tirto.id - Sebuah video wawancara lawas kembali muncul di linimasa media sosial. Video tersebut menampilkan almarhum Munir Said Thalib dan Fadli Zon pada sebuah wawancara dengan stasiun televisi swasta.
Klaim
Video tersebut tak hanya menyebar luas, tetapi disertai narasi. Ada dua klaim yang melekat pada konten video itu: (1) Munir tewas terbunuh satu bulan setelah wawancara di stasiun televisi swasta itu terjadi; (2) Pembunuhan Munir terkait dengan pernyataan Munir di dalam wawancara itu, bahwa Prabowo Subianto tidak bersalah dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Akun Twitter dengan nama @anonLokal adalah salah satu contoh yang membagi video lawas itu. Pada 16 Desember 2018, 9:21 PM, dia membagi video serta mencuit klaim tersebut.
Fakta-Fakta
Video berdurasi 59 detik tersebut awalnya berjudul “Rekaman sejarah pendapat Alm. Munir, SH tentang ketidakadilan yang ditimpakan kepada sosok Prabowo Subianto”. Terdapat keterangan bahwa video dilengkapi dengan alih bahasa Indonesia. Asal sumbernya: “Liputan 6 & Fadli Zon Library Youtube Channel”.
Melalui pelacakan di internet, benar bahwa sumber arsip video itu tersimpan di kanal Fadli Zon Library YouTube Channel. Data memperlihatkan arsip video tersebut diterbitkan pada 8 Mei 2013 dengan judul “Talk Show: Kerusuhan Mei 1998 Prabowo Tidak Terlibat”.
Durasi videonya lebih panjang dan lengkap, 8 menit 25 detik. Bagian awal video itu menampilkan bagian awal pembukaan topik wawancara dari presenter dan berakhir dengan ucapan terima kasih kepada kedua narasumber, Fadli Zon dan Munir.
Sementara itu, keterangan ‘Liputan 6’ bisa jadi dimaksudkan sebagai informasi bahwa wawancara berasal dari sebuah program berita televisi swasta bernama Liputan 6. Tidak ada arsip video secara resmi dari kanal Liputan 6 di YouTube untuk kegiatan wawancara tersebut.
Menguji Dua Klaim
(1) Munir terbunuh setelah wawancara?
Wawancara Fadli Zon dan Munir oleh program berita Liputan 6 itu terjadi pada 8 Oktober 1999. Sementara itu, Munir tewas 7 September 2004. Artinya, klaim bahwa Munir tewas terbunuh satu bulan setelah terjadinya wawancara (8 Oktober 1999) adalah informasi keliru. Munir tewas hampir lima tahun setelah momen wawancara.
(2) Munir dibunuh karena menyatakan dalam wawancara bahwa Prabowo Subianto tidak bersalah dalam pelanggaran HAM?
Pertama, hasil proses peradilan kasus Munir hingga saat ini hanya memberi fakta hukum bahwa pembunuhan berencana terhadap Munir terkait dengan tindak pidana Pollycarpus.
Pollycarpus, yang pada vonis Pengadilan Negeri, 12 Desember 2005 disebut bersalah, sempat dinyatakan tidak bersalah pada vonis kasasi Mahkamah Agung, 3 Oktober 2006. Kasasi MA saat itu hanya menyebut Pollycarpus terbukti bersalah menggunakan surat dokumen palsu untuk perjalanan.
Namun, vonis bersalah kembali dijatuhkan kepada Pollycarpus, 25 Januari 2007, setelah PK yang diajukan Kejaksaan Agung dikabulkan MA.
Kedua, jika cermat dalam melihat wawancara presenter dengan Fadli Zon dan Munir seperti dari video yang beredar, Munir tidak pernah menyatakan “Prabowo Subianto tidak bersalah dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)”.
Potongan video yang lebih pendek, seperti yang disebarkan oleh akun Twitter @anonLokal, dapat mengecoh orang jika tidak hati-hati. Orang tidak dapat memahami konteks secara utuh dari wawancara termasuk dengan pernyataan yang diucap oleh Munir.
Berbekal dengan arsip video itu tersimpan di kanal Fadli Zon Library YouTube Channel, misalnya, orang semestinya dapat memahami konteks dari yang Munir ucapkan.
Konteks Umum Wawancara
Konteks umum dari wawancara program berita Liputan 6 adalah perbincangan dan tanggapan soal rencana Keluarga Djojohadikusumo menuntut pemerintah agar membersihkan nama mantan Pangkostrad Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto. Presenter menyatakan hal ini saat membuka wawancara.
Pernyataan Munir
Pembaca dapat melihat video tersebut mulai menit 3:35. Presenter membuka pembicaraan dengan topik soal ketidakpuasan terhadap hasil keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk Prabowo. Munir membukanya dengan analisis bahwa pemerintah terkesan tidak konsisten.
Munir menyebut pada awalnya pemberhentian Prabowo adalah rekomendasi dari DKP. Namun, pada perjalanan waktu lainnya, kasus tersebut disebut berhubungan dengan kerusuhan Mei 1998. Bahkan, menurut Munir, kasus telah masuk dalam konteks politik, yang membuat kasus jadi penuh kerancuan.
Pembaca dapat kembali melihat secara khusus dari menit 4:50. Seperti yang dapat dilihat dalam transkrip berikut.
Presenter: Jadi kemudian berhenti sampai di situ [DKP] dan tidak sampai berlanjut ya?
Munir: Bukan, peradilan. Padahal begini, kalau menurut saya bahwa kalau misalnya Prabowo [atau siapa pun] tidak terbukti, itu lebih baik di pengadilan. Prabowo kenapa sih tidak ditarik aja ke […] menjadi saksi [terkait dengan] keterangannya. Kalau dia [Prabowo] ada bukti-bukti tersangka, kenapa tidak dibawa ke pengadilan saja? Jadi ini, kalau menurut saya, kemudian kasus ini menjadi komunitas-nya politik dan itu tumpang tindihnya, jadi kacau begini. Itu yang sejak awal saya sampaikan bahwa pengadilan itu yang membutuhkan bukan saja keluarga orang hilang, tidak saja masyarakat, tapi Prabowo sendiri itu butuh pengadilan untuk membuktikan bahwa dia salah atau tidak.
Pernyataan Munir tersebut, dengan demikian, adalah pernyataan bahwa Prabowo membutuhkan proses pengadilan untuk membuktikan dirinya bersalah atau tidak dalam kasus penculikan aktivis mahasiswa pada 1998 atau dalam kerusuhan Mei 1998. Munir tidak membuat kesimpulan bahwa Prabowo tidak bersalah dalam kasus pelanggaran HAM itu.
Dengan demikian, klaim bahwa Munir menyebut Prabowo tidak bersalah dalam kasus pelanggaran HAM adalah kekeliruan dalam mencerna konteks wawancara.
Tanggapan Suciwati
Saat diminta tanggapannya oleh Tirto, 19 Desember 2018, Suciwati, istri dari almarhum Munir, menyatakan orang perlu melihat secara teliti atas video-video yang beredar. Suciwati juga mengirimkan beberapa video lain sebagai pembanding untuk dapat memahami pendapat Munir atas (kasus) Prabowo.
Suciwati juga menekankan bahwa Munir tidak pernah berucap seperti itu. "Monggo dibaca dengan teliti dan dimaknai semua yang sudah saya kirim,” tegasnya.
Video yang dikirim Suciwati adalah cuplikan dari film dokumenter berjudul “Batas Panggung” dan diarsipkan oleh lembaga Kontras melalui kanal resmi YouTube mereka.
Potongan video yang sama, sebelumnya pernah beredar pada momen Pemilihan Presiden 2014 berlangsung. Video itu muncul dan tersebar di beberapa grup dan fanpage Facebook salah satu pendukung kandidat pada waktu itu. Suciwati kala itu telah membuat tanggapan kepada media. Dia pun mengiyakan pernyataan tersebut saat Tirto menanyakan hal itu.
Kesimpulan
Penelusuran kami menunjukkan bahwa klaim ‘Munir tewas terbunuh satu bulan setelah wawancara di stasiun televisi swasta terjadi’ adalah informasi yang keliru. Munir tewas pada 7 September 2004, hampir lima tahun setelah waktu wawancara dalam video viral tersebut.
Sementara itu, soal klaim bahwa pernyataan Munir yang Prabowo Subianto tidak bersalah dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam wawancara juga tak punya bukti kuat.
Pertama, Munir dalam wawancara itu bukan sedang menyatakan bahwa Prabowo tidak bersalah, melainkan menyatakan bahwa kebersalahan/ketidakbersalahan Prabowo harus dibuktikan di pengadilan. Kedua, klaim bahwa pernyataan Munir bahwa Prabowo tak bersalah menyebabkan Munir terbunuh juga tak ada petunjuknya dalam putusan pengadilan.
Artinya, dua klaim itu sudah masuk dalam kategori disinformasi: konten keliru yang sengaja dibuat dan disebar di media sosial. Disinformasi ini juga pernah terjadi pada momen Pilpres 2014 lalu. Tentu, salah satu motifnya adalah menjadi amunisi dalam kampanye pemilu presiden.
===========
Tirto mendapat akses aplikasi CrowdTangle yang menunjukkan sebaran sebuah unggahan (konten) di Facebook, termasuk memprediksi potensi viral unggahan tersebut. Akses tersebut merupakan bagian dari realisasi penunjukan Tirto sebagai pihak ketiga dalam proyek periksa fakta Facebook.
Editor: Maulida Sri Handayani