tirto.id - Istilah-istilah dalam bahasa Arab yang sebenarnya tidak terlalu sulit diucapkan. Sayangnya, sering dijumpai pengucapannya dibikin sulit agar terlihat fasih. Tentu tidak akan jadi masalah jika artinya tidak berubah. Masalahnya, sering kali terjadi makna kata yang difasih-fasihkan ini berubah jadi jauh lebih buruk.
Prof. Dr. Machasin, Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga (sekarang Fakultas Adab dan Ilmu Budaya), pernah mengalami kejadian menarik. Saat itu, sekitar tahun 1990-an, Kiai Machasin diundang seminar umum di salah satu kampus di Malang, Jawa Timur. Barangkali karena berasal dari kampus Islam, dan juga menjabat sebagai Wakil Syuriah PWNU Yogyakarta, maka panitia acara pun memilih Kiai Machasin untuk membacakan doa.
Di UIN atau IAIN dulunya, penyebutan Fakultas Adab sendiri juga sering disalahartikan sebagai fakultas “tata krama”. Sebab pengertian adab dalam bahasa Indonesia lebih menyasar mengenai akhlak, sedangkan adab yang digunakan sebagai nama fakultas merupakan turunan dari bahasa Arab yang berarti Fakultas Sastra.
Di sinilah persoalan dimulai. Bermaksud ingin mengucapkan lafal dengan makharijul huruf yang fasih, ditambah kurang akrab dengan pengucapan bahasa Arab, serta belum tahu benar apa yang dimaksud dengan fakultas “adab”, maka pembawa acara pada acara seminar umum ini pun mengatakan, “Acara berikutnya, pembacaan doa oleh Prof. Dr. H. Machasin, Dekan Fakultas Azab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.”
Yang lebih runyam, ternyata tidak hanya sekali pengucapan “Adab” berubah menjadi “Azab” ini. Kiai Machasin tentu saja terkejut bukan karena mendengar namanya dipanggil, melainkan karena jabatannya di IAIN waktu itu ternyata menjadi Dekan Fakultas Azab (menurut KBBI, "azab" berarti siksa dari Tuhan kepada manusia yang melanggar perintah agama). Tentu saja itu nama fakultas yang terdengar mengerikan.
Hal yang hampir sama juga terjadi di Muktamar NU ke-30 di Pesantren Lirboyo pada 1999, muktamar periode ketiga K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. Muktamar ini kemudian melahirkan duet K.H. Hasyim Muzadi dan Kiai Sahal Mahfudz sebagai Ketum Tanfidziyah dan Rais Aam Syuriyah.
Acara berlangsung sangat meriah. Bahkan di alun-alun kota Kediri juga ada pasar malam. Lautan manusia menyemut, terutama di Lapangan Bujel, sekitar 2 km dari Pesantren Lirboyo. Di sana selalu diadakan hiburan musik dan kadang diselingi ceramah oleh beberapa kiai.
Masalahnya, si pembawa acara ternyata bukan sosok yang cukup mengenal dunia pesantren. Ia bahkan bisa dikatakan awam dengan dengan berbagai istilah dalam bahasa Arab yang sebenarnya juga sudah familiar bagi masyarakat umum di Kediri.
Sudah menjadi tradisi, jika menyebut seorang kiai, untuk mempertebal rasa hormat ditambahkan kata “Al-Mukarram” yang berarti “Yang Mulia” atau “Yang Dimuliakan”. Misalnya disebut “Al-Mukarram Kiai Haji Sahal Mahfudz”, maka artinya adalah “Yang Mulia Kiai Haji Sahal Mahfudz”.
Persoalan pun terjadi. Berkali-kali pembaca acara di Lapangan Bujel ini malah menyebut, “Ceramah akan disampaikan oleh Al-Mukharram Kiai Haji…”
“Al-Muharram” bukan “Al-Mukarram”. Sekalipun terlihat perbedaannya cuma satu huruf “h” menjadi “kh” dalam tulisan latin atau dalam tulisan arab dari huruf “kaf” jadi huruf “kha’”, namun artinya menjadi jauh berbeda. Yang diucapkan pembaca acara menjadi “Yang Diharamkan” atau “Yang Haram”.
Kontan saja, selama si pembawa acara memanggil kiai untuk maju ke atas panggung, para jamaah yang kebanyakan adalah santri tertawa memahami kekeliruan ini. Sebab dalam perspektif santri, pembawa acara ini jadi kelihatan sedang mengharam-haramkan banyak ulama hanya dalam satu malam. Sebuah tindakan yang sangat berani mengingat ia sedang dalam acara Muktamar Nahldatul Ulama.
Uniknya, si pembaca acara dibiarkan saja sampai acara selesai. Baik oleh santri yang hadir maupun ulama-ulama yang semua ia haramkan. Baru ketika acara selesai si pembawa acara diberitahu bahwa selama acara tadi ia sudah melakukan “pelarangan” atau “pengharaman” kepada semua kiai besar yang hadir di Lapangan Bujel.
Tentu saja ia malu setengah mati karena kesalahan berlangsung selama berjam-jam. Reaksi para kiai? Tentu saja cuma terkekeh.
Bukan hanya sekali itu saja kesalahan terjadi kepada para kia. Kali ini terjadi juga kepada Kiai Sahal Mahfudz, Pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Pernah suatu kali dalam acara seminar umum di salah satu kampus terkemuka di Semarang, Kiai Sahal dipanggil oleh moderator untuk maju ke depan.
“Mari kita sambut, Kiai Shohal Mahfudz, Pengasuh Pesantren Maslakul Huda, yang akan menyampaikan makalahnya. Kepada Kiai Shohal silakan maju ke depan,” kata Moderator.
Hadirin pun berdiri. Sama sekali tidak terjadi apa-apa ketika Kiai Sahal masuk ke ruangan dan maju ke atas panggung seminar. Entah karena para hadirin tidak mengerti kesalahan moderator atau mungkin tidak begitu memerhatikan, namun Kiai Sahal tahu, si moderator baru saja mengubah namanya.
Dari Kiai Sahal yang berarti “mudah”, menjadi Shohal (menggunakan huruf “shod” yang fasih). Perubahan huruf yang membuatnya jadi berubah makna begitu jauh.
Artinya? Sang moderator menyebut Kiai Sahal dengan panggilan “Kiai Kuda”.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS