tirto.id - Pada zaman revolusi, Wakil Presiden Mohammad Hatta datang ke Sumatra Utara. Ia mendapat pesan dari Gubernur Sumatra di Bukittinggi, Teuku Muhammad Hasan, untuk turun tangan menyelesaikan perseteruan sesama pasukan Republik yang susah diatur.
“Gubernur Teuku Hasan di Bukittinggi yang meminta saya datang untuk menyelesaikan perselisihan antara Mayor Malau dan Mayor Bejo yang berseteru,” ujar Hatta dalam Mohammad Hatta: Indonesian Patriot (1981:284).
Menurut Hatta, Panglima Komandemen Sumatra, Jenderal Mayor Soehardjo Hardjowardojo, tidak mampu menyelesaikan perseteruan dua pemimpin brigade tersebut.
Perseteruan antara Mayor Malau dan Mayor Bejo di Tapanuli terjadi sejak September 1948. Keduanya bukan hanya adu mulut, tapi baku tembak antar pasukan yang mereka pimpin. Pasukan Malau yang disebut pasukan Banteng Negara berada di utara, sementara di selatan terdapat pasukan Bejo yang merupakan Brigade B.
Pada awal revolusi, kedua pasukan ini berada di sekitar Medan, Sumatra Timur. Mereka sama-sama terlibat dalam Pertempuran Medan Area melawan tentara Sekutu yang dumuai pada Oktober 1945.
Dalam perseteruan tersebut, menurut Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal-bakal Tentara Nasional di Sumatera (2005:178), kedua komandan lokal itu tampak tidak ingin ditengahi oleh Letnan Kolonel Alex Kawilarang selaku Panglima Subkomandemen Sumatra Utara.
Wakil Presiden Hatta kala itu didampingi Kolonel Hidajat (mantan letnan dua KNIL yang pernah dinas sebentar), yang kemudian hendak ditunjuknya menjadi Panglima Komandemen Sumatra. Hidajat pernah bertanya kepada Letnan Kolonel Alex Kawilarang, tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah Bejo dan Malau.
“Menurut saya, tidak sulit. Bubarkan brigade-brigade dan bentuklah sektor-sektor,” jawab Kawilarang seperti terdapat dalam AE Kawilarang: Untuk Sang Merah-Putih (1988:137).
Daerah yang dikuasai Mayor Bejo dianggap sebagai Sektor I, dan daerah Mayor Malau sebagai Sektor II. Namun, daerah yang direbut Bejo dari Malau itu harus dikembalikan terlebih dahulu seperti semula. Artinya, pasukan Bejo harus mundur dari Sibolga ke Angkola. Sementara pasukan Malau harus dikurangi, yaitu dari Brigade IX dan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Usulan Kawilarang disetujui oleh Hatta dan Hidajat.
Ketika pertemuan dengan Wakil Presiden Hatta digelar, Mayor Malau tidak datang. “Dalam pada itu, Pak Hatta kelihatan masih sedikit kurang senang, karena Liberty Malau tidak datang. Tetapi Pak F.L. Tobing (Residen Tapanuli) dan saya (Kawilarang) yakin Mayor Liberty Malau akan menaati keputusan itu,” ujar Alex Kawilarang.
Akhirnya, pasukan yang dipimpin oleh dua mayor yang berseteru itu masing-masing hanya sebesar batalion. Menurut Kawilarang, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution pernah meminta pengerahan dua batalion dari Sumatra Utara, yakni batalion Bejo dan Malau, untuk terlibat dalam penumpasan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat.
Bejo dan Liberty Malau
Pada zaman Jepang, Bejo bukan seorang serdadu. Dia pekerja bengkel di Medan yang terkait dengan kelompok nasionalis di zaman kolonial Hindia Belanda. Pada 1945, Bejo bukan pemuda ketinggalan zaman yang sekadar diam menanti hidup mapan. Dia pernah bergabung dengan Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang kemudian lebih dikenal sebagai pemimpin pasukan Nasional Pelopor Indonesia (Napindo). Dia dengan cepat menjadi pemimpin pasukan yang cukup dikenal.
Dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan II (1983:55) disebutkan, dalam pasukan Bejo bergabung pula tentara India Inggris yang ditugaskan di Medan, bekas tentara Jepang, dan bekas serdadu kolonial (KNIL). Dalam golongan terakhir ini, terdapat bekas sersan dari Manado dan prajurit-prajurit dari Ambon.
Satu kompi serdadu India Inggris (yang disebut Bejo sebagai Gurkha) yang ikut datang bergabung, membawa serta senjata-senjata mereka. Bersama golongan serdadu India Inggris ini Bejo menerobos pertahanan tentara Sekutu yang diboncengi Belanda. Bahkan para serdadu berpengalaman itu dijadikan pelatih oleh para pemuda yang awam dalam kemiliteran.
Bejo mengaku pernah didatangi Jenderal Mayor Soetopo, yang katanya membawa surat dari Panglima Besar Sudirman. Isinya menugaskan Bejo untuk “Men-TNI-kan seluruh laskar yang ada di Sumatra Utara". Bejo mengaku tugas ini tak bisa dia laksanakan. Men-TNI-kan laskar-laskar bukan tugas mudah, kepentingan politik di masa itu bisa saja membuat antara TNI dan laskar baku tembak.
Ketika perseteruan antara Bejo dengan Malau terjadi di Tapanuli, di Madiun juga tengah terjadi perseteruan antara pemerintah pusat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagai orang dengan nama Jawa yang berlatar belakang buruh di Sumatra Timur, kala itu Bejo rawan dicap PKI.
Sementara Liberty Malau adalah nama Batak Samosir. Ia terus menjadi tentara hingga berpangkat kolonel. Meski pangkatnya di bawah Bejo yang Brigadir Jenderal, Liberty Malau menjadi sosok yang sangat dihormati di beberapa titik di Sumatra Utara hingga dibuatkan patung.
Bejo belakangan pernah menjadi anggota MPR setelah pensiun dari Angkatan Perang di Jakarta. Sementara Jenderal Mayor Soehardjo yang digantikan Kolonel Hidajat dipindahkan ke Jawa. Dia pernah menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Perang dan Kepala Rumah Tangga Istana Presiden dari 1950 hingga 1964.
Editor: Irfan Teguh Pribadi