Menuju konten utama

Benang Kusut Impor Pakaian Bekas

Peredaran pakaian bekas impor terus menyebar ke berbagai pelosok Tanah Air. Pakaian “haram” ini sudah dilarang sejak puluhan tahun lalu. Kenyataannya, semakin dilarang tapi peredaran barang dari lintas benua ini tak terbendung, bahkan sudah dijual secara online.

Benang Kusut Impor Pakaian Bekas
Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya mengungkap penyelundupan pakaian bekas dan tekstil impor ilegal dengan mengamankan 12 tersangka dan menyita 2.216 bal pakaian bekas. [Antara foto/Hafidz Mubarak]

tirto.id - Orang Nigeria menyebutnya “Okirika”. “Obroni Wawu” kata orang Ghana. Di Kongo mereka memanggilnya “Sola”. Di Kenya dan Tanzania lebih ngetren disebut “Mitumba”. Bergeser jauh ke Asia Tenggara, lidah orang Jawa mengucapnya “Awul-awul”.

Apapun namanya, itu semua merujuk pada nama pakaian bekas eks impor. Di beberapa negara, pakaian bekas impor dianggap legal. Namun, tidak sedikit negara yang menetapkannya sebagai barang “haram”, termasuk Indonesia. Sebagai barang ilegal, pakaian bekas sering dirazia dan jadi pekerjaan menahun para aparat Bea Cukai dan Kepolisian.

Pekan ini, Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya berhasil mengungkap penyelundupan pakaian bekas dan menyita 2.216 bal pakaian bekas di sebuah gudang di kawasan Pulogebang, Jakarta Timur. Ini hanya episode pendek dari persoalan pakaian bekas impor yang dari tahun ke tahun tak pernah terselesaikan.

Gencarnya razia pakaian bekas impor ternyata tetap tak mampu menahan serbuan penyelundupan pakaian bekas ke pasar-pasar becek di pelosok negeri. Etalase sederhana pakaian bekas impor di sentra-sentra penjualan barang ini menjadi “surga” bagi mereka yang berkantong pas-pasan untuk sekadar bersalin sandang.

Penjualan pakaian bekas impor di Indonesia kini sudah dijual dengan perdagangan daring. Coba cek saja, beberapa situs pakaian bekas meramaikan jagad internet. Perusahaan e-commerce seperti alibaba.com malah menawarkan pakaian bekas atau used clothes di lapak online mereka.

Bisnis memang tak bisa direm, di mana ada uang di situ ada tindakan. Perdagangan pakaian bekas khususnya di Indonesia tak terlepas dari jaringan bisnis global lintas benua yang per tahunnya mencapai miliaran dolar AS.

Pakaian bekas impor kini memang sudah menjadi bisnis, padahal tujuan awalnya sebuah niat baik sumbangan dan penggalangan dana dari masyarakat di negara-negara maju yang menyisihkan pakaian yang sudah tak terpakai. Niat baik itu justru berakhir di kantong-kantong pasar pakaian bekas di penjuru dunia.

Jejak si Awul-awul

Pada masa lalu, orang-orang kaya di Inggris tak akan pernah tahu pakaian-pakaian bekas yang mereka sumbangkan berakhir di pasar-pasar loak di Afrika. Inggris hanya salah satu dari beberapa negara “pemasok” pakaian bekas, antara laian AS, Jerman, Jepang, Korea Selatan (Korsel), Belanda, Belgia, Kanada, Polandia, dan Italia, yang berkontribusi pada perdagangan pakaian bekas 4,3 miliar dolar AS.

Berdasarkan data United Nations Comtrade Database 2013, AS tercatat sebagai eksportir pakaian bekas terbesar yang per tahun bisa mengirim senilai 687 juta dolar AS, Inggris di posisi kedua dengan nilai 612 juta dolar AS. Untuk Asia, pemasok terbesar berasal dari Korsel dengan nilai 364 juta dolar AS atau menempati posisi ke-4 di dunia. Jepang mengekspor 120 juta dolar pakaian bekas, di posisi paling buncit dari 10 negara pemasok pakaian bekas.

Seorang pengajar geografi pembangunan di King's College London Andrew Brooks yang juga penulis buku “Clothing Poverty” mengungkapkan penelitiannya soal alur pergerakan pakaian-pakaian bekas dari negara asal hingga ke negara tujuan. Pakaian bekas awalnya dikumpulkan di tempat-tempat seperti supermarket lalu dikirim kepada organisasi penggalangan dana, kemudian dijual melalui ritel yang bergerak di bidang amal. Uangnya digunakan bagi kepentingan donasi.

Akar persoalan mulai muncul, ketika badan-badan amal tersebut menjualnya ke perusahaan-perusahaan rekondisi garmen, terutama untuk pakaian-pakaian bekas yang tak laku terjual di outlet mereka. Dari perusahaan rekondisi ini lah pakain bekas disortir dan dikemas dalam bale-bale besar untuk dijual lagi ke penadah di luar negeri. Di Eropa badan amal seperti Salvation Army, Goodwill, dan Oxfam berperan besar dalam mendistribusikan pakaian bekas ke Afrika. Diperkirakan 70 persen pakaian yang disumbang dari Inggris “terbang” ke negara-negara lain, artinya hanya 30 persen yang dijual di kios-kios penggalangan dana negara asal. Namun menurut Charity Retail Association di Inggris, hampir 90 persen pakaian sumbangan terjual melalui kios-kios mereka.

“Ini sebuah sulap, di mana pemberian sumbangan menjadi sebuah komoditi,” kata Brooks dikutip dari BBC.

Terlepas dari kritikan tersebut, yang jelas bagi negara maju, terkirimnya pakaian bekas ke negara lain menguntungkan mereka dari sisi lingkungan, tak banyak sampah yang harus dikelola. Di sisi lain bagi negara miskin seperti Afrika masuknya pakaian bekas menjadi sebuah “berkah” bagi masyarakat miskin. Media theguardian menggambarkan kemiskinan di Afrika menjadi ladang subur dari keberadaan pakaian bekas.

Di Mozambik misalnya, penghasilan penduduk di sana rata-rata hanya 1 poundsterling per hari. Dengan penghasilan sebesar itu, membeli baju bekas saja rasanya masih berat. Di Pasar Xipamanine Market, Mozambik, harga pakaian bekas untuk jeans dijual hanya 2,9 poundsterling dan kaos 1,5 poundsterling. Berkembangnya pakaian bekas juga jadi ladang mencari nafkah di Mozambik, termasuk negara-negara Afrika Timur seperti Burundi, Kenya, Rwanda, Tanzania, dan Uganda.

Setiap tahun, negara-negara di Afrika Timur mengimpor 151 juta dolar AS pakaian bekas dari Eropa. Fakta ini memang sebuah dilema bagi mereka. Perkembangan pakaian bekas di Afrika secara perlahan memukul industri tekstil lokal negara bersangkutan. Di Kenya misalnya, tenaga kerja industri pakaian mereka menyusut tajam dari 500.000 orang jadi hanya 20.000 orang akibat menjamurnya pakaian bekas. Di Ghana telah terjadi penurunan 80 persen tenaga kerja di sektor tekstil, bahkan di Nigeria 200.000 pekerja tekstil kehilangan pekerjaan.

Kenyataan ini tak mengherankan, sejak 1980-an, pasar pakaian bekas sangat dominan di Kenya, Malawi, Mozambik, Nigeria, Rwanda, Senegal, Swaziland, Tanzania, Zambia, dan Zimbabwe. Di Uganda misalnya, pasar pakaian bekas menguasai 81 persen belanja sektor pakaian di negara itu.

Selain menghancurkan industri tekstil dan garmen, masalah isu kesehatan terhadap pakaian menjadi perhatian bagi para pemerintah negara konsumen komoditi ini. Dari dua risiko tadi, tak mengherankan banyak negara di dunia mulai melarang keras masuknya barang-barang tersebut ke pasar mereka.

Negara-negara di Benua Hitam yang tergabung dalam East African Community (EAC) berencana menghentikan impor pakaian bekas dalam 3 tahun ke depan. Langkah ini meniru Zimbabwe yang telah melarang impor pakaian bekas sejak Juli 2015. Negara-negara Afrika selama berpuluh tahun nyaman, kini mulai “sadar' ingin menghentikan masuknya pakaian bekas dengan regulasi mereka.

Regulasi Tumpul

Negara-negara di Afrika baru rencana mau menutup pintu bagi pakaian bekas impor. Indonesia sudah beberapa langkah lebih maju dengan melarangnya. Aturan larangan impor pakaian bekas sudah dikeluarkan pemerintah sejak 1982, melalui SK Mendagkop No. 28 tahun 1982 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor.

Setelah 20 tahun kemudian pada 2002, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) mengeluarkan Menperindag Nomor 642/MPP/Kep/9/2002 tentang Barang yang diatur tata niaga impornya, mengatur larangan impor atas produk gombal atau kain perca, pada era Menperindag Rini Soemarno. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.

Dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, juga mengatur bahwa barang yang diimpor harus dalam keadaan baru demi menjaga industri lokal. Celakanya, dalam Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 8 ayat 2 justru masih memperbolehkan perdagangan barang bekas dengan catatan penjual wajib menyebutkan bahwa barang yang dijual tersebut adalah barang bekas. Ambigu payung hukum juga terjadi ketika ada Peraturan Menteri Keuangan No 132/PMK. 010/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor, yang memasukan pakaian bekas impor dikenai tarif 35 persen, padahal barang ini jelas-jelas ilegal.

Untuk mempertegas payung hukum yang sudah ada soal pakaian bekas impor, pemerintah sejak Juli 2015 telah merumuskan Peraturan Presiden (Perpres) soal daftar barang yang dilarang diperdagangkan di dalam negeri. Sayangnya sudah setahun lebih belum ada kabarnya lagi.

Regulasi dan razia yang digelar aparat tak terbukti ampuh memberantas pakaian bekas impor. Pakaian bekas impor menjadi bukti regulasi tak bergigi di saat komoditi ini jadi bisnis besar di dalam negeri. Namun mau tak mau harus diatasi, caranya butuh ketegasan. Pengalaman di negara-negara Afrika harus jadi pelajaran. Bagaimana pakaian bekas yang awalnya sebagai sumbangan untuk solusi dari kemiskinan ternyata menciptakan kemiskinan baru karena berdampak negatif bagi industri.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti