Menuju konten utama

Bayar Parkir Hanya Bisa Pakai OVO, Masuk Persaingan Tidak Sehat?

OVO mungkin terjerat perkara monopoli dan persaingan tidak sehat. Lippo Group hanya mengizinkan OVO sebagai alat pembayaran di parkiran mal, tidak yang lain.

Bayar Parkir Hanya Bisa Pakai OVO, Masuk Persaingan Tidak Sehat?
Pengendara sepeda motor membayar retribusi parkir kendaraan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (5/12/2017). KANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Penggunaan dompet digital OVO sebagai satu-satunya alat pembayaran di parkiran pusat perbelanjaan milik Lippo Group mengarah pada dugaan persaingan usaha tidak sehat dan monopoli. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan memanggil berbagai pihak--termasuk PT Securindo Packatama Indonesia sebagai penyedia parkir--untuk kepentingan penyelidikan.

Ini adalah kelanjutan dari penelitian yang telah dilakukan KPPU beberapa bulan sebelumnya.

"Kami panggil semua pihak yang bisa memenuhi bukti minimal dua. Kami dalami bagaimana proses terjadi; ada beberapa gedung [yang pakai] jasa parkir pakai OVO [saja]," kata Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih, Senin (19/8/2019) kemarin.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, disebut monopoli jika ada "penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha".

Sementara disebut persaingan usaha tidak sehat jika persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa "dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha."

Faktanya saat ini ada beragam alat transaksi pembayaran berbasis digital. Guntur bilang jika saat ini ada 10 alat pembayaran digital, maka semuanya harus tersedia. Hanya memberi satu opsi sama saja menutup peluang terhadap pelaku usaha lain yang punya layanan serupa OVO.

Masyarakat pun dirugikan karenanya. "Harus ada pilihan," kata Guntur.

OVO adalah salah satu produk aplikasi finansial milik grup Lippo yang diluncurkan pada akhir 2016. Demi menggenjot penggunaannya, sejak awal tahun lalu mal-mal Lippo mewajibkan pengguna parkir bayar pakai OVO.

Promosi jorjoran dilakukan, termasuk bayar parkir hanya Rp1.

Saat itu banyak orang protes. Ernest Prakasa misalnya, pada 6 Februari tahun lalu mencuit di Twitter kalau promosi ini tidak beda dengan pemaksaan, meski tidak akan membuat orang untuk tidak lagi datang ke mal. "Jadi ya, mau gimana lagi, dongkol tapi donlot juga," tulis komedian cum sutradara ini.

Beda Pendapat

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan langkah KPPU sudah tepat. Masyarakat berhak atas opsi pembayaran lain.

"Kalau tidak disediakan metode alternatif lainnya, ya, bisa mengarah ke persaingan usaha tidak sehat. Harus disediakan tempat untuk aplikasi pembayaran non tunai lainnya," kata Nailul kepada reporter Tirto, Sabtu (24/8/2019) kemarin.

KPPU dapat menyelidiki perjanjian yang dibuat antara OVO dan pengelola parkir serta mal, kata Nailul. Dari sana dapat disimpulkan apakah memang ada upaya menghalangi pelaku usaha lain atau tidak. Kalaupun tidak ada dan faktanya OVO serta pengelola mal masih dalam satu payung perusahaan yang sama, "perjanjian tersebut tetap dilarang."

Bila KPPU mampu membuktikan ini, maka ada kemungkinan mereka bisa lebih mudah memperkarakan praktik serupa. Nailul mencontohkan, di sejumlah pusat perbelanjaan di Jakarta, ada yang hanya menerima e-money Mandiri atau Flazz BCA saja.

"Jadi bukan cuma OVO saja, tapi banyak kasus-kasus lainnya," ucap Nailul.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai sebaliknya. Menurut Piter, karena area itu adalah wilayah usaha Lippo, maka mewajibkan orang pakai OVO sepenuhnya "hak mereka."

"Kecuali kalau dia memaksakan itu, misal di ruang publik yang bukan ekosistemnya dia," kata Piter kepada reporter Tirto.

Masalahnya Guntur Syahputra mengatakan satu alasan lain mengapa mereka menyelidiki kasus ini adalah karena "pusat perbelanjaan itu jatuhnya [ruang] publik," tidak peduli mereka bagian dari grup tertentu atau bukan.

Sinta Setyaningsih, Head of Public Relation PT Visioner Internasional, pemegang merek OVO, menyatakan pihaknya terbuka untuk berdiskusi dengan para pemangku kepentingan.

"Kami siap untuk berdiskusi untuk meningkatkan kontribusi OVO bagi ekonomi Indonesia," kata Sinta dalam keterangan tertulis.

Dalam pernyataan yang sama Sinta menegaskan kalau perusahaannya selalu memberikan keleluasaan bagi pihak lain untuk bekerja sama. Ia juga menegaskan OVO tetap berupaya mengedukasi masyarakat mengenai transaksi non tunai.

Saat ini, beberapa pusat perbelanjaan milik Lippo Grup memang tak lagi mewajibkan pengguna membayar dengan OVO. Misalnya di Pejaten Village, pembayaran bisa dilakukan dengan menggunakan uang elektronik.

Baca juga artikel terkait PEMBAYARAN NON-TUNAI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino