tirto.id - Jumlah dan frekuensi anak pipis atau buang air kecil dapat menunjukkan kondisi kesehatan ginjalnya. Jumlah pipis yang normal pada setiap anak ditentukan berdasarkan usianya.
Orang tua sangat disarankan mengetahui apakah jumlah pipis anak dalam batas normal atau tidak. Hal ini untuk mewaspadai kondisi gangguan ginjal akut misterius pada anak-anak yang belakangan ini meningkat kasusnya di Indonesia.
Salah satu cara untuk mendeteksi gangguan ginjal tersebut adalah dengan menghitung jumlah dan frekuensi pipis anak. Menurut dokter spesialis anak Eka Laksmi Hidayati, salah satu gangguan paling spesifik pada gangguan ginjal akut anak adalah penurunan volume urine.
Eka yang juga menjabat sebagai Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan bahwa hampir semua anak yang mengalami gangguan ginjal tersebut datang dengan keluhan tidak buang air kecil atau buang air kecil sangat sedikit.
"Kami ingin menyampaikan kewaspadaan, adalah bahwa kalau ada penurunan jumlah volume buang air kecil pada anak-anak maka itu harus segera diperiksakan ke rumah sakit," kata Eka seperti yang dilansir dari Antara.
Lalu, berapa sebenarnya jumlah dan frekuensi normal pipis anak-anak sesuai usianya?
Jumlah Pipis Anak yang Normal Berdasarkan Usia
Jumlah pipis anak yang bisa diukur berdasarkan volume yang keluar dalam rentang waktu tertentu (biasanya per jam). Volume ini biasanya berbeda-beda antar rentang usia tertentu.
Berdasarkan makalah yang diterbitkan dalam jurnal Pediatri Perawatan Primer (2017) jumlah urine yang dianggap normal menurut kelompok umur adalah sebagai berikut:
- Bayi : 750 ml per 24 jam
- Balita: 1.000 ml per 24 jam
- Anak-anak 5 - 10 tahun: 1.500 ml per 24 jam
- Anak-anak di atas 10 tahun: 2.000 ml per 24 jam.
Sebaliknya, jika urine yang dikeluarkan oleh anak-anak kurang dari 0,5 ml/kg per jam atau bayi kurang dari 1,0 ml/kg per jam, maka dianggap sebagai oliguria atau penurunan volume urine.
Namun, sesuai dengan keterangan IDAI anak-anak yang mengalami gangguan ginjal akut juga bisa mengalami anuria. Anuria adalah kondisi ketika ginjal tidak bisa memproduksi urin sehingga penderita tidak bisa buang air kecil sama sekali.
Selain dari volume, jumlah pipis anak yang normal juga bisa dicek dari seberapa sering (frekuensi) anak-anak pergi ke toilet. Melansir dari Healthline setelah anak berusia 3 tahun, frekuensi mereka untuk buang air kecil normalnya terjadi sebanyak 12 kali sehari.
Frekuensi ini terus meningkat seiring bertambahnya usia dan bertumbuhnya kapasitas kandung kemih anak-anak. Ketika sedikit lebih besar, anak-anak normalnya akan pergi ke toilet sebanyak empat hingga enam kali sehari.
Jika frekuensi buang air kecil anak berkurang, perlu diwaspadai sebagai salah satu gejala gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI).
Gejala Gangguan Ginjal Akut Misterius Anak
Selain penurunan jumlah urine, ada beberapa gejala lain yang perlu diwaspadai orang tua terkait kondisi gangguan ginjal akut misterius anak.
Menurut Eka, sejauh ini anak-anak yang dilaporkan mengalami gangguan ginjal akut mengembangkan gejala yang sama, termasuk batuk-pilek atau diare dan muntah.
"Kurang lebih seragam gejalanya. Mereka ini diawali dengan gejala infeksi seperti batuk-pilek atau diare dan muntah," katanya.
Gejala-gejala itu umumnya muncul dalam 3 sampai 5 hari diikuti dengan kondisi mendadak di mana anak memproduksi sedikit urine atau bahkan tidak memproduksi urine sama sekali.
Menurut Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, ada dua jenis gejala gangguan ginjal akut misterius anak yang harus diwaspadai orang tua, yaitu gejala awal dan lanjutan.
Gejala awal gangguan ginjal akut misterius anak meliputi:
- demam;
- diare dan/atau muntah;
- batuk dan/atau pilek.
Sementara, gejala lanjutan gangguan ginjal akut misterius anak berupa:
- jumlah urine dan frekuensi buang air kecil (BAK) berkurang;
- badan membengkak;
- penurunan kesadaran;
- sesak napas.
Lebih lanjut, Eka mengungkapkan bahwa jika sudah terjadi gejala-gejala tersebut orang tua harus segera membawa anak ke pusat layanan kesehatan agar dapat memperoleh penanganan yang tepat.
Hal ini menyusul banyaknya kasus di mana orang tua memberi anak-anaknya cairan terlalu banyak karena khawatir produksi urinenya berkurang.
"Pada AKI yang berbeda kondisinya, kami tidak melihat ada kehilangan cairan yang berlebihan. Maka tidak disarankan untuk memberikan cairan yang berlebihan, tetapi disarankan untuk segera ke rumah sakit untuk diberikan terapi obat, dipantau, kemudian bila tidak berhasil maka kami akan melakukan cuci darah," kata Eka.
Editor: Yantina Debora