tirto.id - Karma itu memang sialan.
Carl Casper adalah kepala chef di restoran Gauloise, sebuah restoran fine dining yang disegani. Dia amat membanggakan profesinya sebagai chef, pun mendapat julukan calon chef besar. Meski demikian, dia memiliki hubungan yang kurang baik dengan pemilik restoran. Sang pemilik ingin Carl membuat hidangan yang klasik. Sementara Carl ingin membuat masakan yang inovatif, dan benci menu restoran yang tak berubah selama 5 tahun terakhir.
Suatu hari anak lelaki Carl yang masih berusia 10 tahun, protes karena telat dijemput.
"Ayah tahu apa yang disarankan ibu?"
"Apa? Membuat food truck?"
"Iya. Aku suka food truck."
"Ya siapa yang nggak suka food truck. Tapi apa kamu bisa membayangkan aku nyetir food truck? Aku ini chef."
Bagi Carl, kerja chef ada di dapur yang membuatnya leluasa bergerak. Bukan di dapur sempit di dalam truk atau pick up. Di food truck, karena orang ingin yang cepat dan praktis, makanan yang disajikan pun adalah yang cepat dan nyaris tak ada seni di sana.
Hingga suatu hari restoran Gauloise kedatangan seorang blogger kuliner yang terkenal sadis. Si pemilik ngotot agar Carl menghidangkan menu yang sama, dan Carl menolak. Mereka ribut dan berakhir dengan sesuatu yang bisa diduga: Carl keluar.
Dengan drama ala Hollywood, akhirnya Carl memutuskan untuk membuka usaha food truck yang menyajikan sandwich Kuba. Chef dengan harga diri tinggi itu akhirnya mau saja memasak di dalam truk yang sempit. Dan sama seperti kebanyakan film drama keluarga, endingnya bahagia. Berkat Twitter, usaha Carl laris manis. Sang chef ini menemukan kembali gairahnya di dunia memasak. Dalam truk yang dulu dia remehkan.
Film Chef yang disutradarai oleh Jon Favreau ini dirilis pada 2014. Saat itu demam food truck sedang melanda dunia. Chef menangkap gejala itu. Film ini laris manis. Dengan bujet 11 juta dolar, ia berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar 46 juta dolar.
Usaha food truck sebenarnya bukan datang kemarin sore. Kalau mau dilacak, usaha menjajakan makanan di kendaraan itu sudah ada sejak 1800-an di Texas. Kemudian pada 1866, Charles Goodnight mulai memasak makanan di sebuah wagon yang dijejali peralatan dapur.
Di Amerika Serikat, food truck nyaris tak ada beda dengan pedagang kaki lima. Mereka mangkal di keramaian, biasanya di area yang banyak perkantoran. Food truck, layaknya makanan di kaki lima, disukai karena harganya yang murah dan penyajian yang cepat. Pekerja yang terburu-buru bisa menyikat habis makanan hanya dalam waktu 2-3 menit sejak makanan disiapkan.
Meski ada di mana-mana, image food truck tetap jelek: makanannya tidak berkualitas, jauh dari higienis, dan asal masak. Tapi itu berubah pada 2008. Situs Mashable mencatat titik balik food truck ini. Saat itu, Rickshaw Dumpling (New York) dan Kogi BBQ (Los Angeles) menjadi pionir food truck yang menyajikan makanan berkelas. Mereka mendapat banyak liputan media.
Food truck makin berjaya saat AS terkena krisis ekonomi.
Karena krisis, makin banyak orang yang mencari makanan enak dan murah. Food truck menyediakan itu semua. Para hipster juga berperan besar dalam mengubah citra food truck menjadi tempat makan yang murah meriah, enak, namun tetap hip. Popularitas food truck cepat tersebar karena promosi via media sosial, terutama Twitter.
Krisis juga punya andil dalam hal melonjaknya jumlah food truck. Ada banyak restoran yang kukut, dan bagi juru masak yang tak punya modal besar, membuat food truck adalah pilihan yang masuk akal. Biaya membuat food truck di AS dengan menggunakan truck yang diperbarui dan mempunyai mesin penjual minuman, harganya mencapai 40.000 dolar. Sedangkan usaha food truck yang menggunakan truk baru, biayanya bisa mencapai 75.000 dolar. Setidaknya itu jauh lebih murah ketimbang membuat restoran baru.
Hadirnya chef dan mantan pekerja restoran ini membuat menu yang dihidangkan di food truck tak lagi monoton. Setidaknya kamu bisa menemukan persilangan cantik bernama Korean tacos short rib, juga kimchi dogs, dosas dari India, sosial ala Yunani, hingga halo-halo dari Filipina. Di luar itu semua, ada ratusan jenis makanan dari berbagai latar belakang budaya berbeda yang bisa ditemukan di food truck.
Lembaga survey Gallup pernah membuat poling menarik tentang kebiasaan orang jajan di AS. Sebagian besar responden bilang kalau mereka familiar dengan food truck, dan pernah beli makanan di food truck. Rata-rata konsumen AS menghabiskan 100 dolar untuk biaya makan per minggu. Sekitar 10 persennya menghabiskan 300 dolar per minggu, dan 8 persen menghabiskan 50 dolar. Kebanyakan mereka menghabiskan uang jajan ya di food truck.
Bisnis food truck memang tampak sepele. Tapi kamu bisa tersedak kalau meremehkannya. Menurut lembaga Food and Agriculture Organization (FAO), food truck termasuk dalam kelompok street food. Di dunia, para penjaja makanan di jalanan ini melayani sekitar 2,5 miliar konsumen setiap hari.
Tak heran kalau pendapatan dari food truck bisa jadi besar. Survey IBISWorld tentang food truck mengatakan bahwa pendapatan dari sektor ini mencapai 1,2 miliar pada 2009. Pertumbuhan dari 2007 hingga 2012 mencapai 8,4 per tahun. Saat ini ada sekitar 15.500 orang yang bekerja di usaha food truck.
Tren ini juga sampai ke Indonesia. Setidaknya sejak akhir 2014, jalanan Jakarta mulai dibanjiri food truck yang menjual aneka jenis makanan. Mulai dari yang klasik ala Indonesia seperti nasi uduk dan sate, hingga penganan modern dan Instagramable macam burger hitam, martabak aneka rasa, dan hot dog.
Salah satu organisasi yang menaungi food truck di Indonesia adalah Organisasi Mobil Bisnis Indonesia (OMBI). Mereka berdiri sejak Mei 2015. Saat ini mereka sudah punya sekitar 44 anggota. Untuk bergabung ke sana cukup mudah, tinggal kirim daftar menu dan foto truk atau mobil untuk usaha. Lalu mengisi formulir dan membayar uang pendaftaran Rp1 juta.
"Keuntungannya bergabung di organisasi ini adalah adanya informasi tentang acara, bazaar, pelatihan bisnis, juga bisa diskusi dengan sesama pelaku food truck," ujar Ferry, salah satu pengurus di OMBI.
Menurutnya, saat ini usaha food truck di Indonesia masih berjalan dengan lancar. Setiap hari ada saja orang yang menanyakan cara bergabung ke OMBI. Menurut penelusuran organisasi ini, ada sekitar 100 food truck yang beredar di Jabodetabek. Sama seperti di AS, banyak orang memilih menjalani bisnis food truck karena secara hitung-hitungan, biaya yang harus dikeluarkan lebih kecil ketimbang membuka usaha restoran.
"Biaya pembuatan food truck sih tergantung konsep dan jenis mobil atau truk yang dipilih. Yang murah sih bisa 50 juta. Kalau yang mahal bisa sampai 500 jutaan," kata Ferry.
Selain perihal biaya, usaha food truck ini juga unggul perihal mobilitas. Misalkan di suatu titik ternyata kurang ramai, ia bisa saja berpindah ke area lain yang lebih ramai. Menurut Ferry, hingga sekarang, mereka tak perlu izin untuk mangkal. Ini lumayan meringankan beban pengusaha food truck di Indonesia yang tak perlu ribet mengurus izin.
Di AS, peraturan ketat sudah diberlakukan. Semua berawal di Los Angeles tahun 2010. Saat itu Departemen Kesehatan mewajibkan usaha food truck harus lolos uji inspeksi kesehatan dan higienitas, tak berbeda dengan usaha restoran. Pada 2011, polisi di New York memindahkan banyak sekali food trucks karena peraturan yang tidak membolehkan kendaraan parkir di dekat perkantoran.
Menyebut food truck sebagai tren tidak salah. Masalahnya, tren pasti berlalu. Apa yang akan mereka lakukan ketika food truck tak lagi ngetren? Pada akhirnya, apa yang bisa menyelamatkan pengusaha makanan adalah apa yang mereka jual: makanan. Yang tak bisa merebut hati pelanggan, ya siap-siap saja tersingkir. Sama seperti yang pernah diucapkan Mike, pemiliki Mike's BBQ, food truck dari Oklahoma.
"Resepnya sederhana, aturan klasik. Perusahaan yang mengetahui kegemaran konsumen pasti akan bisa bertahan."
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti