Menuju konten utama

Bersepeda untuk Wisata, Bukan untuk Aktivitas Sehari-Hari

Di New York atau London mudah beraktivitas dengan sepeda. Fasilitas transportasinya lengkap dan terintegrasi. Bagaimana dengan Indonesia?

Bersepeda untuk Wisata, Bukan untuk Aktivitas Sehari-Hari
Rental Sepeda Malioboro. [Foto/rentalsepeda.blogspot.co.id]

tirto.id - Penduduk di negara maju sudah mengurangi penggunaan kendaraan bermesin, seperti di Amsterdam, New York, Taipei, Beijing, dan London. Mayoritas penduduk di kota-kota ini memanfaatkan sepeda untuk kegiatan sehari-hari, seperti ngantor, olahraga, atau pergi ke sekolah dan kampus. Sepeda menjadi bagian keseharian. Jika tak punya sepeda, mereka akan menyewa.

Anda akan dengan mudah menjumpai jasa persewaan sepeda yang ternyata tak hanya disediakan oleh perusahaan swasta tetapi juga oleh pemerintah kota atau provinsi setempat. Penduduk di New York, Taipei, Beijing, dan London bisa menyewa sepeda pada stasion sepeda milik pemerintah kota atau provinsi.

Cara menyewa sepeda pada pemerintah kota atau provinsi pun terbilang mudah. Misalnya di New York, seseorang hanya perlu mendaftarkan diri sebagai anggota tahunan atau membeli tiket harian di kios peminjaman. Ia akan mendapatkan fasilitas pinjam sepeda selama 24 jam dan cara mengembalikannya tidak harus ke kios peminjaman tapi diletakkan di docking station yang terdekat dengan tempat yang dituju.

Sedangkan di Taipei, Taiwan, seseorang harus mendaftar di stasiun sepeda, lama waktu pinjam rata-rata hanya 30 menit, dan pengembaliannya bisa diletakkan di docking station terdekat. Sementara di London, cara mendaftar menggunakan kartu debit/kartu kredit di docking station, peminjam bisa menikmati sepeda selama 24 jam, serta bisa mengembalikan sepeda di docking station terdekat.

Sementara di Amsterdam situasinya agak mirip Yogyakarta dalam soal persewaan sepeda. Di Amsterdam sepeda disediakan oleh perusahaan penyedia jasa, harga sewa beragam tergantung kebijaksanaan pemilik, begitu pula di Yogyakarta.

Tirto menemui Harminto pemilik jasa rental sepeda Java Bali Trans Wisata, di Condong Catur, Yogyakarta. Ia memiliki 30 buah sepeda untuk disewakan setiap hari. Ia pun bermitra dengan beberapa komunitas di Yogya agar bisa memenuhi permintaan pelanggan yang kadang-kadang melebihi jumlah ketersediaan sepedanya.

Bedanya, penyewa sepeda di Amsterdam kebanyakan orang-orang yang memanfaatkan sepeda untuk melancarkan aktivitas sehari-hari, seperti pengguna sepeda di New York, Taipei, Beijing, dan London. Di Yogyakarta penyewa sepeda adalah penikmat wisata.

Di sini, sepeda menjadi salah satu alternatif menikmati objek wisata. Terutama objek wisata yang relatif dekat satu sama lain, seperti menikmati perjalanan dari Candi Prambanan ke Candi Plaosan.

Melihat potensi sepeda yang cukup besar untuk wisata ini, maka Harminto menyediakan beberapa paket wisata, harganya mulai dari Rp125.000 per orang dalam satu grup yang minimal terdiri atas sepuluh orang. Jika kurang dari jumlah tersebut, Harminto pun tidak menolak.

“Sekarang orang-orang suka selfie, makanya kita pilihkan rute-rute yang tidak biasa, mereka biasanya sudah bosan dengan wisata mainstream seperti Borobudur dan lain-lain. Jadi kita buatkan paket tur wisata yang berisikan kegiatan menyenangkan,” tutur Harminto.

Pelanggan Harminto kebanyakan dari perusahaan-perusahaan, instansi pemerintah, klub pecinta sepeda, atau wisatawan asing yang ingin menikmati wisata alam sambil outbound, gathering, dan outing. “Yang seperti ini laris, karena ada unsur wisata, outbound, dan tim building,” papar Harminto.

Penghasilannya bisa mencapai Rp10 juta per bulan ketika masa libur tiba atau di akhir tahun. Rata-rata bulan Juni-Agustus dan bulan November-Desember akan ramai dengan tamu yang datang dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Balikpapan, Kalimantan. “Dari kota-kota ini sangat sering jadi penyewa,” ungkapnya.

Menurutnya, di bulan-bulan ramai seperti itu setiap hari pasti ada tamu yang menyewa, “Minimal satu hari satu grup,” imbuhnya.

Ia mengaku jarang menyewakan sepeda secara personal apalagi untuk keperluan anak sekolah, orang pergi ke kantor atau kampus seperti yang terjadi di luar negeri. Ia berpendapat, orang Yogya lebih nyaman dengan bersepeda motor atau mobil.

“Prestise masih jadi sesuatu yang penting di sini, belum seperti di luar negeri yang sudah jadi kebutuhan sehingga mereka mengorbankan ego prestise seperti kemewahan berkendara dan lain-lain,” katanya.

Ia sendiri pernah membuka paket city tour ke Malioboro dan sekitarnya, namun itu sudah lama tutup. Alasannya sederhana, “Kota menjadi tidak ramah untuk pesepeda, parkir ditarik retribusi, belum macet, dan segala macam lainnya, tamu jadi tidak nyaman,” papar Harminto.

Infografik sepeda di yogyakarta

Sepeda yang Membudaya

Inilah bedanya pengelolaan tata ruang kota dalam dengan luar negeri. Di luar negeri, fasilitas untuk pesepeda angat diperhatikan. Gambaran sederhananya isa dilihat dari teknis pengembalian sepeda. Penyewa sepeda di luar negeri bisa mengembalikan sepeda di bike station yang tersedia, karena bike stasion sudah terintegrasi dengan perusahaan penyewa. Penyewa tidak harus kembali ke pusat penyewaan.

Akan tetapi, di dalam negeri, contohnya di Yogyakarta Herminto mengaku kesulitan untuk melakukan hal itu. Alasannya sederhana: di Yogyakarta belum ada bike station yang terintegrasi dengan baik antara perusahaan penyedia jasa dengan pengelola tempat wisata.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh hasil studi Shu-Fang Lai dari Department of Logistics Management, Takming University of Science and Technology, Taipei City, Taiwan. Dalam hasil penelitiannya, ia menyebut sepeda di negara-negara Eropa terintegrasi dengan transportasi umum, misalnya kereta api, sehingga memungkinkan warga negaranya tidak terlambat tiba di sekolah atau tempat kerja.

Di London, pengembangan dan peningkatan fasilitas sepeda sebagai transportasi publik selalu diintegrasikan dengan layanan publik lainnya, sehingga tidak heran jika di titik-titik tertentu seperti area sekitar stasiun kereta api akan ada titik parkir khusus sepeda. Hal ini disiapkan oleh pemerintah kota setempat untuk membuat warga negaranya nyaman bersepeda.

Titik parkir khusus sepeda ini tidak hanya ada di wilayah transportasi umum atau layanan publik lainnya, melainkkan juga ada di daerah pemukiman, sehingga memungkinkan penggunanya untuk ikut andil dalam tata ruang kota yakni dengan menerapkan gaya hidup rapi.

Layanan seperti ini juga bisa mengurangi penggunaan mobil dan motor secara signifikan dan meningkatkan pemanfaatan layanan kereta api dan penggunaan sepeda secara berulang, baik untuk pergi maupun pulang dari suatu tempat.

Penelitian Shu-Fang Lai juga merambah warga negara Amerika Serikat, tepatnya New York. Di sana, ia menganalisis faktor utama orang-orang memilih sepeda sebagai alat transportasi. Ia menemukan selain faktor rekreasi, orang-orang di kota itu mencintai bersepeda dan tidak suka mengemudikan motor atau mobil. Bagi mereka bersepeda lebih ramah terhadap lingkungan dan lebih menyehatkan tubuh.

Hasil penelitian di New York ini memiliki kesamaan yang sangat erat dengan hasil studi Shu-Fang Lai di Taiwan. Orang-orang di Taiwan selalu menekankan sepeda lebih ramah lingkungan, ramah untuk berekreasi atau berwisata dalam jarak dekat, dan bersepeda itu menyenangkan.

Lebih lanjut, Shu-Fang Lai dalam hasil penelitiannya mengatakan bersepeda bisa membuat seseorang mengekplorasi diri, lebih dekat dengan lingkungan sehingga menambah wawasan seseorang terhadap lingkungan tempat tinggalnya, dan dapat meningkatkan hubungan personal antara satu dengan yang lain, khususnya mereka yang sama-sama hobi bersepeda.

Penelitian Shu-Fang Lai sebenarnya juga menunjukkan sesuatu yang menarik. Menurut hasil penelitiannya, persentase laki-laki dan perempuan dalam memiliki kebiasaan bersepeda perbedaannya sangat jauh. Laki-laki di Taiwan, kata Shu-Fang Lai, memiliki kebiasaan bersepeda lebih tinggi daripada perempuan. Sementara itu, ditemukan rentang usia 55-59 tahun memiliki kebiasaan bersepeda yang lebih tinggi daripada rentang usia lainnya.

Dalam hal profesi, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan kalangan militer di Taiwan juga memiliki kebiasaan bersepeda lebih tinggi daripada orang-orang dari kalangan profesi lainnya. Kemudian, dari segi pendapatan, orang-orang dengan pendapatan di rentang TWD 80.001- TWD100.000 (kurang lebih setara dengan Rp33.4 juta-Rp41.7juta) memiliki kebiasaan bersepeda lebih tinggi daripada orang-orang ditingkat pendapatan lainnya.

Ini membuktikan penduduk di negara-negara tersebut sudah membudayakan sepeda sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan kemudahan, sistem keamanan terjamin, jalan yang tidak padat oleh kendaraan bermotor atau mobil menjadikan warga negara di negara-negara maju itu menjadi lebih nyaman untuk memanfaatkan sepeda sebagai alat transportasi, ditambah dengan kesadaran tinggi akan kesehatan lingkungan dan pribadi menjadikan sepeda sebagai pilihan yang prestisius.

Baca juga artikel terkait BERSEPEDA atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Zen RS