tirto.id - “Kita harus bisa buat pesawat (tempur) lah, masa beli terus.” Hal itu diucapkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu Mei lalu. Ucapan sang menteri tentu bisa membesarkan hati mereka yang sudah lama memimpikan Indonesia punya kemampuan membangun mandiri jet tempur canggih di masa depan.
Pada awal tahun ini, harapan itu telah nyata saat perjanjian cost share agreement (CSA) antara Korea Aerospace Industries (KAI) dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Indonesia ditandatangani. Dalam kerja sama itu, Indonesia menggelontorkan 1,3 miliar dolar AS atau setara 20 persen, sedangkan sisanya 80 persen biaya pengembangan ditanggung Korsel. Kontrak work assignment agreement (WAA) juga telah dilakukan antara PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan KAI. Sebuah hanggar besar pun kabarnya sudah disiapkan oleh PTDI untuk merakit pesawat tempur urunan dua negara ini.
Dua langkah proyek ini mulai ditapaki kedua negara. Namun, untuk mencapai ke sana bukan persoalan mudah. Indonesia sebagai mitra yang junior, berharap banyak dari Korsel untuk sebuah transfer teknologi. Sayangnya Korsel pun harus menadah ke Amerika Serikat, untuk mendapatkan transfer teknologi rahasia pesawat tempur yang belum dikuasai mereka.
Untuk mendapatkan teknologi rahasia itu, Korsel harus mengeluarkan dana besar agar sang produsen jet tempur AS mau memberikan teknologinya. Dua tahun lalu, Korsel meneken kontrak 40 jet tempur teranyar F-35 dari pabrikan pesawat Lockheed Martin Corp senilai 7 miliar dolar AS. Pesawat siluman generasi ke-5 ini rencananya baru akan dikirim pada 2018-2021 untuk menambah kekuatan pertahanan udara mereka, dan tentunya berharap ada bonus transfer teknologi dari Lockheed Martin.
Namun, Korsel harus gigit jari. Dari 25 teknologi yang diharapkan bisa disematkan di KFX, ternyata tak semuanya dikabulkan. Lockheed Martin mau tak mau hanya bisa memberi 21 teknologi kunci yang menjadi bagian dari transfer teknologi terhadap pesawat mereka. Alasannya, memang sangat lumrah, karena pemerintah AS tak merestui memberikan 4 teknologi vital untuk mendukung proyek KFX. Media sputnixnews.com menyebut empat teknologi yang ditahan AS itu mencakup teknologi radar, sistem target sasaran, sistem frekuensi radio untuk jammer, dan sistem lacak dengan teknologi inframerah. Opsi membangun teknologi radar sendiri akhirnya ditempuh Korsel.
Ketergantungan Korsel dengan Amerika Serikat dalam proyek ini memang sangat kuat. Selain persoalan transfer teknologi, mereka juga menggantungkan dua mesin ganda pesawat tempur prototipe KFX dari pabrik pembuat pesawat General Electric (GE) Amerika Serikat, yang telah diumumkan Juni 2016 lalu.
Korsel memang punya harapan besar dengan KFX, mereka bukan hanya belajar membuat pesawat tempur generasi 4,5 di atas kemampuan F-16, tapi juga bisa menambah kesiagaan pertahanan udara mereka di tengah konflik yang di depan mata dengan saudaranya. Harapan Indonesia juga lebih besar, ibarat “memecahkan bisul” untuk naik kelas dari sebatas negara pembuat pesawat penumpang menjadi negara pembuat jet tempur. Indonesia sudah memulai dengan program Lapan Fighter Experiment (LFX) sebelum hadirnya program KFX/IFX sejak 2009.
Kerja sama proyek ini sempat dibekukan sementara usai terjadi pergantian kepemimpinan di Korsel dan di Indonesia, meski pada akhirnya dilanjutkan lagi. Keberlanjutan ini memang jadi modal besar bagi Korsel apalagi Indonesia untuk menyongsong teknologi tinggi jet tempur.
Modal Kecil Berharap Besar
Korsel berencana mengembangkan 120 pesawat tempur KFX selama 10 tahun ke depan untuk menggantikan pesawat tempur F-4 dan F-5 mereka yang sudah uzur. Indonesia mengincar ilmu dari proyek ini. Sebanyak 300 ilmuwan dan teknisi pembuat pesawat tempur dari Indonesia akan dikirim ke Korsel untuk proyek KFX/IFX yang diperkirakan menelan investasi 8,67 triliun won atau sekitar 7,5 miliar dolar AS.
"Meski kita hanya punya 20 persen share development, tapi untuk semua knowledge development pesawat ini kita dapat 100 persen. Transfer teknologinya semua kita tahu, bukan cuma 20 persen tapi 100 persen," kata Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso dikutip dari Antara.
Media businesskorea.co.kr mengungkapkan Korsel menargetkan bisa menjual 1.000 unit jet tempur dari proyek ini. Indonesia selain sebagai pengembang juga akan jadi pembeli 50 unit jet tempur ini setelah tahap pengembangan, yang diperkirakan berlangsung hingga 2026. Butuh sepuluh tahun lebih bagi kedua negara untuk mencapai tahap produksi massal.
Berdasarkan situs Kementerian Pertahanan (Kemenhan), proyek ini mencakup beberapa tahapan, tahap pertama technology development (TD), tahap ini telah selesai dilaksanakan pada Desember 2012. Saat ini memasuki tahap kedua atau engineering and manufacturing development (EMD), hingga tahap terakhir produksi massal. Pada tahap pengembangan, Korsel mengkonfirmasikan sebanyak 6 pesawat akan uji coba terbang di Korsel. Sebanyak 1 prototipe akan diberikan ke Indonesia untuk dilaksanakan perakitan akhir, tes, dan evaluasi ulang.
Rencana pengembangan bersama jet tempur dengan Korsel memang sangat positif di atas kertas karena tak semua negara bisa mewujudkannya. Skema transfer teknologi memang jadi barang dagangan produsen pesawat saat ini, termasuk terhadap negara pemula di industri pesawat terbang, tapi tak semua negara bisa melakukan transfer teknologi dengan skema pengembangan bersama seperti Indonesia.
Keputusan Korsel menjatuhkan pilihan proyek KFX/IFX ke Indonesia, bukan sesuatu yang mengherankan. Indonesia merupakan negara pembeli pertama untuk selusin lebih pesawat tempur latih buatan Korsel T-50i Golden Eagle. Setelah Indonesia bersedia sebagai pembeli pertama di luar Korsel, menyusul Irak dan Filipina selanjutnya.
Sebagai pendatang baru di industri jet tempur, Korsel tentunya diuntungkan karena ada negara yang bersedia membeli jet tempurnya. Indonesia juga pembeli 3 kapal selam dari industri galangan kapal mereka. Belum lagi bila melihat aspek lain, Indonesia merupakan pemasok utama gas alam cair (LNG) ke Korsel, negara yang banyak menggantungkan kebutuhan energinya pada gas.
Lain cerita dengan Rusia yang begitu alot memberikan transfer teknologi untuk rencana pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-35. Indonesia relatif tak punya posisi tawar lebih baik terhadap Rusia daripada dengan Korsel yang punya ketergantungan energi dengan Indonesia. Transfer teknologi memang sebuah sarana barter kepentingan.
Apapun kepentingannya, yang jelas bisa mendapatkan kesempatan sebuah proses transfer teknologi sesuatu yang berharga, tapi persoalannya sejauh mana negara mitra benar-benar mau membagi ilmunya? Membangun kemandirian memang butuh tahapan, kerja sama transfer teknologi yang dibarengi dengan pengembangan bersama dengan Korsel salah satu jalannya.
Namun ada pelajaran lain dari Korsel, sebagai teman dekat Amerika Serikat, Negeri Ginseng itu tak dapat 100 persen sebuah ramuan membuat pesawat canggih yang sarat kerahasiaan. Transfer teknologi hanya sebuah cara belajar, dan Indonesia tak bisa terus-terusan menadah teknologi dari negara lain.