers.

Meski demikian, dia enggan mengomentari surat instruksi Megawati tersebut. Bima hanya menekankan bahwa para kepala daerah masih bisa hadir, meski terlambat.

"Ya, diterima dengan tangan terbuka, penuh kekeluargaan, penuh keakraban, tetapi tidak disambut dengan drumband dan kalungan bunga," kata dia.

Langkah Megawati meminta kepala daerah PDIP menunda ikut retret kepala daerah di Akmil Magelang menuai kritik dari publik. Salah satunya dari pecatan PDIP cum Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Dia meminta para kepala daerah tersebut untuk hadir dalam retret karena acara tersebut bagian dari agenda kenegaraan atas undangan Presiden Prabowo Subianto.

"Ini kan urusan ke pemerintahan ya. Yang diundang kepala daerah, yang mengundang Presiden," kata Jokowi di rumahnya, di Surakarta.

Jokowi juga mengingatkan bahwa setiap kepala daerah yang telah dilantik sudah menjadi milik rakyat. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil oleh kepala daerah tersebut harus berdasarkan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan partai.

"Karena, mereka dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Bukan untuk yang lain," kata Jokowi.

Bijakkah Langkah PDIP?

Hingga berita ini ditulis, pihak DPP PDIP maupun Megawati belum mengeluarkan pernyataan lanjutan terkait surat instruksi tersebut. Publik pun menerka bahwa hal itu berkaitan dengan penahanan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, yang telah menjadi tersangka dalam kasus suap dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menyampaikan bahwa instruksi Megawati kepada kepala daerah adalah wujud kemarahannya karena Hasto ditahan. Menurut Adi, kasus Hasto bagi PDIP memiliki muatan politis dan bukan hanya perkara suap biasa.

"Sepertinya sebagai bentuk ekspresi dari kemarahan PDIP terkait Hasto yang ditahan KPK. Bagi PDIP, kasus Hasto dinilai politis yang dikaitkan adanya dengan adanya kekuatan besar yang menarget Hasto," kata Adi.

Menurut Adi, penetapan Hasto sebagai tersangka menjadi pertanda retaknya hubungan antara PDIP dengan pemerintahan Prabowo Subianto saat ini. Karena bagi PDIP, kata Adi, Hasto sudah menjadi simbol dan bukan sekedar petugas partai biasa.

"Sepertinya bakal berpengaruh terhadap hubungan PDIP dengan penguasa saat ini. Apa pun bagi PDIP Hasto itu bagian simbol penting partai selain Mega," kata dia.

Surat instruksi Megawati sebenarnya dapat dipahami pula sebagai urusan internal partai. Namun, PDIP seharusnya tidak menjadikan penahanan Hasto sebagaialasan untuk melarang atau menahan kadernya yang menjadi kepala daerah dalam melaksanakan pekerjaannya.

Hal itu disampaikan oleh peneliti dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro. Dia juga menyebut bahwa partai politik harusnya tidak turut campur dalamtugas-tugas para kadernya yang menjadi kepala daerah.

"Sejatinya, partai politik tidak perlu terlibat lagi dalam praktik pemerintahan. Pejabat publik bekerja berdasarkan Undang-Undang Administrasi dan undang-undang lain yang terkait," kata Riko.

Dia juga menilai bahwa arahan Megawati tersebut terlalu berlebihan. Walaupun partai politik adalah pengusung kepala daerah, pemilihannya tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat selaku pemilik mandat demokrasi.

"Terkait arahan ketua partai untuk kepala daerah dianggap berlebihan. Karena, sudah ditunjuk kepala daerah sebagai pejabat publik dalam kontestasi pilkada," kata Riko.

Baca juga artikel terkait KEPALA DAERAH atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi