Menuju konten utama

Berebut "Kue" Pendidikan

Pengelolaan pendidikan SMA dan SMK akan diserahkan ke pemerintah provinsi. Sejumlah pemerintah kabupaten/kota merasa keberatan. Mereka khawatir minimnya dana pendidikan pemprov akan menurunkan kualitas pendidikan.

Berebut
Pelajar bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, Gubernur Jatim Soekarwo dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini saat sidak pelaksaan UN berbasis komputer di SMA 1 Hangtuah, Surabaya, Jawa Timur. Antara Foto/Moch Asim

tirto.id - Tahun depan, pengelolaan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak lagi menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota, melainkan menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi. Kebijakan ini merupakan implikasi dari disahkannya RUU Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada 17 Februari 2015 lalu.

Peralihan kewenangan ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah provinsi harus terlebih dahulu memfinalisasi pendataan personel, pembiayaan, sarana prasarana dan dokumentasi. Kementerian Dalam Negeri sendiri menjadwalkan serah terima pengambilalihan wewenang itu pada Oktober tahun ini. Harapannya, tahun 2017 peralihan tersebut sudah terealisasi.

Walaupun Dinas Pendidikan Provinsi menyatakan siap, tetapi pengambilalihan ini masih menyisakan persoalan, karena mendapat penolakan dari sejumlah pihak, mulai kepala sekolah, wali murid, wali kota dan bupati.

Mereka merasa khawatir jika pengambilalihan itu dilakukan, maka akan mengubah sistem pendidikan yang selama ini sudah berjalan baik, sehingga bagi mereka tidak perlu pengelolaan SMA dan SMK diserahkan kepada pemerintah provinsi.

Salah satu bentuk penolakan tersebut dapat dilihat dari apa yang dilakukan sejumlah wali murid di Surabaya, dan Wali Kota Blitar, Moh Samanhudi Anwar. Mereka mengajukan uji materi UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemda ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Maret lalu.

Permohonan uji materi itu terkait Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan, dalam sub urusan manajemen pendidikan.

Bujet Pendidikan

Sejumlah Pemkab merasa pengalihan wewenang ini akan merugikan. Wali Kota Blitar, Moh. Samanhudi Anwar merasa dirugikan karena Pemkot Blitar tidak dapat lagi memberlakukan kebijakan pendidikan gratis untuk tingkat menengah.

Selain itu, ketentuan tersebut membuat Pemkot Blitar juga tidak dapat lagi mewujudkan kurikulum muatan lokal yang memperhatikan kekhususan dan keragaman Kota Blitar.

Sementara Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi mengkhawatirkan kesejahteraan para tenaga pengajar, karena saat ini Pemkot Bekasi telah mengucurkan tunjangan daerah sebesar Rp2 juta untuk para guru.

“Sementara daerah lain di Jabar hanya sekitar Rp750 ribu sehingga wajar mereka mengkhawatirkan kesejahteraan mereka akan menurun jika pengambilalihan terjadi,” ujarnya seperti dikutip Antara, awal Juni lalu.

Tak hanya para pendidik, para siswa pun akan mengalami kesulitan, sebab selama ini Pemkot Bekasi telah mampu menggelontorkan subsidi sebesar Rp170 ribu per siswa. Sementara jika diambil alih Pemprov Jawa Barat, kemampuannya hanya Rp26 ribu per siswa.

Kekhawatiran Samanhudi dan Rahmat Effendi cukup masuk akal, karena selama ini persentase alokasi dana pendidikan dari APBD provinsi memang sangat minim. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan, alokasi dana pendidikan dalam APBD 2015 di Provinsi Jawa Timur hanya sekitar 1,82 persen, Jawa Tengah (1,80 persen), Jawa Barat (1,69 persen), Sulawesi Selatan (2,40 persen), Sumatera Selatan (3,26 persen), Kalimantan Timur (3,45 persen).

Sebagai ilustrasi, APBD Jawa Timur 2015 mencapai Rp22,863 triliun, sedangkan alokasi untuk pendidikan hanya kisaran 1,82 persen atau sekitar Rp416 miliar. Jumlah itu akan dibagi rata pada SMA dan SMK di 28 kapupaten/kota yang ada di Jawa Timur.

Kalau kita bandingkan dengan bujet Pemerintah Kota Surabaya yang mencapai 7,27 persen dari jumlah APBD 2015 sebesar Rp7,269 triliun atau sekitar Rp528 miliar, maka dapat dipastikan akan lebih besar anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah kabupaten/kota daripada provinsi.

Dari data di atas, maka bisa dimaklumi jika ada kekhawatiran soal pengambilalihan kewenangan SMA dan SMK ini. Sebab, persoalan pendidikan menyangkut banyak hal, seperti kualitas pendidikan, kesejahteraan pendidik, serta masa depan generasi muda.

Mencari Jalan Tengah

Persoalan mendasar dari polemik yang dikeluhkan pemerintah kabupaten/kota adalah kekhawatiran program pendidikan gratis tidak jalan, kualitas pendidikan menurun, serta tunjangan kesejahteraan guru tidak jalan. Sebab, selama ini alokasi anggaran untuk pendidikan dari APBD provinsi sangat minim.

Selain itu, Wali Kota Surabaya Rismaharini mengatakan, pendidikan tidak semata-mata terkait dengan sekolah formal, melainkan juga mencakup kondisi mental, spiritual, serta kesehatan anak.

Karena itu, Risma menekankan pentingnya kepercayaan pengelolaan diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota agar para kepala daerah memiliki tanggung jawab kepada bidang sumber daya manusia yang ada di daerahnya.

Namun, keberatan tersebut perlu disikapi secara bijak, karena aturan tersebut memiliki kekuatan hukum, yaitu UU Pemda. Selama aturan pengambilalihan SMA dan SMK belum dinyatakan inkonstitusional oleh Mahmakah Konstitusi, maka sudah selayaknya para kepala daerah mematuhi dan menjalankan regulasi yang ada.

Karena itu, perlu solusi terbaik yang sesuai harapan banyak pihak, tanpa perlu melanggar UU Pemda yang telah disahkan oleh DPR dan pemerintah, pada Februari 2015 lalu.

Jalan tengah yang terbaik adalah dengan cara menerbitkan peraturan pemerintah berisi pengecualian aturan bagi kota/kabupaten yang sudah mampu secara finansial dan sumber daya manusianya. Dengan kata lain, pengambilalihan kewenangan SMA/SMK oleh pemerintah provinsi tidak bisa dilakukan secara menyeluruh, tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerahnya.

Baca juga artikel terkait SMK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti