tirto.id - Lampu-lampu di sekitar ruangan The Forum padam sesaat setelah penyanyi Beyonce merampungkan tembang "Partitiondalam ajang MTV Video Music Awards 2014. Hanya tersisa lampu sorot yang menyala dan layar yang menayangkan sebuah narasi pendek.
“We teach girls that they cannot be sexual beings in the way that boys are. We teach girls to shrink themselves, to make themselves smaller. We say to girls, you can have ambitions but not too much. You should aim to be successful but not too successful, otherwise you will threaten the man. FEMINIST: the person who believe in the social, political, and economic equality of the sexes.”
Sang diva berdiri kokoh di tengah teks “feminist”, di balik balutan kostum gemerlap ketat yang menutup tubuhnya dari atas sampai pangkal paha. Jason LaVeris mengabadikan pose Beyonce ini, dan segeralah hasil jepretannya menjadi gambar ikonik yang viral.
Baca juga: Beyonce Dedikasikan Pidato Kemenangan BuatPutrinya
Hujan apresiasi mendatangi Beyonce—satu dari sederet pesohor Hollywood yang dikenal aktif menyuarakan feminisme. Namun, senantiasa ada kritik di balik suatu aksi fenomenal, tak terkecuali bagi ibu tiga anak ini. Adalah Annie Lennox, penyanyi yang juga feminis, yang menyebut Beyonce “feminist lite”.
“Saya pikir dia adalah artis fenomenal-saya suka penampilannya-tetapi saya ingin duduk bareng dengannya…Saya sering melihat para artis mencomot kata ini [feminisme] dan mempromosikannya, tetapi saya tidak berpikir mereka benar-benar merepresentasikan kedalaman [makna] feminisme," kata Lennox dalam wawancara dengan PrideSource.
"Saya pikir, bagi banyak orang ini [penggunaan kata feminisme] sangat baik, terlihat keren dan radikal, tetapi saya punya persoalan dengan ini…Saya pikir apa yang mereka lakukan dengan ini begitu murahan dan…ya, apa mau dikata? Seks selalu menjual. Tidak ada yang salah dengan berjualan menggunakan [tema] seks, tetapi ini tergantung audiens Anda. Bila mereka adalah anak-anak usia 7, saya mempermasalahkannya.”
Annie Lennox hanya satu dari sejumlah feminis yang menangkap sisi gelap dari pembebasan seksual yang diusung sejumlah perempuan. Beyonce boleh saja rajin tampil dan berlenggak-lenggok dengan sensual seraya mengatakan ekspresi seksualitasnya adalah bagian dari semangat feminisme yang ia gadang-gadang. Namun bagi sebagian pihak, hal ini tidak berbeda dengan upaya mengobjektifikasi diri demi pandangan-pandangan para laki-laki.
Terlepas dari serangan-serangan terhadap pilihan aksi Beyonce yang disebut feminis, dunia akademik mulai memberi perhatian terhadap sejumlah selebritas dengan menjadikan mereka sentral pembahasan di bangku kuliah. Ditulis BBC, University of Copenhagen membuka kelas Beyonce, Gender, and Race yang mendatangkan animo besar dari para mahasiswa.
Kelas tersebut akan membahas tentang lagu-lagu dan video musik Beyonce dan mengaitkannya dengan isu gender, seksualitas, dan ras. Pemilihan Beyonce sebagai isu utama studi bukan tidak beralasan. Professor Erik Steinskog dari Department of Arts and Cultural Studies kampus tersebut mengungkapkan, “Salah satu tujuan [pembukaan kelas Beyonce] adalah untuk memperkenalkan pemikiran feminis kulit hitam yang tidak begitu jamak di Skandinavia.”
Kelas yang dibuka di Kopenhagen ini bukan kelas perdana terkait Beyonce. Sebelumnya pada tahun 2010, Rutgers University membuka kelas Politicizing Beyonce dengan bahasan tak jauh beda dengan di University of Copenhagen. Kevin Allred yang mengajar kelas tersebut menyatakan bahwa ia senang sekali bisa mengawinkan studi tentang budaya pop dan politik dengan cara yang menarik: mengangkat sosok Beyonce.
Baca juga: Sudah Saatnya Tak Terpaku Satu Bidang Ilmu
Jauh sebelum Beyonce menjadi pusat kajian studi tentang selebritas, figur Madonna lebih dulu disoroti di ranah akademis. RollingStone menulis, di Harvard, Princeton, dan UCLA, tercantum studi tentang Madonna dalam silabus.
Lynne Layton, yang memberi kuliah Madonna Text di Harvard University, mengatakan, “Mengajari mahasiswa bagaimana membaca budaya pop secara kritis sama pentingnya dengan mengajari mereka tentang seni adiluhung. Madonna [sebagai ikon budaya pop] hadir menghancurkan hierarki ras, kelas, dan gender.”
Dalam bahasan Madonna Text, Layton membedah sejumlah lagu Madonna seperti “Oh Father”, “Keep It Together”, dan “’Till Death Do Us Part” dan menyangkutkannya dengan wacana keluarga disfungsional. Sementara lagu “Lucky Star” dikaitkan dengan isu pandangan laki-laki (male gaze) dan “Like a Virgin” dikaitkan dengan dekonstruksi ajeg identitas perempuan.
Baca juga: Madonna Gabung Bersama Ratusan Ribu Massa Tolak Trump
Masih ada kelas-kelas lain yang mengusung nama selebritas dalam silabus perkuliahan. Skidmore College punya kelas Sociology of Miley Cyrus, Georgetown University membuka kelas Sociology of Hip Hop: Jay Z, di University of South Carolina ada kelas Lady Gaga and the Sociology of the Fame, Saint Mary’s University membuka kelas Spirituality & Politics of U2, dan di Clark Atalanta University ada kelas bertajuk Michael Jackson: The Business of Music.
Satu kelas saja boleh jadi dirasa tidak cukup untuk membahas sebuah band fenomenal: The Beatles. Karenanya, Liverpool Hope University membuka program master kajian The Beatles. Dengan belajar selama 12 bulan penuh, mahasiswa yang mengambil program ini bisa mengantongi pengetahuan seputar konstruksi identitas, audiens, etnisitas dan industri, dan lokalitas—yang semuanya bersumber dari kajian musik The Beatles.
Alasan lain mengapa superstars diangkat dalam kelas-kelas kuliah ialah, penggunaan superstar pada zamannya macam Miley Cyrus, Lady Gaga, atau Madonna akan membuat mahasiswa merasa dekat dan tertarik untuk mengambil kelas-kelas tersebut. Membaca budaya berarti membaca perubahan zaman yang terjadi, dan hal paling mudah untuk memotret budaya yang tengah berkembang adalah melihat citra dan perilaku bintang-bintang pop yang sedang naik daun.
Kelebihan lain memilih selebritas masa kini untuk dikaji adalah mudahnya mengakses informasi terkait mereka. Lily Rothman menulis di Time, salah satu praktik akademis yang baik adalah kedekatan dengan sumber-sumber informasi primer sehingga memudahkan studi dan interpretasinya kelak.
Meski sederet alasan telah dikemukakan oleh pihak kampus, pembukaan kelas-kelas kajian selebritas ini tidak melulu ditanggapi positif oleh mahasiswa. Lauren Van Schaik Smith, mahasiswi master jurusan sejarah di University College London berpendapat kepada The Guardian, “Ini adalah gejala pasar pendidikan komersil yang kompetitif.
Universitas-universitas di Amerika memperlakukan mahasiswa layaknya pelanggan—suatu pergeseran yang terjadi juga di sini [Inggris]. Mereka mau memastikan produknya [subjek-subjek kuliah] punya kemasan yang menarik, termasuk modul dengan nama-nama keren.”
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani