tirto.id - Seorang pemuda bernama Adi Nugroho (21), menceritakan sebuah kisah yang kemudian viral di grup Facebook Komunitas Peduli Malang:
Saudara, saya punya cerita suka tapi juga duka. Saya tadi pulang kerja terus lewat daerah Janti. Ketika sampai di depan SMKN 1 Janti, ada anak sekolah perempuan cantik seperti sedang menunggu angkot. Otomatis saya berhenti dan bertanya, "Mau kemana mbak barangkali butuh tumpangan?" Lalu ia menjawab, "Saya mau ke Kebon Agung mas tidak ada angkot."
Akhirnya, saya antar anak itu karena bertepatan saya juga lewat daerah yang dituju. Eh, ternyata saat sampai di daerah Klayatan, saya disusul oleh seorang perempuan. Ternyata, perempuan itu pacar saya yang saat menyusul kendaraan saya bilang, "Ciyee ciyee."
Aduh, ketika itu saya hanya berpikir ini pasti membikin perang lagi. Perempuan yang saya bonceng bilang, "Siapa, Mas?" Kujawab bahwa itu pacarku. Singkat cerita, saya langsung datang di rumah pacar saya, dan benar dia marah-marah, padahal saya sudah berusaha menjelaskan. Sampai sekarang belum tuntas ini masalahnya. Hehehehe....
Adi Nugroho tak sedang mengarang bebas. Pemuda asli Malang yang bermukim di daerah Wagir ini memang sedang membagikan cerita yang dialaminya.
Setiap hari, Adi berangkat pukul tujuh pagi dari rumahnya di daerah Wagir ke tempat kerjanya, sebuah pabrik kaca di daerah Mergosono. Ia harus menempuh belasan kilometer jarak. Setelah kerap memperhatikan aksi pemogokan sopir angkot di Malang Raya, ia mulai memberi tumpangan kepada banyak orang yang membutuhkan.
“Selama adanya aksi mogok ini sudah lima penumpang yang pernah nebeng saya," kata Adi kepada wartawan Tirto. "Ada juga [kejadian] yang menarik: pernah ada seorang ibu yang nebeng dan dia ngoceh terus, curhat tentang anaknya, soal kerjaan sampai kekesalan terhadap sopir angkot."
Ia mengaku dengan sadar melakukan aksi solidaritas ini karena prihatin terhadap para pelajar dan pekerja yang terlantar menunggu angkot lantaran tertelantarkan akibat aksi mogok. Suntikan semangat bertambah manakala ia melihat antusiasme warga Malang lain dari berbagai kalangan yang menjadi relawan. Meluangkan kursi kendaraannya diisi oleh sesama warga yang membutuhkan.
Dari kegiatan barunya itu, menurutnya yang paling berkesan dan tak terlupakan adalah ketika pacarnya memergokinya sedang membonceng siswi SMK.
Adi Nugroho tidak sendiri. Dari penelusuran tagar #NebengMalang di Twitter, dapat dilihat bahwa ada banyak orang Malang yang bersedia memberi tumpangan gratis bagi orang yang membutuhkan. Mereka mau meluangkan waktu untuk menyisihkan menjemput orang yang baru dikenal.
Contoh lainnya adalah Edi Sutomo yang berprofesi sebagai guru di MAN 3 Malang. Ia menghuni rumah di daerah Sengkaling dan kantornya ada di Jalan Bandung. Sejak angkot berhenti beroperasi, ia bersedia memberi tumpangan bagi orang yang tinggal di daerah rute perjalanan berangkat dan pulang kerjanya.
“Pengalaman yang saya rasakan, warga Malang secara massif langsung tertarik menjadi relawan sejak ada tagar #NebengMalang,” ungkapnya.
Menurutnya, masyarakat tidak mempermasalahkan aksi mogok sopir angkot, meski berharap aksi itu segera diakhiri.
“Mereka cuma berharap angkot kembali beroperasi dan angkutan online bisa beroperasi. Karena segmen penumpangnya beda. Meski ada Gojek, para ibu-ibu dari pasar dan penumpang yang tidak punya smartphone tetap pakai angkot,” tuturnya.
Cerita Dedet Dewantara (29), seorang pedagang, lain lagi. Ia mengaku rela berangkat dari rumahnya di daerah Blimbing ke Tumpang, Kabupaten Malang lantaran para karyawannya tidak dapat pergi bekerja akibat angkot yang mogok.
Awalnya, ia hanya menjemput karyawannya sendiri. Namun, ia kemudian tergerak saat melihat banyak ibu-ibu pekerja. “Di sepanjang jalan banyak ibu-ibu pegawai pabrik di Kota Malang yang terlantar dan kebingungan. Karena kapasitas mobil saya masih mencukupi, saya angkut 2 orang lagi untuk ikut ke kota,” kata Dedet.
Ia juga mendengar keluhan para ibu itu, yang harus merogoh saku lebih dalam untuk menyewa kendaraan lain selain angkot. “Dalam 4 hari terakhir, para pegawai dari Kabupaten harus menyewa pick-up yang tarif per orangnya Rp20 ribu atau naik ojek bertarif Rp15 ribu. Ibu-ibu ini sempat menangis karena buat mereka itu sudah berat sekali [tarif angkot Rp5 ribu]."
Di sudut Kota Malang lain, banyak relawan #NebengMalang berkumpul dan bergabung di Digital Longue Telkom Malang. Tempat ini menjadi posko dadakan untuk menampung masyarakat yang ingin menjadi relawan.
Akhwan Afandi (36) lelaki bertato yang sehari-hari berjualan baju di daerah Comboran Malang ini adalah koordinator dari aksi kelompok relawan ini. Kisahnya bermula saat ada temannya yang berniat berangkat kerja pada pukul 7 pagi, tapi urung lantaran mendadak sibuk mengantar anak-anak sekolah yang tidak kebagian angkot.
Dari kejadian itulah ia mencoba mengorganisasi dan memposting masalah tersebut di grup Facebook Komunitas Peduli Malang (ASLI Malang). Ternyata, banyak orang mau bergabung dan berkumpul di titik lokasi Digital Longue Telkom Malang, termasuk komunitas-komunitas lain.
“Semua elemen masyarakat: Gojek, pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, pekerja, anggota dewan, banyak komunitas, bahkan ada beberapa sopir angkot yang malah bergabung di relawan ini,” papar Akhwan soal anggota komunitasnya.
Dalam waktu tiga hari, relawan yang terus bergabung dan didata sudah mencapai 1.650 orang untuk kendaraan roda dua, dan 160 orang untuk kendaraan roda empat. Mereka semua diberi penanda identitas seperti tulisan “Relawan” yang nantinya ditempel di bagian kendaraan sebagai penanda.
Prioritasnya yang utama adalah para pelajar sekolah, sesuai namanya yaitu “Relawan Angkutan Gratis Khusus Pelajar Kota Malang” kemudian para pasien rumah sakit dan lansia. Selanjutnya adalah para mahasiswa, pekerja, dan terakhir masyarakat umum. Tentu semuanya gratis.
Seperti kata Sam Aphan, sapaan akrab untuk Akhwan Afandi “Ini bukan lagi gerakan satu komunitas, ini sudah gerakan Arema untuk masyarakat. Tanpa sekat, tanpa batas dan tanpa strata,” ungkapnya dengan bangga.
Aksi Mogok Angkot
Sejak Senin (6/3/2017), para sopir angkot ini berhenti menarik penumpang. Seperti diwartakan Antara, ribuan sopir angkot tersebut memilih mogok kerja lantaran menolak keberadaan transportasi berbasis online di Malang Raya. Mereka terus melakukan demo mendesak para jajaran pemerintah Malang untuk mengabulkan permintaannya.
Monica Nugraha (20), mahasiswi jurusan Manajemen Universitas Brawijaya, merasakan betapa susah mendapatkan angkot yang selama ini menjadi moda transportasi andalannya menuju kampus.
"Terdampak banget. Aku lebih memilih angkot sih kalau ke mana-mana karena lebih murah. Sudah beberapa hari ini naik ojek terus, dan ongkos yang keluar jadi lebih banyak,” keluhnya.
Aksi protes berujung mogok yang dilakukan para sopir angkot ini bukan pertama terjadi. Sebelumnya pada 2014, ratusan sopir angkutan kota dari delapan trayek atau jalur di Kota Malang, Jawa Timur, mogok beroperasi karena menolak kebijakan jalur satu arah di Jalan Semeru dan Jalan Kawi.
Akibat mogoknya ratusan sopir angkot dari delapan jalur itu sejak pukul 06.00 WIB, karyawan maupun pekerja di berbagai instansi di daerah itu terpaksa diangkut truk kepolisian
Mogok kembali terjadi pada tahun 2015. Saat itu mogok ditujukan untuk memprotes pengoperasian bus sekolah yang dilakukan secara diam-diam oleh pemkot setempat, sehingga penghasilan angkot menurun drastis.
Aksi Solidaritas Serupa
Aksi yang dilakukan warga Malang ini tidak benar-benar orisinal. Di belahan dunia lain pernah ada aksi solidaritas yang dikampanyekan dengan tagar #illridewithyou di Australia. Aksi ini dipicu Islamofobia setelah seorang pria bersenjata menyandera orang-orang di kafe di Sydney pada 2014.
Seperti diwartakan BBC, Rachel Jacobs pertama kali memposting kisahnya di Facebook ketika melihat wanita berhijab diam-diam melepas jilbabnya sambil duduk di kereta. Rachel kemudian berlari mengejar wanita tersebut di kereta dan berkata, “Pakai kembali, aku akan berjalan bersamamu.” Wanita itu menangis dan memeluk Rachel.
Kisah ini kemudian viral, sehingga seorang pengguna Twitter @sirtessa (Tessa Kum) memulai tagar #illridewithyou untuk bersolidaritas dengan Muslim di Australia yang ketakutan akan dampak Islamofobia. Ribuan orang kemudian larut dalam kampanye spontan tersebut, dan menawarkan diri untuk bertemu dengan orang-orang Muslim di stasiun lokal untuk menemani mereka dalam perjalanan.
Lalu, mengapa orang-orang ini di berbagai belahan dunia sampai mau bersolidaritas?
Hal semacam ini biasanya lebih mudah terjadi di dalam kelompok-kelompok kecil, saat orang saling mengenal satu sama lain dengan nilai-nilai pengalaman dan ketergantungan yang sama. Mereka bergerak karena berusaha mencoba merasakan apa yang sedang menimpa orang lain.
Anna Coote dalam esainya berjudul "We Need to Talk About Solidarity" menyebut solidaritas adalah soal rasa simpati dan tanggung jawab. Ada nilai-nilai dan tujuan yang sama. Tanpa solidaritas, yang ada bersama dengan orang-orang dalam dan di antara kelompok-kelompok, mendorong inklusif dan tindakan yang mendukung.
"Tanpa solidaritas, yang ada hanyalah kelompok-kelompok bertahan untuk dirinya masing-masing, baik dalam kompetisi aktif atau berkonflik dengan orang lain," tulis Coote.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani