tirto.id - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja merespons ihwal isu Pemilu Serentak 2024. Dia mengusulkan agar Pilkada, Pileg, dan Pilpres tak digelar bersamaan.
“Usulan saya, lebih baik dipisahkan Pilkada dan Pemilu [Pileg dan Pilpres]. Tapi jika dimasukkan dalam undang-undang, bagaimanapun penyelenggara (pemilu) wajib untuk melaksanakannya,” kata Rahmat dalam diskusi daring, Jumat (12/2/2021).
Jika akan digelar serentak, kata Rahmat, ada beberapa strategi soal pemilihan itu. Pertama, perihal pengaturan jeda waktu yang proporsional antara Pemilu dan Pilkada yang sedang digodok oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kedua, sosialisasi efektif seluruh jenis pemilu dan pilkada. “Ini (sosialisasi) penting juga, karena banyak masyarakat saat pemilu masih bingung (soal calon), kecuali pilpres,” tuturnya.
Ketiga, perlu ada penyamaan persepsi para penyelenggara pemilu, dengan mengidentifikasi potensi masalah teknis dan hukum, serta kerangka penyelesaiannya. Jangan sampai, lanjut dia, permasalahan teknis masuk dalam Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Keempat, penyamaan persepsi Sentra Gakkumdu dan kelima, optimalisasi sarana pengawasan Bawaslu dan pengawasan partisipatif. Yang menarik dari poin kelima, menurut Rahmat, adalah laporan dan temuan.
Laporan adalah pengaduan dari masyarakat, sedangkan temuan ialah hasil pengawasan dari penyelenggara pemilu. “Lebih banyak hasil pengawasan (70 persen) daripada laporan (30 persen). Berarti pengawasan partisipatif masih menjadi PR. Bahkan sekarang yang aktif melaporkan itu lawan dalam pemilu, bukan lagi pemantau pemilu dan masyarakat,” ujarnya.
Dalam pemilu 2024, perlu ada antisipasi antara lain penguatan SDM pengawas pemilu; menggalakkan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif; meninjau ulang peraturan Bawaslu yang diselaraskan dengan kebutuhan Pemilu dan Pilkada tiga tahun mendatang; intensifikasi koordinasi antarpenyelenggara dan instansi penegak hukum lain, yang berfokus pada identifikasi potensi masalah teknis dan hukum, serta kerangka penyelesaiannya.
Mada Sukmajati, pengamat politik dan pemilu Universitas Gadjah Mada, berpendapat proses narasi yang berkembang saat ini memperlihatkan partai-partai peraup suara besar dan memperoleh kursi besar di DPR cenderung mendukung digelarnya Pilkada tiga tahun lagi.
Sementara, partai-partai medioker atau beberapa partai kecil lebih mendorong penyelenggaraan pilkada di tahun 2022 dan 2023. Dengan penyelenggaraan pilkada berbarengan dengan pileg, dan pilpres di tahun 2024, terkesan ada upaya partai medioker masuk dalam jebakan elektoral dari partai besar.
“Jadi, dinamika itu mewarnai perbedaan dalam pilihan ini sehingga kesannya menjadi gaduh seperti itu," terang Mada.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Dieqy Hasbi Widhana