tirto.id - Pada 11 Juni 1948, Ratu Juliana memberikan penghargaan Bronzen Kruis (Salib Perunggu) kepada Sersan Mayor Henri Schrijver, yang kala itu menjabat sebagai bintara intel keamanan dan komandan polisi pangkalan udara di Cililitan, Jakarta Timur. Bintara senior KNIL ini berdarah Indo-Eropa, kelahiran Jawa tahun 1909. Oleh Kerajaan Belanda Henri disebut, “telah membedakan dirinya dengan bertindak berani dan bijaksana dalam pertempuran melawan musuh.”
Jasa-jasa Henri juga ditulis dalam De Stuur Kolom--bacaan prajurit Militaire Luchtvaart (jawatan penerbangan tentara)--edisi Oktober 1948.
Pada malam 3 Januari 1946, sebagai komandan pasukan penjaga, Henri telah membantu pengamanan rumah sakit Mater Dolorosa di sekitar Jatinegara dengan memukul mundur para penyerang. Tanggal 13 April 1946, bertempat di kampung Cipinang Melayu, setelah terjadi pembantaian terhadap seorang pribumi oleh gerombolan yang disebut ekstremis, Henri menangkapi para pelakunya. Lalu pada 20 April 1946, dengan pasukan 60 orang dari Batalyon Jaggers, dia melawan orang-orang yang disebut sebagai gerombolan pembunuh di Kampung Pangkalar/Uringin.
Cerita kepahlawanan Sersan Mayor Henri Schrijver yang dipuji Ratu Belanda ternyata penuh darah. Menurut Remy Limpach dalam Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia (2019:123-124), Henri ternyata memiliki jaringan mata-mata pribumi yang siap jadi algojo jika mendapat perintah untuk membunuh. Antara 1946 hingga 1948, rangkaian pembunuhan terjadi di sekitar Cililitan yang disponsori militer Belanda yang hendak menduduki kembali Indonesia.
Orang-orang Indonesia yang jadi mata-mata suruhan Henri, dapat imbalan berupa sedikit uang, makanan kaleng, beras, dan sabun. Dalam menjalankan tugasnya, mereka dibekali senjata gelap yang bukan berasal dari senjata resmi militer Belanda. Hal ini bertujuan agar keterlibatan militer Belanda sulit terlacak.
Para mata-mata yang bekerjasama dengan Henri adalah mereka yang hidupnya terancam konflik sosial di masa revolusi kemerdekaan. Mereka bermusuhan dengan kaum Republik yang di antaranya tidak ragu menghabisi mereka jika ada kesempatan. Maka bagi mereka, mendekatkan diri kepada militer Belanda adalah solusi terbaik untuk bertahan hidup.
Menurut Remy Limpach, banyak perwira Belanda yang senang dengan upaya keamanan yang dilakukan Henri secara mandiri. Meski demikian, Henri sempat ditahan selama dua minggu pada Desember 1948 karena aksi-aksi intelijennya di Cililitan. Dalam pemeriksaan dia mengaku telah memberi tahu atasannya soal aksi jaringan mata-mata yang dia bangun. Tidak ada tindakan hukum lebih lanjut bagi dirinya karena keburu terjadi transisi politik pada 1949. Setelah ditahan selama dua minggu, Henri bertugas kembali di lapangan terbang Cililitan yang kini bernama Bandar Udara Halim Perdanakusuma.
Tugas Henri di Cililitan
Sejak zaman kolonial, lapangan terbang Cililitan adalah instalasi yang sangat vital bagi militer Belanda. Sekitar tahun 1946, daerah Cililitan dianggap tidak aman alias penuh gangguan. Robert Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries The Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution, 1945-1949 (2009:104) menyebutkan, pada 31 Desember 1945 laskar rakyat melakukan penyerangan besar-besaran terhadap posisi militer Belanda di Cililitan. Petinggi tentara Republik kala itu berusaha agar laskar rakyat tidak melakukan serangan yang prematur alias harus terencana dengan baik.
Segala gangguan keamanan dari pihak Republik itulah yang dibersihkan oleh Henri lewat kerja-kerja intelijen.
Henri masuk KNIL sejak tahun 1939 sebagai serdadu zeni yang ahli telegraf. Setahun kemudian dia ditempatkan di jawatan penerbangan KNIL.
Di masa Perang Pasifik, seperti disebut dalam De Stuur Kolom, dia pernah ditempatkan di Pekanbaru dan Bandung. Setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda menyerah kepada tentara Jepang, Henri sempat bersembunyi selama enam bulan. Dia terlibat dalam peledakan tempat amunisi Jepang di Dayeuhkolot, Bandung. Tak lama kemudian dia tertangkap militer Jepang. Bekas KNIL berdarah Eropa, Indo, Ambon, dan Manado pada zaman Jepang kebanyakan berada dalam kamp tawanan. Tak jarang mereka harus menjalani kerja paksa hingga tewas.
Henri, seperti disebut Limpach, ditawan Jepang di Malaya dan baru bebas setelah 1945. Setelah bebas, dia pernah menjadi supir truk. Sejak 1946, Henri ditugaskan di sekitar Cililitan dan pada awal 1948 dia menjadi kepala polisi di pangkalan udara Cililitan dengan pangkat sersan mayor. Saat itu, militer Belanda membutuhkan banyak personel. Maka meski telah berusia 35 tahun, Henri yang berpengalaman sebagai militer serta ahli perhubungan, tetap dibutuhkan.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai polisi di tempat militer, Henri mengaku tak pernah menyelesaikan latihan kepolisian dengan baik. Dan terkait pembersihan dan pengamanan pangkalan udara Cililitan, dia tak pernah diarahkan atasannya untuk mendalami aturan hukum dan lainnya. Maka itu, dia memakai cara-cara keji yang mengerikan.
Menurut laporan De Stuur Kolom, sebagai bintara yang bisa memimpin pasukan campuran, Henri Schijver tidak hanya memimpin pasukan dari korpsnya. Henri yang bertugas di sekitar lapangan terbang Cililitan, kerjanya tidak hanya menangkap atau mendenda tentara, tapi juga mengamankan penerbangan, perlindungan personel dan peralatan, serta mengamankan pangkalan.
Editor: Irfan Teguh