tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2014 silam pernah merilis survei integritas pelayanan publik yang dilakukan terhadap 40 unit layanan di 20 kementerian/lembaga. Salah satu layanan yang menjadi sorotan adalah pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).
Sorotan tersebut menguat mengingat lembaga KUA yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag) ini, sebelumnya sudah tiga kali mendapat rapor merah. Dalam konteks ini, KUA selalu mendapat nilai di bawah standar minimal KPK yang mematok angka 6, sedangkan KUA berdasarkan survei integritas tahun 2014 hanya mendapatkan nilai 5,47.
Tahun ini, komisi antirasuah memperluas skala survei menjadi 64 lembaga dan kementerian. Pada 23 Agustus lalu, KPK telah memberikan pengarahan kepada sejumlah pemangku kepentingan soal survei integritas publik ini. Survei tersebut bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap integritas layanan publik yang diberikan oleh lembaga pemerintah kepada masyarakat.
Pertanyaannya, mengapa KUA selalu mendapat rapor merah?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut setidaknya perlu mengulas ulang di balik lahirnya PP Nomor 48 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama. Di era Presiden Joko Widodo, regulasi ini kemudian diganti menjadi PP Nomor 19 tahun 2015.
Lahirnya regulasi tersebut merupakan tindak lanjut dari Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) pada Februari 2014 silam yang diadakan KPK terkait potensi gratifikasi pada layanan nikah atau rujuk di KUA.
Pada kesempatan itu, Suryadharma Ali selaku Menteri Agama [Februari 2014] mengungkapkan perbedaan pelayanan administrasi pemerintahan pada umumnya dengan pelayanan administrasi di KUA. Kalau pada umumnya, administrasi pemerintahan melayani pada saat jam kerja dan di kantor, maka pelayanan di KUA, seringkali melayani di luar jam kerja dan di luar kantor, seperti hari Minggu dan tanggal merah.
Hal tersebut kemudian memunculkan potensi gratifikasi, karena biaya sebesar Rp30.000 seperti diatur dalam PP No. 51 tahun 2000 jo PP No. 47 tahun 2004 tidak cukup untuk biaya operasional. Dalam konteks ini, Kepala KUA atau penghulu menghadapi dilema dalam hal penetapan biaya pencatatan nikah.
Di satu sisi, KUA ingin memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, tetapi di sisi lain KUA menghadapi kendala dalam hal biaya operasional, terutama biaya transportasi menuju tempat berlangsungnya pernikahan. Situasi ini membuat biaya nikah yang seharusnya hanya Rp30.000 menjadi bengkak, bahkan ada yang dipatok lebih dari Rp1.000.000.
Karena itu, Kemenag mengusulkan perubahan PP yang isinya penyesuaian tarif agar potensi gratifikasi yang dikemukakan KPK dapat diminimalisir. Kemudian lahirlah PP baru yang salah satu poin pentingnya adalah tarif pencatatan nikah jika dilakukan di luar KUA adalah Rp600.000, sedangkan kalau dilaksanakan di kantor KUA tidak dipungut biaya atau gratis.
Pungutan Liar Masih Ada
Apakah praktik pungutan liar benar-benar lenyap setelah terbitnya PP yang mengatur besaran biaya nikah di luar KUA tersebut? Ternyata pungutan liar di luar yang dilegalkan PP masih saja terjadi. Misalnya, kasus yang dituturkan warga Purworejo, Jawa Tengah yang berinisial F. Menurut dia, saat tetangganya yang berinisial IW dan BH menikah pada awal Agustus lalu, mereka harus membayar uang administrasi sebesar Rp1.000.000 pada penghulu.
Pasangan IW dan BH ini tidak mengetahui ketentuan tarif biaya nikah yang diatur dalam PP Nomor 19 tahun 2015. Mereka hanya bertanya pada petugas KUA soal besaran biaya nikah yang harus dibayarnya. Sayangnya, pihak KUA tidak menjelaskan secara benar biaya yang tertuang di PP tersebut. Pihak KUA justru menyebut nominal Rp1.000.000. “Dana tersebut dibayar tunai ke penghulu yang menikahkan, tidak ditransfer melalui bank,” ujarnya pada tirto.id.
Cerita berbeda diungkapkan Wiwit Endry Nuriyaningsih. Ia membayar Rp600.000 melalui bank saat mendaftarkan pernikahannya di salah satu KUA di Kabupaten Bantul, Yogkayarta. Namun usai akad nikah pada 10 Juli lalu, keluarga sohibul hajat memberikan bingkisan berupa kue dan sirup pada penghulu sebagai tanda terima kasih.
Beda halnya dengan pengalaman Rifki. Saat mendaftarkan pernikahannya di salah satu KUA di Jakarta Timur pada 2014 lalu, ia harus mengeluarkan dana sebesar Rp700.000. “Rp600.000 dibayar melalui bank, dan Rp100.000 dibayar langsung di KUA sebagai biaya administrasi,” ujarnya.
Namun, di beberapa daerah lain, seperti yang dialami Irawan Sapto Adhi, di KUA Banjarnegara, Jawa Tengah, dan Ali Ahmad Hamdani, di salah satu KUA di Semarang hanya cukup bayar Rp600.000 melalui bank.
Melihat contoh di atas, setelah disahkannya PP yang mengatur soal biaya nikah, ternyata masih ada praktik pungutan liar di beberapa daerah. Namun, dari sisi jumlah berkurang jika dibandingkan dengan sebelum adanya PP No.48/2014 yang sudah direvisi menjadi PP No.19/2015.
Hal tersebut juga diakui oleh Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenag, M Jasin. Menurut dia, praktik korupsi, seperti gratifikasi masih terjadi di KUA. Karena itu, survei integritas pelayanan publik di Kemenag terkait dengan layanan publik diarahkan pada tiga titik, yaitu urusan ibadah haji, pencatatan nikah atau rujuk di KUA, dan pendidikan.
“Kalau di Kemenag, layanan penyelenggaraan ibadah haji yang kita usulkan. Kemudian layanan KUA, KUA itu kan di sana sini masih ada korupsinya, perlu disurvei. Yang ketiga layanan pendidikan. Di situ kan ada BOS [Bantuan Operasional Sekolah], ada KIP [Kartu Indonesia Pintar], ada BSM atau Bantuan Siswa Miskin dan ada juga bantuan prasarana. Jadi intinya tiga layanan publik yang dari Kemenag kita sampaikan ke KPK untuk bisa disurvei,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Melihat fakta di atas, pekerjaan rumah bagi Kemenag ke depan adalah melakukan pengawasan lebih ketat dan intensif agar oknum pegawai KUA di penjuru nusantara lebih tertib dalam melaksanakan tugasnya sesuai regulasi dan komitmen tidak akan menerima gratifikasi.
Selain itu, KPK juga harus berperan aktif memberikan supervisi dan masukan pada lembaga/kementerian agar tidak hanya terjebak pada rutinitas survei tahunan dan penilaian rapor merah. Saatnya melawan praktik korupsi dari hal kecil yang melekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti