Menuju konten utama

Belajar Melepas Jerat Impor BBM dari Malaysia

Malaysia lebih baik dibandingkan Indonesia dalam tata kelola BBM dari hulu sampai hilir.

Belajar Melepas Jerat Impor BBM dari Malaysia
Header Perspektif Arif Gunawan Belajar Melepas Jerat Impor BBM dari Malaysia. tirto.id/Tino

tirto.id - Apa kesamaan antara Indonesia dan Malaysia? Sama-sama berbahasa Melayu, sama- sama menjadi raja kelapa sawit dan minyak bumi. Sayangnya, arah cerita minyak bumi keduanya jauh bertolak belakang.

Pada tahun 2000-an, Indonesia dan Malaysia masih tercatat sebagai dua negara utama eksportir murni (net exporter) minyak asal Asia Tenggara. Indonesia berada di posisi wahid, sementara Malaysia mengekor—di antara sepuluh negara di Kawasan.

Namun, Indonesia yang sempat mengekspor minyak dengan volume rata-rata 25 juta ton (million ton oil equivalent/mtoe), pada tahun 2008 memutuskan keluar dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC).

Hal ini terpaksa dilakukan lantaran Indonesia terpelanting menjadi negara importir murni (net importer) minyak pada 2003, dan tak kunjung berhasil membalik keadaan selama 5 tahun berjalan.

Pada 2003, konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,23 juta barel per hari (bph), sementara produksinya 1,18 juta bph. Kondisi ini memaksa Indonesia mengimpor lebih banyak minyak dan BBM yang berujung pada defisit perdagangan minyak dan olahan minyak senilai US$ 414,7 juta.

Kini, per Juni 2022, produksi minyak bumi Indonesia hanya 660.000 bph, dengan konsumsi dua kali lipat lebih besar, yakni 1,66 juta bph. Ketika harga minyak naik ke kisaran USD100/barel, pemerintah memilih mengibarkan bendera putih dan menaikakn harga BBM baru-baru ini.

Sama halnya dengan Indonesia, minyak bumi juga merupakan komoditas penting bagi Malaysia. Mengacu pada IMF Country Report No. 15//59 (2015), ekspor hidrokarbon di Negeri Jiran tersebut menyumbang 10% dari produk domestik bruto (PDB) mereka.

Ekspor minyak mereka bertahan di kisaran USD12 miliar-USD15 miliar. Pada 2006 nilainya di angka USD14,4 miliar, dan pada tahun 2020 masih sebesar USD13,8 miliar (2020). Harap dicatat, angka tersebut dicapai bahkan ketika ekonomi dunia melambat akibat pandemi.

Situasi produksi minyak mentah Malaysia sebenarnya mirip dengan Indonesia. Per Desember tahun lalu, produksi mereka tercatat sebesar 514.000 bph, menurut data Tradingeconomics. Di sisi lain, konsumsi mereka mencapai 762.701 bph.

Namun pembedanya adalah produksi olahan minyak. Meski mengimpor minyak mentah senilai USD4,1 miliar per Desember 2020, Negeri Monarki ini surplus olahan minyak (BBM, avtur, oli, dlsb) sebesar USD1,9 miliar. Ekspor olahan minyak tercatat USD61,9 miliar sementara impor sebesar USD60 miliar.

Karena tak perlu mengimpor BBM, harga bensin di sana (RON95) menjadi yang termurah di Asia Tenggara, yakni RM 2,05/liter atau Rp6.800. Harga itu jauh lebih murah dari BBM di Indonesia seperti Pertalite (RON90) seharga Rp10.000 dan Pertamax (RON92) di harga Rp14.500.

Masa Krusial 2003-2005

Sebenarnya, produksi minyak Malaysia sempat mengalami penurunan dan pernah diprediksi terjerat menjadi importir murni, seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena kenaikan konsumsi yang tak diimbangi produksi.

Proyeksi ini disampaikan oleh Wakil Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak pada tahun 2005, ketika di depan publik menyatakan bahwa Malaysia tidak bisa bergantung pada sektor minyak karena berpeluang menjadi importir murni minyak pada 2009.

Menimpali pernyataan Najib, Dewan Aksi Ekonomi Nasional (National Economic Action Council/NEAC) menegaskan hal serupa dalam laporan berjudul "Oil Prices and Subsidies (An Explanation)" yang terbit pada tahun yang sama.

“Di neraca keuangan 2004/2005, PETRONAS membelanjakan 61% dari total investasinya, atau RM10,7 miliar untuk membiayai aktivitas ekplorasi. Jika tidak ada temuan baru, Malaysia akan menjadi net importer minyak pada 2009,” demikian tulis laporan tersebut.

Paham dengan risiko tersebut, Malaysia menggenjot eksplorasi minyak dengan melibatkan kontraktor asing utamanya ExxonMobil, Shell, dan ConocoPhillips. Mereka menciptakan iklim yang mendukung investasi di sektor hulu migas, melalui Petroleum Management Unit (PMU).

Hasilnya? Mengutip BP Statistical Review 2021, cadangan terbukti minyak Malaysia mencapai 2,7 miliar barel (per 2020), naik dari 2010 (sebesar 2,1 miliar barel). Artinya, Malaysia sukses melakukan aktivitas eksplorasi minyak sehingga cadangan terbuktinya naik.

Cadangan naik, produksi pun bisa digenjot. Sempat turun dari 861.800 bph (2004) ke 693.000 (2009) produksi minyak Malaysia berbalik menguat pada 2016-2018 menjadi lebih dari 710.000 bph. Data terbaru per 2021, pandemi Covid-19 memicu penurunan produksi menjadi 596.000 bph.

Bagaimana dengan Indonesia? Data yang sama menyebutkan bahwa cadangan terbukti minyak Indonesia tersisa hanya 2,4 miliar barel, susut dari angka 2010 yang mencapai 5,1 miliar barel.

Kita, dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Pertamina sebagai raksasa energi nasional, tertinggal dari Malaysia yang luas negaranya lebih kecil dari Indonesia.

Soal produksi jangan ditanya. Sempat bertengger di angka 1 juta bph pada 2010, produksi minyak Indonesia terus menurun ke kisaran 800.000 bph (2013-2018) hingga—masih menurut BP—per 2020 menjadi hanya 743.000 bph di tengah pandemi Covid-19.

Salah satu pemicunya adalah skema gross split di mana kontraktor wajib menanggung seluruh biaya eksplorasi. Skema ini kurang menarik bagi kontraktor, jika dibandingkan skema sebelumnya yakni cost recovery, di mana biaya eksplorasi ditebus pemerintah.

Berlaku pada 2017 di era Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Wakil Menteri Arcandra Tahar, gross split akhirnya dilonggarkan. Pada 2020, Menteri ESDM Arifin Tasrif merilis Peraturan Menteri ESDM Nomor 12/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM Nomor 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Intinya, gross split tak lagi jadi opsi tunggal.

Kilang Aman, Subsidi Terkendali

Pelajaran terpenting lain adalah hilirisasi. Malaysia dalam 1 dekade terakhir terus menggenjot pembangunan kilang baru. Pada tahun 2010, kapasitas produksi kilang minyaknya di angka 491.000 bph dan loncat ke 880.300 bph (2021) menurut EIA (Energy Information Administration).

Angka itu melampaui kebutuhan BBM di Malaysia yang di kisaran 700.000 bph (2021). Tak mau berpuas diri, BUMN energi Malaysia yakni Petronas menjalin usaha patungan dengan Saudi Aramco untuk membangun kompleks kilang minyak yang terpadu dengan produksi petrokimia.

Mengutip Reuters, proyek tersebut kelak menambah kapasitas kilang minyak Malaysia sebesar 300.000 bph, menjadi 1,1 juta bph atau melibas kapasitas kilang Indonesia yang saat ini tak beranjak dari angka 1 juta bph dalam 2 dekade terakhir.

Keberadaan kilang berkorelasi dengan beban subsidi. BBM murah di Malaysia seringkali dikaitkan dengan besaran subsidi yang berlimpah. Faktanya, nilai subsidi mereka memang besar, tetapi relatif terkendali berkat keberadaan kilang.

Penjelasannya begini: ketika NEAC mengkhawatirkan lonjakan subsidi pada 2005, saat itu harga rerata minyak mentah acuan Amerika Serikat (AS) yakni West Texas Intermediate (WTI) di level USD56,64/barel, menurut MacroTrend. Angka itu setara USD0,36/liter.

Namun di sisi lain, harga jual BBM di AS saat itu—mengutip IEA—sebesar USD2,2/liter. Artinya, ada margin sebesar USD1,84/liter atau Rp 27.300 (asumsi kurs 14.835/dolar AS) per liter dalam proses pengolahan dan distribusi minyak mentah menjadi BBM.

Dari perspektif Indonesia selaku pembeli, akan lebih ringan mengimpor minyak mentah (untuk kemudian mengolahnya menjadi BBM) ketimbang mengimpor BBM yang sudah jadi.

Neraka tercipta ketika kilang minyak kita terbatas, sehingga harus mengimpor BBM yang bermargin besar seiring dengan tingginya volume impor dan "menjual rugi" BBM tersebut ke masyarakat.

Dilema demikian tak dihadapi Malaysia. Meski mengimpor minyak mentah sebesar 270.000 bph pada 2019 (di situasi normal sebelum pandemi), ia tak banyak mengimpor BBM karena enam kilang di sana mampu memproduksi BBM sebesar 712.000 bph.

Dengan konsumsi BBM di 841.000 bph (2019), Malaysia hanya perlu mengimpor BBM sekitar 130.000-an bph. Tahun ini, nilai subsidi BBM di APBN mereka sebesar RM 30 miliar atau setara Rp 99 triliun. Bandingkan dengan Indonesia yang subsidi (plus kompensasi BBM-nya) mencapai Rp 502 triliun.

Artinya, Malaysia juga memberikan subsidi. Namun, struktur industri migas mereka yang efisien dari sisi eksplorasi, produksi, hilirisasi, hingga distribusi membuat besaran subsidi menjadi lebih rasional dan terukur.

Indonesia, di sisi sebaliknya memiliki PR besar dari sisi produksi minyak dan pengolahan BBM. Negeri ini harus mengimpor minyak dan BBM sebesar 845.000 bph karena timpangnya produksi (781.000 bph) terhadap konsumsi (1,6 juta bph).

Jika diasumsikan kilang minyak di Indonesia berjalan optimal sebanyak 1 juta bph, maka kita harus mengimpor minyak mentah 219.000 bph (untuk menutup kebutuhan pengolahan kilang nasional), dan mengimpor BBM sebanyak 600.000 bph.

Selepas itu, BBM hasil impor tersebut yang marginnya besar--dan menurut Pertamina memicu kebutuhan dolar AS Rp 6,5 triliun per hari--harus "dijual rugi" ke seluruh pelosok negeri. Bagaimana tidak runyam?

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.