tirto.id - Ada pemandangan tidak biasa dalam acara jamuan santap malam kenegaraan yang diadakan di Hotel Putri Bali pada 1 Mei 1986. Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan dan istrinya, Nancy Reagan, hadir mengenakan busana batik yang selaras dengan busana sang tuan rumah, Presiden Soeharto dan ibu negara Siti Hartinah.
Reagen mengenakan setelan kemeja batik bermotif Sidoluhur yang dipadukan dengan simbol negara Amerika Serikat berbentuk elang. Sementara Nancy tampil dalam balutan gaun batik berlengan panjang berwarna merah. Kedua busana batik itu hasil rancangan Iwan Tirta.
Sepanjang tahun 1980-an hingga 1990-an, Soeharto biasa memberikan cinderamata batik kepada para pemimpin negara sahabat, dan rancangan Iwan Tirta selalu menjadi pilihannya. Bahkan pada tahun 1990, Soeharto menerbangkan kemeja batik rancangan Iwan Tirta ke Afrika Selatan untuk diberikan kepada Nelson Mandela.
Puncaknya, pada tahun 1994, Iwan Tirta diberi tugas oleh Presiden Soeharto untuk merancang 18 kemeja batik. Satu akan dikenakan oleh Soeharto, sedangkan 17 lainnya dihadiahkan kepada 17 pemimpin negara-negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (KTT APEC) 1994 di Bogor.
Para pemimpin negara yang berkostum batik dalam KTT APEC 1994 dipandang sebagai titik tertinggi keberhasilan Soeharto memperkenalkan batik hingga tingkat internasional. Namun, tidak sedikit pula yang menyebutnya sebagai bentuk politik kebudayaan Orde Baru dalam menyeragamkan identitas bangsa melalui batik.
“Hal tersebut secara tersirat merupakan ‘politik budaya’ yang dijalankan pemerintah untuk memasyarakatkan batik di tingkat internasional, sekaligus sebagai bentuk simbolik jatidiri bangsa Indonesia untuk menghormati para tamu negara,” tulis Agus Sachari dalam Budaya Visual Indonesia (2007: hlm. 199).
Gaya kepemimpinan dan pelbagai kebijakan Soeharto memang tidak pernah jauh dari adat kebiasaan dan simbolisme kebudayaan Jawa. Bahkan, Baskara Tulus Wardaya dalam Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto (2007: hlm. 72) menyebut Soeharto bersikap sangat pilih-pilih terhadap budaya Jawa yang hendak digunakannya. Batik hanya salah satu instrumennya.
Kebijakan Soeharto menjadikan batik sebagai simbol identitas kemungkinan besar dipengaruhi istrinya, Siti Hartinah. Berdasarkan catatan Abdul Gafur dalam Siti Hartinah Soeharto: First Lady of Indonesia (1992: hlm. 103), Ibu Tien disebut sudah pandai membatik sejak gadis. Seperti putri-putri priyayi Kesultanan Solo lainnya, membatik merupakan kegiatan sehari-hari Tien.
Saat pendapatan Soeharto berasal dari gaji yang diberikan departemen keuangan Divisi Diponegoro, maka Tien mencari uang dengan berjualan batik hasil karyanya. Ketika Soeharto dikirim ke Papua Barat untuk memimpin Operasi Trikora, Tien berjualan kain batik untuk mencukupi kebutuhan dapur.
Bang Ali Mengawali, Soeharto Melanjutkan
Meskipun batik cukup dekat dengan latar kehidupan keluarga Soeharto, namun peraturan berpakaian batik tidak datang langsung dari Keluarga Cendana. Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, justru orang pertama yang menetapkan batik lengan panjang sebagai pakaian resmi laki-laki pada 14 Juli 1972. Namun, sebagaimana dicatat Ramadhan K.H. dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992: hlm. 330), kebijakan ini hanya berlaku di wilayah Jakarta.
Ramadhan menambahkan, Ali memperkenalkan batik sebagai pengganti pakaian resmi Barat yang biasanya terdiri dari kemeja dan setelan jas. Pemakaian bahan jas dinilai tidak lagi ideal untuk kondisi iklim Jakarta yang panas. Selain itu, harga pakaian Barat cenderung lebih mahal sehingga Ali merasa perlu mencari alternatif pakaian yang terjangkau bagi setiap pegawai negeri.
Kebijakan Ali sedikit banyak memberi pengaruh kepada politik kebudayaan Orde Baru. Satu tahun setelah anjuran berbusana batik berlaku di Jakarta, PT. Pos Indonesia mengeluarkan perangko serial seni batik di seluruh Indonesia. Berkat hal ini, batik pun tidak lagi menjadi barang asing bagi penduduk di luar Pulau Jawa.
Kemunculan perangko batik disambung dengan pembuatan baju seragam batik Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), menggunakan dasar lambang pohon kalpataru yang dibuat oleh pelukis Aming Prayitno pada 1973. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Korpri belakangan diwajibkan memakai seragam batik berwarna biru dalam setiap acara resmi.
Tidak jelas sejak kapan batik Korpri mulai dikenakan PNS. Meski demikian, Agus Sachari sempat menyebut bahwa upaya itu adalah wujud pertama pemanfaatan batik sebagai alat politik kebudayaan. Dalam hal ini, Orde Baru sedang berusaha mendisiplinkan pegawai pemerintahan melalui pemakaian busana seragam batik pada hari-hari tertentu.
“Ekspresi kekuasaan [Orde Baru] dapat diamati pada penggunaan pakaian seragam Korpri dan berbagai bentuk lambang partai politik,” tulis Agus.
Berseragam batik ala Orde Baru semakin populer tatkala Soeharto beserta keluarganya sering terlihat berkumpul mengenakan kain batik yang sama. Tidak jarang kebersamaan tersebut diekspos besar-besaran oleh media cetak dan televisi sebagai bagian narasi batik-isasi secara nasional.
“Setiap kali ulang tahun Presiden Soeharto tanggal 8 Juni […] ditayangkan dengan luas dalam suatu program televisi nasional. Semua anggota keluarga tampil dengan seragam batik yang sama teksturnya, sama motifnya, sama modenya,” tulis Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003: hlm. 345).
Sukarno Memilih Peci daripada Batik
Sebelum rezim Orde Baru berkuasa, kaum nasionalis lebih suka berdandan necis lengkap dengan setelan jas dan peci hitam ketika menghadiri acara-acara resmi. Untuk mengimbangi kesan kebarat-baratan, Sukarno mengklaim peci hitam merupakan simbol kerakyatan dan nasionalisme.
Sukarno jarang terlihat mengenakan pakaian yang menekankan asal usulnya sebagai orang Jawa. Foto-foto Sukarno mengenakan kain sarung sangat langka, apalagi yang berkain batik. Kees van Dijk dalam “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi” mengungkapkan bahwa sepanjang kepemimpinanya, Sukarno memang sangat berhati-hati dalam berpakaian agar tidak melukai ideologi persatuan yang baru saja dibangun.
Makalah van Dijk yang disunting Henk Schulte Nordholt ke dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (1997: hlm. 103) itu juga menyinggung perbedaan menonjol antara Sukarno dengan Soeharto dalam hal identitas pakaian. Jika Sukarno lebih sering berpakaian safari yang belakangan populer di kalangan militer demi mengaburkan identitas kejawaannya, maka Soeharto sebaliknya.
“Terlepas dari latar belakang ketentaraan, Suharto jarang muncul di depan publik dengan mengenakan seragam militer, sebaliknya memilih untuk mengikuti praktik masa itu yang mensyaratkan setelan Barat, setelan safari, atau kemeja batik,” tulis van Dijk.
Editor: Irfan Teguh Pribadi