Menuju konten utama

Biafra, Republik Berumur Singkat dan Berlumur Darah

Republik Biafra yang mencakup wilayah Nigeria timur pernah berdiri pada 30 Mei 1967. Dilatarbelakangi oleh konflik antar etnis, ketimpangan sosial dan ketidakstabilan politik.

Biafra, Republik Berumur Singkat dan Berlumur Darah
Letkol Odumegwu Ojukwu (kiri, berseragam militer) beberapa saat setelah proklamasi kemerdekaan Biafra di Engu (10/6/67). FOTO/AP

tirto.id - Nigeria adalah negara federasi yang menaungi tiga kelompok etnis utama, yaitu Igbo di timur, Hausa/Fulani di utara dan Yoruba di barat. Dalam catatan Inventory of Conflict and Environment (ICE) Cases Studies: "The Biafran War" yang diterbitkan American University, tiga kelompok etnis ini dibungkus dalam satu bingkai oleh Eropa saat Konferensi Berlin (1884 - 1885). Sebelum dan setelah pembagian, wilayah yang kemudian disebut Nigeria itu berada di bawah koloni Britania Raya (1800 – 1960).

Hanya dalam waktu enam tahun sejak kemerdekaan Nigeria pada 1960, ketegangan antaretnis membuncah. Etnis Igbo memilih mendirikan negara sendiri bernama Republik Biafra pada 1967. Etnis Hausa di utara yang menjadi lokasi pemerintahan pusat Nigeria menolak keinginan orang-orang Igbo. Ini menjadi penanda dimulainya Perang Sipil Nigeria atau juga disebut Perang Biafra yang berlangsung tiga tahun.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya perang sipil di Nigeria. Persaingan etnis di tubuh militer Nigeria menjadi awal ketidakstabilan politik yang memicu kerusuhan. Puncaknya pada 15 Januari 1966, Mayor Kaduna Nzeogwu dan sejumlah perwira Angkatan Darat junior dari etnis Igbo mengeksekusi sejumlah pemimpin nasional non-Igbo seperti Perdana Menteri Abubakar Balewa, Ahmadu Bello dan istrinya, serta Samuel Akintola.

Mayor Jenderal Johnson Aguiyi-Ironsi, seorang Igbo, diangkat sebagai kepala pemerintahan oleh para menteri yang selamat dari kudeta Januari 1966. Mengutip dari catatan Harvard Divinity School berjudul "The Republic of Biafra", masyarakat Nigeria di bagian utara dan barat menganggap Kudeta 1966 itu sebagai tindakan untuk melemahkan kekuasaan mayoritas Hausa dan melawan dominasi utara.

Kudeta tersebut memantik kerusuhan besar. Terlebih, ada sentimen sosial yang beranggapan bahwa Igbo lebih makmur dan berpendidikan. Aksi kudeta ini melahirkan aksi balasan. Encyclopaedia Britannicamencatat, sekitar 10.000 sampai 30.000 orang Igbo dibantai di wilayah utara dalam upaya pembersihan etnis. Sementara sekitar satu sampai dua juta orang Igbo lainnya terpaksa mengungsi meninggalkan kampungnya untuk mengungsi ke timur tempat mayoritas Igbo bermukim.

Siapa dalang di balik pembantaian itu masih sumir. Lassee Heerten dan A. Dirk Moses dalam jurnal "The Nigeria-Biafra War: Postcolonial Conflict and the Question of Genocide" (2014), menyebut bahwa ada keterlibatan pemberintah Nigeria dalam pembantaian --walau ini masih diperdebatkan. Sedangkan catatan The Nigerian Voice tahun 2016, menyebut pelaku pembantaian mulai dari pejabat militer, polisi, pemerintah daerah dan warga sipil. Y

ang jelas pemerintah Nigeria gagal menghentikan kerusuhan berdarah tersebut. Sampai saat perang sipil meletus pada 1967 bersamaan dengan deklarasi Republik Biafra, serangkaian pembantaian, pemerkosaan dan kekejaman lainnya terus berlangsung menimpa minoritas Igbo di utara.

Deklarasi Republik Biafra

Pertikaian terus berlangsung. Upaya kesepakatan damai dari perwakilan kedua belah pihak tak kunjung tercapai. Sampai akhirnya Letnan Kolonel Odumegwu Ojukwu yang kala itu menjabat sebagai gubernur wilayah Nigeria Timur, mendeklarasikan berdirinya Republik Biafra pada 30 Mei 1967 yang mencakup semua wilayah timur.

Pemimpin militer pemerintah Nigeria, Jenderal Yakubu Gowon tegas menolak mengakui kemerdekaan Republik Biafra. Pada bulan Juli, unit-unit tempur tentara dikirim ke timur untuk berperang dengan pasukan Biafra.

Babak konflik selanjutnya terjadi antara Republik Biafra dan pemerintahan federal Nigeria. Secara resmi Perang Sipil Nigeria atau Perang Biafra meletus. Pada Juli 1967, pasukan Biafra mulanya berhasil menegakkan kedaulatan wilayah mereka atas rongrongan pemerintahan Nigeria. Tetapi itu tidak bertahan lama. Pasukan federal yang terus berdatangan membanjiri wilayah Biafra dari selatan, barat, dan utara.

Upaya Ojukwu menekan perusahaan minyak asing yang beroperasi di Biafra agar mendukung perjuangan mereka tidak membuahkan hasil. Para perusahaan memilih memberikan dukungan kepada pemerintah Nigeria.

Kepentingan utara mengamankan ladang minyak di Biafra memang cukup beralasan. Dalam buku Writing the Nigeria-Biafra War (2016) yang diedit oleh Toyin Falola dan Ogechukwu Ezekwem, disebutkan bahwa kontribusi minyak terhadap keuangan negara sedang meroket dari hanya sepersen di tahun 1960 menjadi 18 persen di tahun 1966. Sektor minyak juga menyerap 17.178 tenaga kerja Nigeria. Pajak yang dihasilkan dari sektor minyak mencapai lebih dari 15,8 juta poundsterling.

Respons dunia pun terbelah. Negara tetangga seperti Pantai Gading, Gabon, Tanzania, juga Zambia, mendukung berdirinya Republik Biafra. Pihak Prancis mendukung dengan cara memasok persenjataan untuk milisi Biafra. Sedangkan Inggris dan Uni Soviet mendukung pemerintah Nigeria, dan memasok kebutuhan senjata bagi pihak militer negara.

Di sisi lain, kelaparan dan penyakit yang melanda masyarakat Biafra mengundang simpati dunia internasional. Ada tiga juta warga Biafra yang terancam meninggal dunia karena blokade darat oleh pasukan Nigeria. Belum lagi serbuan pengungsi Igbo dari utara bakal menambah krisis berkepanjangan. Bantuan makanan dan obat-obatan dari dunia internasional berusaha dialirkan ke Biafra.

Namun pemerintah Nigeria melarang Komite Palang Merah Internasional menerbangkan bantuan ke Biafra. Dikutip dari BBC, pemerintah Nigeria berdalih bahwa pemberian bantuan asing dikhawatirkan akan memperkuat pasukan Biafra. Praktis, segala bantuan harus dititipkan ke militer Nigeria untuk diperiksa.

Infografik Republik Biafra

Infografik Republik Biafra

Di London, lebih dari 80 anggota parlemen mendatangani mosi mendesak pemerintah Inggris memulai operasi bantuan ke Biafra dan menghentikan penjualan senjata ke Nigeria. Perjanjian yang diselenggarakan pada Desember 1969 dan awal Januari 1970 mulai mengarah ke akhir konflik Biafra. Ojukwu selaku pemimpin kemerdekaan melarikan diri ke Pantai Gading, sedangkan para perwira Biafra yang tersisa menyerah pada pemerintah federal Nigeria pada 15 Januari 1970.

Biafra runtuh total.

Meski Republik Biafra gagal berumur panjang, aspirasi kemerdekaan Nigeria timur tidak benar-benar padam. BBC melaporkan pada 2007, beberapa kelompok pemuda dari organisasi Aktualisasi Negara Berdaulat Biafra (MASSOB) mengungkit kembali tawaran pemisahan Biafra dari Nigeria.

Anggota MASSOB yang kebanyakan para pedagang dan intelektual lulusan universitas ini punya cara unik untuk mempromosikan negara Biafra di kalangan penduduk Nigeria timur. Misalnya, di pasar ada ajakan untuk membayar pajak atas nama negara Biafra. Beberapa tahun sebelumnya, juga beredar mata uang Biafra. Menghadapi hal ini, Pemerintah Nigeria pernah menahan beberapa anggota MASSOB yang dianggap radikal, seperti Ralph Uwazuruike dan Mujahid Dokubo-Asari.

Baca juga artikel terkait KETIMPANGAN SOSIAL atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Nuran Wibisono