tirto.id - Apakah kita benar-benar peduli dengan banjir bandang di Garut? Seberapa penting banjir bandang di Garut dibandingkan Pilkada DKI, PON 2016 atau pengadilan Jessica?
Tidak ada. Televisi sejak pagi tidak memberi porsi yang memadai untuk bencana yang terjadi di Garut. Pengadilan Jessica masih disiarkan secara langsung, seperti pada hari-hari sebelumnya, dan baru berhenti saat Ahok-Djarot mendaftarkan diri di KPUD DKI. Begitu pendaftaran Ahok-Djarot selesai, barulah banjir di Garut mendapatkan porsi signifikan di layar kaca.
Bahkan walau pun banjir di Garut itu mendapatkan porsi besar di media sejak pagi pun, pada dasarnya banjir di Garut (juga bencana-bencana di daerah lain pada waktu yang lain) tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius, genting, dan mendesak. Tentu saja perhatian negara biasanya akan muncul jika skala bencana sangat serius, apalagi jika sudah menjadi fokus pemberitaan. Tidak ada keraguan juga pada kepedulian sesama umat manusia. Jika sudah mendapat porsi besar di media, tidak ada keraguan kalau bantuan kemanusiaan segera berdatangan.
Tapi setelah itu? Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa, pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui: politik kembali menjadi banal, sosok menjadi pusat dengan segala konsekuensi turunannya (perang haters vs lovers), pokok-pokok persoalan (termasuk akar muasal terjadinya berbagai bencana) hanya menjadi persoalan yang dibahas sambil lalu – jika kata “absen” dianggap berlebihan.
Banjir bandang di Garut, juga bencana-bencana yang lain, hanyalah peristiwa biasa, karena warga tidak cukup memberi perhatian kepada akar persoalan. Banjir bandang di Garut, juga bencana-bencana yang lain, hanyalah kejadian sambil lalu karena negara merasa selesai menunaikan kewajibannya hanya dengan mengirimkan tim SAR, dan (kadang-kadang) merehabilitasi infrastruktur yang rusak. Banjir bandang di Garut, juga bencana-bencana yang lain, hanyalah insiden sehari-hari – tak ubahnya kenaikan harga sayuran dan daging sapi—karena warga merasa telah mengaktifkan kemanusiaannya dengan memberi bantuan ini dan itu.
Tidak bisa memisahkan persoalan banjir bandang di Garut dengan menghilangnya sawah-sawah di berbagai wilayah. Bahwa banjir di Garut berkait-kelindan dengan bencana asap di Riau. Bahwa banjir di Garut adalah gejala yang bisa ditarik benang merahnya dengan proyek-proyek reklamasi yang sedang dikebut di berbagai daerah. Bahwa banjir di Garut adalah fenomena yang akar persoalannya berdekatan dengan pembabatan lahan-lahan hijau untuk pembangunan rumah-rumah (termasuk rumah yang kita huni).
Banjir bandang di Garut, juga bencana-bencana serupa di daerah lain, terlalu sering dianggap sebagai persoalan lokal sekaligus parsial. Dianggap sebagai persoalan lokal berarti tidak cukup mencuatnya kesadaran bahwa bencana-bencana serupa bisa terjadi di mana saja, tak terkecuali di halaman rumah kita sendiri. Dianggap parsial berarti tidak cukup melimpahnya kesadaran bahwa bencana-bencana serupa sangat terkait dengan urusan-urusan lain: kerakusan manusia, penetrasi kapital yang merusak lingkungan, hingga rezim yang keranjingan investasi dan “raja-raja lokal” yang kesurupan PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Gentingnya persoalan ekologi memang belum berkecambah dengan masif dan menghunjam dengan dalam. Sengitnya perdebatan tentang reklamasi di Jakarta Utara, misalnya, belum tentu memperlihatkan kesadaran tentang pentingnya mendesakkan agenda-agenda politik ekologi sebagai persoalan mendasar dan genting. Jika bukan karena sengitnya kontestasi politik di Jakarta, saya tidak yakin isu reklamasi akan menjadi diskursus publik yang menyita perhatian sekaligus menguras tenaga.
Perdebatan tentang politik ekologi menjadi penting sekarang justru karena pemerintahan Jokowi sangat mengutamakan pembangunan infrastruktur. Selain terobsesi membangun infrastruktur publik, seperti jembatan, pelabuhan dan bandara, pemerintahan Jokowi (sebenarnya juga pemerintahan sebelum-sebelumnya) begitu keranjingan pada investasi, yang menyambut dengan antusias uluran modal untuk membiayai berbagai agenda pembangunan infrastruktur.
Kombinasi itu semua membuat lingkungan menjadi terancam. Lahan-lahan hijau dibabat, areal persawahan disulap menjadi pabrik hingga bandara. Munculnya bencana, seperti banjir yang terjadi di Garut, akhirnya hanya soal waktu dan perkara giliran. Dan warga masih saja disibukkan dengan persoalan ras/etnis/agama, ganteng tidaknya jenderal yang jadi calon presiden, merakyatnya wajah sang presiden, hingga besar tidaknya lingkar perut gubernur.
Jangan-jangan bangsa ini memang bangsa yang gemar terpeleset menyusun prioritas. Terobsesi dengan pesawat terbang, tapi pertanian diremehkan. Keranjingan pertumbuhan ekonomi, tapi abai dengan pemerataan ekonomi. Tergila-gila pada sepakbola yang tidak menghasilkan trofi, tapi melupakan angkat besi yang selalu rutin mempersembahkan medali. Kerasukan politik identitas, tapi lupa betapa keberagaman bukan hanya ciri tapi bahkan asal muasal Indonesia. Gembar-gembor NKRI harga mati, tapi pulau-pulau terdepan tidak diurus. Sibuk bicara tentang hebatnya gagasan pendidikan full-day school, tapi lapak-lapak perpustakaan malah dibubarkan.
Banjir di Garut, sekali lagi, bukanlah isu penting. Jangan-jangan, pada dasarnya, kita semua sepakat betapa tidak pentingnya banjir di Garut. Bahwa pohon-pohon di lereng gunung itu tidaklah penting, bahwa sawah di pedesaan bukanlah isu pokok. Apa sih gunanya buat manusia mati-matian melindungi badak jawa, harimau Sumatera, atau penyu hijau? Tidak ada hubungannya dengan pendapatan per kapita atau elektabilitas jagoan yang kita dukung di Pilkada dan Pilpres, kan?
Btw, omong-omong, memangnya apa, sih, manfaat spesies manusia bagi alam semesta?
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.