Menuju konten utama

BI: Uang Muka Kredit Pemilikan Rumah Turun Menjadi 15%

Bank Indonesia (BI) telah secara resmi mengubah ketentuan rasio nilai pinjaman dari aset (loan to value/LTV) kredit pemilikan rumah pertama menjadi 85 persen, sehingga uang muka yang harus dibayar nasabah menjadi 15 persen dari total harga rumah, menurun dibandingkan sebelumnya yang mencapai 20 persen.

BI: Uang Muka Kredit Pemilikan Rumah Turun Menjadi 15%
Buruh mengerjakan pembangunan perumahan bersubsidi di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (1/8). Pemerintah memberlakukan subsidi uang muka Rp4 juta kepada setiap debitur bersamaan dengan penerapan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Subsidi Selisih Bunga (SSB) sebagai pengganti program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) guna mendorong pertumbuhan penjualan rumah bersubsidi. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

tirto.id - Bank Indonesia (BI) telah secara resmi mengubah ketentuan rasio nilai pinjaman dari aset (loan to value/LTV) kredit pemilikan rumah pertama menjadi 85 persen, sehingga uang muka yang harus dibayar nasabah menjadi 15 persen dari total harga rumah, menurun dibandingkan sebelumnya yang mencapai 20 persen.

Filianingsih Hendarta selaku Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial BI di Jakarta, Rabu (31/8/2016) mengatakan kepada Antara bahwa BI juga menurunkan uang muka untuk kredit pemilikan rumah (KPR) kedua menjadi 20 persen dari sebelumnya 30 persen, dan kredit rumah ketiga serta seterusnya menjadi 25 persen dari sebelumnya 40 persen.

Peraturan BI (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016 yang dikeluarkan pada 29 Agustus 2016 itu diharapkan melengkapi stimulus dari pemerintah untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Sasaran dari relaksasi ini, permintaan masyarakat dapat meningkat, serta laju kredit perbankan juga dapat terus tumbuh.

Relaksasi menyasar sektor properti karena sektor "gemuk" ini memiliki efek pengganda manfaat ekonomi (multiplier effect) yang besar terhadap sektor lain seperti sektor konstruksi, industri, dan juga jasa keuangan. “Kita tidak ingin melewatkan momentum mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan makroprudensial," imbuhnya.

Namun, lanjut Fili, pelonggaran LTV ini juga harus dibarengi dengan ketahanan industri perbankan untuk mencegah "bumerang" perekonomian karena membengkaknya kredit bermasalah. Maka dari itu, relaksasi ini dibarengi syarat yakni perbankan harus memiliki total rasio kredit atau pembiayaan bermasalah (non-performing loan/NPL atau NPF) secara bersih (net) di bawah 5 persen. Di lini KPR, NPL atau NPF perbankan juga harus di bawah 5 persen secara gross

Jika tidak bisa memenuhi syarat tersebut, maka bank tidak bisa mengenakan penurunan uang muka sesuai ketentuan terbaru. Perbankan di luar syarat tersebut menggunakan ketentuan lama LTV yang dikeluarkan Juni 2015. Hingga Juni 2016, BI mencatat terdapat sekitar 80 bank dari 118 bank di Indonesia yang dapat memanfaatkan pelonggaran LTV ini.

"Saat relaksasi LTV Juni 2015, syaratnya gross untuk total kredit dan kredit KPR, sedangkan sekarang kami ubah NPL atau NPF total kredit perbankan menjadi net, sehingga memperlonggar perbankan," ujarnya.

Lebih lanjut, Fili menerangkan selain syarat dari sisi NPL tersebut, aturan terbaru LTV ini juga memperbolehkan pembiayaan inden hingga rumah kedua, namun dengan pencairan pembayaran secara bertahap. "Ini untuk melindungi konsumen dari pengembang nakal. Jangan sampai uang sudah dibayarkan semua, ternyata pengembang kabur," tambahnya.

Pelonggaran LTV ini tidak berlaku untuk KPR yang termasuk program perumahan dari pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan untuk kredit atau pembiayaan tambahan, relaksasi LTV ini dapat digunakan asalkan NPL memenuhi syarat. Jika kualitas kredit tidak sesuai syarat, maka tambahan kredit tersebut dihitung sebagai fasilitas kredit baru.

Fili mengatakan relaksasi LTV ini dapat menambah 3,7 persen terhadap pertumbuhan KPR per tahun sejak aturan ini diberlakukan. Dengan relaksasi ini, bank sentral juga akan mengkaji untuk menaikkan perkiraan pertumbuhan kredit perbankan yang tahun ini sebesar 7-9 persen.

Baca juga artikel terkait KPR atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Hard news
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan