Menuju konten utama
Misbar

Beef, Siklus Pembalasan Bangkit dari Trauma Generasi Milenial

Melalui Beef, Lee Sung Jin hadirkan komentar atas kehidupan milenial yang banyak getirnya. Dilema moral yang dihidangkannya sanggup memicu diskusi lanjut.

Beef, Siklus Pembalasan Bangkit dari Trauma Generasi Milenial
Film BEEF. FOTO/Netflix

tirto.id - Pada hari yang normal, kau mungkin akan mengacuhkan insiden kecil yang menimpamu di jalan. Namun, Bagaimana jika itu terjadi pada hari-hari terburuk, dalam periode yang membuatmu merasa selesai dengan hidup. Bisa jadi, insiden itu bakal berlanjut menjadi road rage: kejar-kejaran mobil, lempar-lemparan sampah, hingga menghancurkan pekarangan rumah warga.

Bagi Lee Sung Jin, pengalaman seperti itu justru memantik diri untuk menuangkan gagasannya ke dalam satu cerita. Bahwa permusuhan yang, bila dipelihara, amplifikasinya dapat meruntuhkan hidup lebih lanjut. Seperti itulah yang dialami Danny Cho (Steven Yeun) dan Amy Lau (Ali Wong) dalam Beef—miniseries sepanjang 10 episode yang diproduksi A24 dan ditayangkan di Netflix.

Beef” selain berarti “daging sapi”, juga berarti “memiliki dendam atau masalah dengan seseorang”.

Ini kisah yang slow burn. Di samping beef-nya sendiri dan cuplikan hidup yang dijalani Danny dan Amy, tak ada yang betul-betul terang pada episode pertamanya. Ini adalah penyampaian yang uniknya dan justru menyimpan kesegaran penceritaan. Dari beef sepele perlahan berkembang jadi simpul kusut pertikaian—sama sekali tak mengherankan jika rating episodenya terus menanjak hingga episode finale.

Kisahnya mungkin terasa asing, tapi tak begitu jauh. Konflik pemantiknya sebetulnya juga bisa terjadi di sekitar kita. Di internet, misalnya, bertebaran berita soal orang tak dikenal yang saling tikam hanya karena beradu tatapan.

Catfishing, kriminal, kebohongan dan perselingkuhan yang kelak turut hadir dalam narasinya tentu juga familier bagi banyak penonton. Begitu pun dengan topik pencarian akan kehidupan yang layak, yang bermakna.

Amy digambarkan merindukan masa-masa saat tak ada yang salah dengan semesta, sementara Danny merasa hidup sudah tak layak dilanjutkan. Perang interpersonal lantas dikobarkan, siklus pembalasan yang terus meningkat kekonyolannya jadi “solusi”; Hidup tiba-tiba kembali punya tujuan.

Obsesi keduanya pada perseteruan sudah cukup untuk membuat serial ini berdetak. Namun, yang sebenarnya coba disingkap Beef ialah: di titik manakah ujung pertikaian? dan pastinya, di mana sebetulnya letak akar konflik ini?

Komentator Kelas dan Trauma Generasional

Danny Cho adalah seorang Korea-Amerika. Dia digambarkan punya prasangka tertentu terhadap George, suaminya Amy yang seorang Jepang-Amerika. Begitu pula terhadap perempuan kulit putih (meski di waktu lain, dia justru menonton bokep AMWF).

Pada saat bersamaan, dia tak punya isu terhadap Amy sebagai keturunan Cina-Vietnam. Atau mungkin hal itu tertutupi oleh sentimen lain di antara keduanya. Pilihan Beef untuk menampilkan para Angelenos keturunan Timur Jauh menyediakan kemungkinan untuk membahas sentimen itu, dari pengalaman mereka yang latarnya nisbi mirip.

Sebagai sesama warga minoritas, upaya bertahan hidup di Tanah Kesempatan juga tak luput berujung pada ketimpangan kelas sosio-ekonomi yang berangkat dari privilese dan kesempatan yang tersedia untuk latar masing-masing karakter.

"Kau harus menjaga ilusi, orang selalu lebih suka itu daripada kenyataan," ujar salah satu karakter dari golongan elite, sekalian mengangkut prasangka terhadap mereka yang berada di kelas ekonomi bawah.

Isu kelas kadang dibawakan dengan lucu. Rekan-rekan Danny (yang sepertinya datang dari kalangan ekonomi bawah) mengira vas pahatan George (yang dianggap tak berharga oleh para seniman betulan) sebagai seni berkualitas dan mahal. Pada waktu lain, terjadi adu argumen antara Danny dan Amy tatkala menyinggung bisnis masing-masing.

Pada akhirnya, ia menjadi horor. Dalam episode paling kaotisnya, yaitu episode 9, "The Great Fabricator", puncak konfliknya mengambil panggung di rumah mewah. Di situlah, baku tembak dan kematian brutal terjadi, mengukuhkan Beef sebagai tragikomedi dalam bentuk terbaiknya.

Tatkala dicopot dari statusnya masing-masing, Beef menceritakan Danny dan Amy sebagai manusia yang penuh cela, sarat kesalahan yang disengaja.

"Kau hanya memikirkan diri sendiri," tukas Danny.

"Masalahmu adalah kau hanya menggerutu tentang orang lain," balas Amy.

Ditampilkan dalam berbagai kilas balik, Beef memeriksa jauh ke belakang terkait alasan “meledaknya” perseteruan Danny dan Amy di jalanan. Ia sekalian mengeksplorasi kecenderungan untuk merasa hampa dan ketakutan akan ditelantarkan orang-orang—episode 5 "Such Inward Secret Creatures" mengupas habis soal ini.

Sementara itu, eskalasi konfliknya pun bertumpu pada level personal Danny dan Amy sebagai individu milenial. Ada gesekan kekinian yang cukup marak terjadi di dunia nyata, semisal kecemburuan perempuan terhadap pasangannya yang menyukai foto-foto perempuan lain. Namun, dari gambar lebih besar, keduanya bisa jadi kapsul kemarahan generasi ini, terutama milenial yang lahir di dekade 80-an yang kini lebih dekat untuk dikategorikan “tua”.

Dalam episode finale yang disajikan bak stoner movie lantaran keduanya keracunan buah berry liar, ada penyingkapan mengapa Danny mengencingi lantai kamar mandi, juga ada lebih banyak penyingkapan ihwal “cacat” keduanya.

Sedari kecil terpapar makanan siap saji dan permen, lalu mencapai pubertas tepat ketika internet ditemukan. Bagi Danny, generasi ini adalah guinea pig-nya peradaban. Sementara itu, Amy berharap kehadiran sang buah hati akan menjadikannya "utuh" ketika suami dan pekerjaan tak mampu memenuhinya. Perenungan mendalam itu ditampilkan tatkala keduanya terlempar ke perbukitan terpencil, yang menariknya, jadi sama sekali tak aneh bila mengikuti perjalanan plotnya.

Perlu sepuluh episode untuk sampai ke sana, untuk keduanya menyadari kesalahan personal satu sama lain. Butuh kehilangan orang-orang terdekat untuk menyadari bahwa permusuhan keduanya tak lain adalah akhir beef, sekaligus bukti bahwa keduanya terkoneksi secara personal (yang sebetulnya jauh-jauh hari telah disampaikan orang-orang terdekat mereka).

Kau bisa menyimpulkannya sebagai kisah cinta—yang keras. Kesendirian dan luka yang hanya dapat dipahami, baru dapat terkuak oleh musuh yang berbagi trauma serupa.

Komedi Segetir Hidup Milenial

Mulanya lambat, Beef perlahan menjadi kisah yang padat dengan waktu tayang 30-an menit per episode yang tak pernah sia-sia. Ia hadir tepat waktu dalam menjawab apa yang kira-kira dilakukan generasi milenial tua hari ini.

Sebagai tontonan, Beef tiba di waktu yang tepat dalam menyajikan komedi gelap tentang hubungan interpersonal berkualitas selepas kita disajikan The Banshees of Inisherin, atau menyigi trauma generasional seperti halnya EEAaO dan Turning Red. Ia pun rada mengingatkan pada serial The White Lotus berkat isu kelas yang dibawanya, rombongan individu yang kacau, lokasi dan suasana nyaman sebagai panggung hidup yang amburadul, hingga sisipan artwork yang berfungsi sebagai pengantar plot.

Jalinan konfliknya juga bisa disetarakan dengan judul terakhir, konsisten melanjutkan kekacauan demi kekacauan dengan rute apa pun. Di lain sisi, pendekatan macam ini akan menghadirkan beberapa jahitan perselisihan yang kuat, sementara yang lainnya terasa lebih sepele atau kurang sebanding.

Dengan narasi yang bersifat menanjak, Beef bisa jadi kehilangan sejumlah penonton pada permulaannya. Episode-episode awalnya memang terasa biasa-biasa saja (meskipun serial ini selalu mengakhiri tiap episodenya dengan kuat). Kadang, ia kelewat menyakitkan, seperti konfrontasi antara Paul dan sepupu mereka.

Adapun alur Beef tak pernah mudah ditebak. Ketika mulai menggenggam atmosfernya yang unik, kita akan dengan mudah nyangkut. Ditopang penyutradaraan yang konsisten, skrip yang lucu, dan tentunya karakter-karakter kuat yang dimainkan dengan luwes oleh jajaran aktornya, terlebih dari duet Steven Yeun dan Ali Wong—saking kuatnya, cukup untuk membuat penonton 'nge-stan', mengambil pihak sebagai Team Danny atau Team Amy.

Infografik Misbar Beef

Infografik Misbar Beef. tirto.id/Ecun

Dilema moral yang dihidangkannya sanggup memicu diskusi lebih lanjut. Misalnya, adegan Naomi yang memencet tombol pintu cepat-cepat—apakah dia memang sengaja melakukannya yang menyebabkan terbunuhnya Jordan? Beberapa unsur juga bisa jadi memantik teori-teori di internet, seperti soal signifikansi percakapan maupun simbolisme burung gagak atau kajian lebih lanjut soal pemilihan musiknya.

Betul, selain score yang memadai dari Bobby Krlic, Beef jadi kian “milenial” berkat penggunaan lagu-lagu dekade dari dekade 1990-an dan 2000-an. Mulai dari Björk dan Tori Amos hingga referensi pada Linkin Park (mungkinkah ini album terakhir yang didengarkan Danny secara khusyuk sebelum karutnya kehidupan manusia dewasa mendatanginya?).

Kadang, ia bukan hanya perkara banyak orang yang familier pada playlist-nya atau suasana nostalgia masa muda yang dipicunya, tapi juga berkat lirik yang tepat guna. Beef menggunakan "Lonely Day"-nya System of A Down pada satu episode soal kesepian, juga mengawali kisah dengan "The Reason"-nya Hoobastank untuk menghadirkan petunjuk ("I'm not a Perfect Person").

Lagu-lagu yang sama (bersama humornya) turut membantu meredakan stres yang bisa jadi kian parah saat mengikuti sempalan cekcoknya—yang menandakan narasinya dituturkan dengan teramat baik.

Akan menarik untuk mengikuti kiprah Lee Sung Jin sebagai kreator, tak hanya penulis episode berbagai serial, dan menantikan bagaimana Beef bakal melaju.

Kisah Danny dan Amy bisa dibilang paripurna. Membuat beef baru antara keduanya bakal terkesan mengada-ada. Bisa jadi, ada beef antarkarakter baru atau pengembangan beef dari karakter sampingan dari season pertamanya ini.

Bakal jadi tugas berat untuk sekadar menyamainya, sebuah miniseries yang bisa dipandang sebagai ahli yang ulung dalam mengomentari manusia, terutama milenial, dan gejala-gejalanya. Bukan hanya sebuah tontonan tapi juga sebuah pengalaman dengan manis dan (banyak) getirnya.

Baca juga artikel terkait SERIAL NETFLIX atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi