tirto.id - Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta 2018, kini sedang dibahas Pemda DKI dengan DPRD DKI. Dalam rancangan tersebut, muncul anggaran belanja tak terduga (BTT). Anggaran ini sebelumnya tak dimasukkan dalam draft Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Finalisasi Sinkronisasi.
BTT ini dianggarkan sebesar Rp258 miliar dari anggaran non-kegiatan dalam KUA-PPAS Input Hasil Pembahasan Banggar DPRD. Anggaran ini jauh lebih kecil dari yang diajukan dalam draft KUA-PPAS Penyempurnaan, sebesar Rp379 miliar.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan, anggaran ini memang selalu ada dalam setiap pengajuan RAPBD. Ia menampik anggapan anggaran tersebut muncul begitu saja tanpa ada alasan.
Menurut Tuty, BTT dikualifikasi sebagai anggaran belanja tidak langsung. Sehingga, tak dicantumkan dalam RKPD, yang diajukan sebelum KUA-PPAS Penyempurnaan. “RKPD itu hanya untuk belanja langsung saja,” ucap Tuty kepada Tirto, Kamis (23/11).
Tuty juga menjelaskan, anggaran ini tak punya patokan besaran. Artinya, besaran anggaran akan fluktuatif. Namun, bukan berarti anggaran ini tanpa fungsi.
“BTT kami gunakan juga untuk mem-balance APBD,” imbuh Tuty.
Anggaran BTT ini, disebut Tuty, tak hanya ada di RAPBD DKI Jakarta. Semua pemda, kata dia, memasukkan anggaran BTT dalam setiap anggarannya.
Jika kemudian tak digunakan, Tuty menyebut, BTT akan masuk ke Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Hanya saja, Tuty tak memberi penjelasan lebih lanjut ihwal potensi penyalahgunaan anggaran ini.
“Jika tidak terpakai jadi SiLPA,” kata Tuty menegaskan.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yeni Sucipto, menggarisbawahi potensi yang muncul dari anggaran ini. Bagi Yeni, anggaran BTT tak berbeda jauh dengan anggaran dana bantuan sosial atau hibah: sama-sama rentan dalam hal pertanggungjawaban.
Ketiga anggaran itu, kata Yeni, rawan korupsi. Penggunaa dana bansos, hibah dan belanjta tak terduga selama ini relatif tidak maksimal dalam perkara akuntabilitas dan transparansinya. Yeni menyebut beberapa kasus korupsi di sejumlah daerah terjadi lantaran penyelewengan ketiga dana tersebut.
Selain rawan penyelewengan, Yeni menyebut, alokasi anggaran ketiga dana tersebut juga dinilai melenceng dari input berbasis kinerja. Padahal APBD dirancang berdasarkan kebutuhan organisasi perangkat daerah (OPD)--yang dahulu disebut satuan kerja perangkat daerah (SKPD)—yang sesuai dengan rencana strategis. Sehingga, anggaran bansos dan hibah mesti diperkecil.
“Kalau bansos dan hibah tak punya perencanaan. Dia sifatnya fleksibel,” kata Yeni menegaskan.
Yeni tidak bermaksud berprasangka buruk akan tetapi ia meminta Pemda DKI dan DPRD berhati-hati mengawal penggunaan anggaran ini.
Senada dengan Yeni, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas juga meminta, Pemda DKI benar-benar menyisir alokasi anggaran yang mereka tuangkan dalam RAPBD 2018.
Menurut Firdaus, penyusunan anggaran perlu menimbang efisiensi dan akuntabilitas. Dalam hal ini, kata Firdaus, metode mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama bisa digunakan kembali. Yakni mengunci anggaran di level organisasi perangkat daerah (OPD) yang dahulu disebut SKPD.
“Jangan sampai muncul penitipan anggaran siluman,” kata Firdaus.
RAPBD DKI 2018 dibagi menjadi tiga draft. Pertama, RKPD Finalisasi Sinkronisasi, kedua, KUA-PPAS penyempurnaan, terakhir KUA-PPAS Input Hasil Pembahasan Banggar DPRD. RKPD dan KUA-PPAS Pernyempurnaa ini diajukan OPD ke Badan Anggaran DPRD DKI.
Selanjutnya, Banggar memberi masukan dan dituangkan dalam RAPBD. RAPBD ini nantinya dibahas dan dikoreksi Kementerian Dalam Negeri. Setelah dikoreksi, Kemendagri menyerahkan ke Tim Perancang Anggaran Daerah (TPAD) DKI, oleh TPAD kemudian diserahkan ke DPRD untuk disahkan menjadi APBD 2018.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih