tirto.id - “Hey Anjing, Babi, Monyet, Keluar lo kalau berani! Hadapi kami didepan!”. Pernyataan rasis ini dilontarkan saat belasan anggota TNI menggedor asrama mahasiswa Papua di Kalasan, Surabaya (16/7). Malamnya, diluar asrama, massa yang berdatangan dari kelompok ormas menyanyikan yel yel “Usir Papua, usir Papua!”. Di Malang, sehari sebelumnya, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (Fri-WP) melakukan aksi menolak Perjanjian New York dan dihadang sekolompok orang berpakaian preman. Massa yang kebanyakan adalah mahasiswa Papua diteriaki nama-nama binatang serta mendapatkan tindakan represif.
Kejadian itu bukan yang pertama. Masih segar di ingatan kita ketika foto Obby Kogoya, seorang mahasiswa Papua di Yogyakarta, menjadi viral di berbagai media dalam dan luar negeri. Obby di dorong oleh beberapa aparat, lehernya diapit dan seorang polisi memasukan jarinya ke dalam hidung Obby (). Tindakan represif ini hanyalah satu episode dari empat hari pengepungan yang dilakukan di asrama Papua di Yogyakarta pada Juli 2016. Berbagai cercaan rasial seperti monyet dan ungkapan tidak manusiawi lainnya, pemukulan, penghentian suplai makanan ke dalam asrama, hingga pelemparan molotov dilakukan aparat dan ormas terhadap penghuni asrama Papua sekadar membenarkan kata Filep Karma: “Seakan kitorang setengah binatang”.
Rasisme bahkan menunjukkan wajahnya di lapangan hijau yang mestinya menjunjung sportivitas. Pemain berdarah Papua, Thedorus Bitbit dan Noah Maryen, yang memperkuat Pelita Jaya dalam Galatama di Indonesia sekitar 1990-an, pernah dilempari kulit pisang oleh penonton. Pada 2009, pemain Persipura diteriaki monyet oleh para penonton dalam laga Persipura di Malang. Cercaan rasis seperti ini ternyata sudah sering dialami di tengah pertandingan, pelatihan, dan uji lapangan.
Yang mengganggu dari berbagai pengalaman pahit diatas adalah bahwa ekspresi-ekspresi rasis ini dilekatkan secara sadar kepada sebuah identitas kolektif yang bernama Papua. ‘Monyet’ dan stigma serumah dengannya seperti ‘bodoh’, ‘pembuat onar’, ‘pemabuk’, ‘pemalas’ dan tentu saja ‘separatis’ menjadi bagian integral dari ke-Papua-an itu sendiri. Ujaran-ujaran ini tidaklah disimpan dalam kepala pelakunya, tapi secara gamblang dilontarkan di area publik di mana kaum yang merasa ‘superior’ menunjukkan supremasinya.
Tak heran ketika “aksi monyet” sebagai bagian perlawanan masyarakat Papua terhadap rasisme dilakukan di Jayapura, Manokwari, dan Sorong, publik Indonesia terkejut oleh fakta bahwa rasisme itu nyata dan telah berlangsung secara sistematis.
Konteks Historis dan Politik Identitas Papua
Yang perlu dipahami, kemarahan Papua yang dilampiaskan dalam aksi tersebut bukan sebatas luapan emosi karena ‘ketersinggungan’ sesaat seperti yang disampaikan Presiden Jokowi. Amarah itu hanya bisa dipahami jika kita memahami Papua beserta pengalaman ketertindasan yang membentuknya.
Dalam Constructing Papuan Nationalism:History, Ethnicity, and Adaptation (2005, PDF), peneliti Richard Chauvel menjelaskan pengaruh sistem administrasi dual colonialism pada masa penjajahan Belanda sebagai akar kesadaran identitas kepapuaan. Pada zaman itu, yang menempati hirarki puncak dalam kehidupan sosial di Papua adalah elite-elite Belanda yang memerintah. Lapisan kedua ditempati mayoritas orang Indonesia yang menjadi pejabat lokal, polisi, guru, dan misionaris. Kebanyakan dari mereka berasal dari Ambon, Kei, Manado dan Sangir. Orang Papua justru berada di lapisan paling bawah.
Bernarda Materay dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua (2014) menjelaskan bagaimana orang Indonesia yang duduk di lapis kedua mengambil jarak dari kehidupan orang Papua bahkan sering mengeluarkan olok-olok sepeti “Papua Bodoh”.
Keindonesiaan memang tak pernah utuh di Papua, sekalipun dipaksakan melalui operasi militer besar-besaran pada 1963. Sepanjang pemerintah Orde Baru, tercatat delapan operasi militer besar dan lebih dri 20 operasi militer skala kecil dilangsungkan di Papua, yang ditetapkan sebagai daerah operasi militer sejak 1989 hingga 1998 (PDF).
Pada waktu bersamaan, Soeharto menggalakkan program transmigrasi sejak 1970-an. Menurut Bilver Singh dalam Papua: Geopolitics and Nationhood (2008), pemerintah Orde Baru menyatakan transmigrasi dapat menguntungkan orang Papua karena mereka dapat “belajar dari orang Jawa” tentang sistem pertanian modern sekaligus memperkuat proses pembangunan identitas keindonesiaan itu sendiri.
Kebijakanini secara masif mengubah banyak aspek kehidupan orang Papua, mulai dari makanan pokok, sistem pertanian, pranata sosial budaya, hingga bahasa lokal yang nyaris punah karena para transmigran berbahasa Indonesia. Sistem kepercayaan lokal yang sudah dipegang beberapa generasi kemudian dilarang. Pendeknya, Papua menjadi identitas sosial yang digilas dan dilebur dengan keindonesiaan yang lebih ‘modern’ dan ‘maju’.
Belum selesai bergumul dengan ancaman terhadap eksistensinya, Papua harus berhadapan dengan wajah pembangunan lainnya yaitu kehadiran korporasi dan proyek-proyek pembangunan infrastruktur. Tanah dan hutan yang secara antropologis adalah ibu dari orang Papua, dirampas untuk kepentingan akumulasi kapital. Tapi, kebijakan pembangunan infrastruktur yang top-down ini terbukti gagal memberikan kesehjahteraan. Sebaliknya, orang Papua semakin sadar dirinya sedang ditindas. Walhasil, resistensi terhadap negara menjadi semakin besar.
Di sinilah “Papua” dan “Indonesia” terbangun menjadi dua identitas yang betul-betul berbeda. Masalahnya, kompleksitas ini disederhanakan oleh Indonesia yang memandang Papua sebagai entitas kulit hitam, rambut keriting, malas, bodoh, separatis, tanpa tahu pahitnya hidup yang harus dialami untuk menjadi Papua di bawah kaki Indonesia.
Sekadar memaafkan seperti yang dianjurkan Jokowi nampaknya sulit menghapus luka yang telah menganga selama lima dekade lebih itu. Indonesia perlu berusaha lebih keras dan serius untuk menunjukkan kemauan hidup bersama Papua.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.