Menuju konten utama
Wawancara Khusus

Bijak Memilih, Jadi Alternatif Pemilu 101 buat Gen Z & Milenial

Rekam jejak parpol mulai dari histori hingga kasus korupsinya menjadi krusial bagi para pemilih mula dan muda, ceruk terbesar pemilih di pemilu 2024.

Bijak Memilih, Jadi Alternatif Pemilu 101 buat Gen Z & Milenial
Header Andhyta Firselly Utami. tirto.id/Tino

tirto.id - Pemilihan Umum 2024 tinggal menunggu hitungan bulan. Generasi Z dan milenial menjadi ceruk suara terbesar. KPU mencatat ada sekitar 107 juta orang atau 55 persen pemilih muda berusia 17-40 tahun.

Namun sayangnya banyak yang masih belum memahami pertimbangan apa saja dalam menentukan siapa calon anggota yang mereka pilih sebagai Presiden hingga anggota legislatif DPR, DPRD, dan DPRD.

Menjawab keresahan itu, sekelompok anak muda menggagas suatu platform edukasi politik untuk Gen Z dan milenial, Bijak Memilih.

Platform tersebut berisi mengenai rekam jejak partai politik, program-program yang pernah didukung, daftar calon anggota legislatif dan capres-cawapres, ideologi partai, hingga isu-isu apa saja yang menjadi perhatian mereka.

Bijak Memilih baru-baru ini juga memenangkan MIT Solve's 2023 Global Challenges--sebuah penghargaan bergengsi tingkat global yang digagas oleh MIT untuk para sociopreneur yang memanfaatkan teknologi--pada dua kategori, yakni kategori penghargaan utama dan Community Award.

Tirto melakukan wawancara khusus dengan Andhyta Firselly Utami atau Afutami Founder Think Policy dan juga inisiator Bijak Memilih pada Kamis (28/9/2023) perihal bagaimana Gen z dan milenial dapat bijak memilih kandidat demi Indonesia yang maju ke depan.

Apa latar belakang dibuatnya "Bijak Memilih"?

Jadi Bijak Memilih itu diinisiasi oleh Think Policy awalnya. Saya secara pribadi memang selama ini kami sering mengerjakan isu-isu kebijakan publik, kita mau dorong kebijakan yang lebih baik, ekosistem pembuatan kebijakan yang lebih baik di Indonesia, khususnya untuk isu-isu intergenerational, seperti perubahan iklim dan transisi digital. Tetapi kami selalu merasa tetap ada tantangan besar yaitu proses politik yang menjadi kebijakan publik, sementara selama ini saya merasa tidak ada informasi seputar, apa hubungannya isu-isu kebijakan publik dengan isu-isu yang orang muda pedulikan sama proses politik.

Jadi kita tidak bisa tahu partai mana sih yang mendukung kebijakan yang benar, atau kalau di isu-isu tertentu, undang-undang apa saja yang sempat dikeluarkan, partai mana posisinya terhadap undang-undang itu seperti apa. Jadi kami merasa itu informasi yang butuh dimiliki oleh orang muda tapi belum ada saat ini.

Nah, kemudian saya menghubungi Abigail, co-founder What Is Up Indonesia, karena organisasi tersebut sering mengikuti update rancangan undang-undang yang selama ini keluar, kemudian mereka punya cheat sheet party sewaktu Pilkada 2017, kalau tidak salah ya. Jadi mereka sudah ada dari riset awal yang bisa diajak kerjasama untuk bikin bareng.

Ternyata Abigail dan temen-temen juga banyak banget menerima DM (pesan lewat media sosial) dari pemilih muda yang juga bingung apa saja yang perlu dipersiapkan untuk pemilu pertama mereka. Jadi klik secara tujuan visi mau bantu pemilih muda yang tahun ini adalah momentum khusus mereka voters untuk bikin pilihan yang lebih bijak dengan informasi yang memang sudah dikurasi dan sudah dibutuhkan.

Apa saja yang informasi yang disediakan "Bijak Memilih" untuk para pemilih?

Di Bijak Memilih kami menyediakan tiga informasi kunci. Yang pertama itu bijak memilih isu, kedua bijak memilih partai, dan yang ketiga bijak memilih kandidat presiden. Untuk bijak memilih isu, kami kasih informasi apa saja sih yang harus dipedulikan oleh orang muda.

Jadi ada lima kategori, mulai dari ekonomi pekerjaan, kemudian kerusakan lingkungan dan krisis iklim, pendidikan dan kesehatan, sumber daya manusia, hak sipil dan korupsi, dan kelima isu minoritas dan krisis sosial. Jadi lima isu ini yang kami kurasi sebagai isu orang muda anggap penting dan walaupun belum peduli harus lebih peduli terhadap isu-isu itu. Di situ temen-temen bisa pelajari lebih lanjut tentang isu nya dan juga pelajari tentang voting histori partai-partai yang selama ini dari undang-undang yang berhubungan dengan isu-isu tersebut, itu yang pertama.

Yang kedua, bijak memilih partai, track recordnya. Karena kami selama ini merasa fokus di kandidat ini misplace. Sebenarnya fokus lebih besar itu harus di partai, karena kandidat akhirnya akan berada di bawah kekuasaan atau sistem fraksi partai, baik di DPR maupun lainnya.

Jadi terkait track record partai penting seperti apa ideologinya, apa isu-isu yang selama ini diusulkan oleh partainya dalam konteks rancangan undang-undang, kemudian representasi perempuan dan orang muda, serta tidak lupa track record korupsi. Jadi itu yang kami rasa fokus yang lebih tepat ke arah partai dan nantinya biar mereka bisa cari informasi kandidat mulai dari partai.

Yang terakhir itu yang paling penting adalah bijak memilih presiden. Nanti ini kami akan keluarkan di akhir tahun di mana kita kasih informasi seputar calon presiden. Apa yang harus dipertimbangkan orang muda sebelum memilih presiden. Kami independen, jadi semua informasi ini kami sediakan lebih kepada kriteria apa yang layak dipilih dari kaum muda, bukan untuk digiring ke satu pihak tertentu.

Dan ini menjadi penting, pertanyaan selanjutnya ya, momentum 2024 ini adalah kesempatan orang muda yang mau kebijakan publik dibuat lebih baik sesuai dengan keinginan mereka, bisa men-drive hasil pemilu di mana kita dapat informasi. Jadi tidak ada lagi nih orang-orang muda yang banyak dipengaruhi oleh otoritas, misalnya mereka disuruh gurunya, orang tuanya, disuruh milih apa. Padahal orang muda punya pilihannya sendiri, punya kepentingan sendiri. Jadi ini kesempatan buat mereka berani dan terinformasi bagaimana mereka memilih pilihan politik di tahun yang sangat penting ini dan mudah-mudahan ini menjadi awal muda jauh lebih baik ke depannya.

Siapa target audiencenya?

Target audiens utamanya adalah voters pemuda, jadi yang di bawah 40 tahun. Artinya Gen Z dan milenial kebanyakan. Jadi yang sudah umur 17 tahun. Tapi yang lebih utama lagi itu ada di urban, bisa jadi urban middle class. Target awalnya memang urban middle class. Cuma kita juga berkolaborasi dengan organisasi yang lebih grass root ke tempat-tempat yang tidak seterjangkau itu oleh sosial media atau yang sifatnya online. Jadi kami mengorganisir road show, sekarang sudah dua 10 kota, dan ke depan untuk meng-engage Indonesia secara aktivitas yang lebih offline. Jadi yang di luar urban middle class, seperti Jakarta-Bandung itu bisa terjangkau juga.

Mengapa menargetkan Gen Z dan milenial? Pertimbangannya karena ceruk suaranya besar? Sebab, hampir 60% dan otomatis berpengaruh atau karena kelompok ini dikenal apatis?

Target Gen Z dan milenial sebenarnya berangkat dari kami sendiri sebagai demografi tersebut. Kami menciptakan produk yang kami rasa akan membantu diri kami sendiri juga dan audiens yang menjadi policy. Karena kan kalau kamu berusaha mengembangkan produk untuk generasi lain, di mana kami bukan generasi utamanya, maka kesesuaiannya, kemampuan memahami usernya akan lebih berkurang. Tetapi memang at the same time, ada momentum bahwa generasi voter di bawah 40 tahun ini kebetulan tahun yang akan datang ini akan menjadi mayoritas voters, jadi ada kesempatan untuk meng-influence secara signifikan dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.

Setelah launching, bagaimana respons target audiens? Dan apa yang bisa dilihat dan analisis dari respons-respons tersebut?

Kami bersyukur banget karena setelah launching baik yang acara offline maupun online lewat Tiktok dan Instagram, responsnya luar biasa. Dalam 11 hari saja kami sudah bisa mengumpulkan 1 juta view. Di hari pertama sudah 35.000 view. Jadi senang banget ini adalah bukti ada produk market, ada kebutuhan anak muda dalam menentukan pilihan politik dan kami berharap ini angkanya jauh terus naik ke depan. Karena kami melihat berdasarkan satu teori dari universitas Harvard yaitu mengatakan perubahan akan terjadi ketika 3,5% dari populasi (kritikal massa) sudah peduli. Jadi 3,5% dari voters saja sudah bisa nge-drive, sudah bisa menciptakan momentum lebih lanjut ke depan. Tapi ini game yang bukan jangka pendek untuk 2024 saja, tapi ini game lumayan lebih long term lagi, jadi kami lihat di 2029 atau 2034.

Bagaimana pandangan Anda terkait sistem pemilu saat ini juga soal Pilpres 2024?

Terkait dengan sistem pemilu dan pilpres mungkin kami dari Bijak Memilih tidak mau komentar secara spesifik karena kami bukan organisasi peneliti politik atau think tank politik, tapi kami sekadar riset informasi untuk orang muda dalam membuat vote. Tapi secara umum mungkin masih banyak yang bisa diperbaiki lebih lanjut. On the other hand, kami kira ada privilege multipartai masih punya pemilu yang relatif terbuka, di mana sebenarnya kita bisa membuat pilihan.

Tapi di sisi lain, kan namanya pasar politik ini untuk demand and supply, permintaan penawaran. Kualitas penawarannya akan lebih baik jika ada politisi-politisi yang maju, partai-partai politik performanya akan lebih baik jika kita dari sisi permintaan orang muda voters juga semakin kritis. Sekarang belum terlalu optimal karena masih belum terlalu kritis, belum bijak gitu ya, sehingga dari sisi supply biar lebih baik lagi.

Jadi ke depan dengan pemilih yang lebih bijak kita bisa melihat perkembangan performa partai-partai dan politisi jauh lebih balik lagi. Kami sengaja pakai kata bijak di "Bijak Memilih" karena bijak itu sama seperti kebijakan dan kebijaksanaan. Jadi kami percaya kalau kebijakan publik yang lebih baik harus dimulai dari pemilih yang lebih bijak pula dalam menentukan pilihannya.

Terkait multipartai dan rekam jejak partai ketimbang caleg, jadi menurut Anda lebih baik pemilu sistem terbuka atau tertutup?

Terkait lebih baik sistem pemilu yang mana, sekali lagi Bijak Memilih bukan merupakan organisasi riset politik maupun think tank. Jadi kami tidak memiliki stand spesifik untuk mengomentarinya sistem pemilu nya sendiri gitu. Tapi arahnya dengan sistem pemilu yang sekarang mungkin kami mengobservasi atau mengembangkan frame, di mana kami merasa lebih bijak untuk membuat keputusan berdasarkan bukan tahu calegnya saja, tetapi partai yang membentuknya. Jadi bukan bilang calegnya tidak penting, tapi urutannya dimulai dari memahami isi, kemudian partai mana yang memainkan isu, baru setelah itu penting untuk mencari track record dari individu calegnya sendiri setelah dua step yang pertama.

Bijak Memilih ada karena berupaya menjawab keresahan-keresahan tadi, lantas adakah target yang lebih makro ke depannya?

Jadi tim Bijak Memilih mungkin memang melihat pemilu ini sebagai window momentum spesifik di 2024. Tapi memang dalam konteks pendidikan politik, kami menyadari betul bahwa prosesnya tidak akan sesingkat itu dan akan membutuhkan waktu lebih dan kita lihat jangka panjangnya bisa jadi 5, 19, hingga 15 tahun ke depan, di mana awal mulanya sekarang ingin memperkenalkan kerangka berpikir baik itu menentukan pilihan caleg maupun pilihan presiden.

Kalaupun temuannya ada feedback, misal ternyata temuannya belum ada yang sesuai ekspektasi, nah ini menjadi proses pembentukan demand atau permintaan pasar yang lebih baik atau ketika demand nya semakin tinggi di pemilu selanjutnya. Kita bisa agar partai-partai pun bisa semakin memperbaiki diri dan perfoma supaya memberikan kita calon-calon legislatif maupun presiden yang lebih baik lagi karena demand dari masyarakat sudah lebih tinggi, bijak, dan mendapatkan informasi. Itu bagian dari ke arah jangka panjangnya juga.

Di dalam Bijak Memilih juga ada informasi terkait ideologi partai. Mengapa hal ini penting untuk disampaikan mengingat kalau kita lihat-lihat toh ideologi partai di Indonesia 11-12 lah? Apakah Gen Z dan milenial masih melihat ideologi partai sebagai preferensi?

Jadi mungkin di Bijak Memilih, kami memang mengakui kondisi saat ini bahwa bisa jadi insentif politiknya mendorong pembentukan koalisi yang tidak terlalu berdasarkan ideologi, tetapi agak ada elemen bahwa di dalam kondisi ideal partai-partai itu diharapkan sesuai dengan aspirasi founding fathers dan berdasarkan dokumen-dokumen persiapan BPUPKI dan sebagainya.

Dan itu seharusnya menjadi wadah pemikiran berbagai ideologi di negara ini. Jadi kami menyertakan ideologi partai sebagai upaya salah satu preferensi yang dapat digunakan. Memang informasi ideologi partai yang kami sertakan ini juga bukan riset kami sendiri atau data primer, tapi riset dari jurnal lain terpisah, di mana riset itu berdasarkan persepsi anggota politisi partainya terhadap partai yang di mana anggotanya. Jadi berdasarkan persepsi politisinya sendiri.

Kami tambahkan juga ideologi partai berdasarkan statement resmi partai nya sendiri. Kalau ditanya kenapa ini dianggap penting, karena meskipun saat ini belum berdasarkan ideologi partai, mungkin karena semangat nya ingin menyampaikan pesan, mungkin ke depannya partai bisa bergerak ke arah ideal, sehingga fungsi partai tadi dapat mewakili ideologi yang berbeda. Ini bagian edukasi politik dan mengirim pesan bahwa ideologi masih penting ke depannya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri