Menuju konten utama
Quraish Shihab:

"Banyak Habib yang Tidak Mencerminkan Akhlak yang Baik"

Ahli tafsir Alquran, Quraish Shihab, bercerita tentang masa kecilnya dan pandangannya tentang kehabiban.

Cendekiawan muslim, Quraish Shihab. Tirto.id/Sabit

tirto.id - Enak betul rasanya dilahirkan dari garis keturunan Nabi Muhammad SAW. Dihormati sejak dalam kandungan, terpandang sejak gema tangisan pertama, dan dianggap golongan yang diistimewakan bahkan ketika belum bisa mengucap sepatah katapun.

Namun, benarkah demikian? Tidak sedikit keturunan Nabi malah enggan dipandang dengan atribut keistimewaan demikian. Bahkan ada yang memilih untuk menanggalkan gelar “habib” karena merasa tidak begitu berhak.

"Bahkan sampai sekarang sebenarnya ada orang-orang yang punya garis keturunan dari Nabi, punya pengabdian yang besar, tidak dikenal sebagai sayid," kata Quraish Shihab.

Ia adalah penafsir Alquran yang cemerlang, cendekiawan muslim yang memiliki rekam jejak luar biasa, diakui sebagai ahli ilmu tafsir di dalam dan luar negeri.

Quraish dilahirkan pada 16 Februari 1944 di Rappang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Ayahnya, Abdurrahman Shihab, juga ulama dan guru besar di bidang tafsir. Dibesarkan oleh keluarga yang terpandang tidak membuat Quraish serta-merta mendapat keistimewaan-keistimewaan.

Sejak kecil, Quraish kecil diwanti-wanti oleh sang ayah untuk jangan sekali-kali mengandalkan garis keturunan.

"Tidak perlu memperkenalkan diri sebagai sayid atau sebagai habib," katanya.

Itulah yang kemudian membuat Quraish sejak kecil selalu berusaha menunjukkan diri bahwa ia bisa seperti sekarang bukan karena keistimewaan garis keturunannya, melainkan karena kerja keras, perilaku sehari-hari, dan pemikiran-pemikirannya yang mencerahkan dan meneduhkan.

Di kediamannya di sekitar Cilandak, Jakarta Selatan, dengan ramah penulis Tafsir Al-Misbah yang fenomenal ini menyambut kedatangan kami. Di ruang tamu kediamannya, wawancara berlangsung santai. Kadang celotehan Quraish memancing tawa kami.

Berikut bagian pertama wawancara Zen RS dan Ahmad Khadafi dari Tirto dengan Muhammad Quraish Shihab.

Bagaimana masa kecil Anda di Sulawesi Selatan?

Sebenarnya kami itu, lebih-lebih di Sulawesi, membaur. Tidak ada itu istilah, [seperti] di Jawa ada Kampung Arab. Di sana tidak ada Kampung Arab.

Istilah koloni Arab di sana tidak ada?

Tidak ada. Kami punya organisasi yang berbaur di dalamnya, orang-orang Arab dan orang-orang Bugis-Makassar, organisasi yang didirikan oleh ayah saya, namanya “JIWA”.

Singkatan apa itu?

Jam’iyah Al-Ittihad Wa al Muawanah. Organisasi Persatuan dan bantu-membantu.

Itu yang di Rappang?

Tidak, itu yang di Makassar. Kalau di Rappang mungkin malah tidak ada, ya. Selama di Rappang itu, lebih banyak berbaur atau menyatu dengan keluarga kerajaan, karena ibu dari ibu saya, nenek saya, adalah putri keluarga bangsawan.

Berarti kurang lebih Anda ini muwallad (peranakan), ya?

Iya. Ayah saya muwallad, nenek saya pun muwallad.

Bukan lagi wulaiti (Arab/Hadramaut totok)?

(Bahkan) Ayah saya tidak pernah ke Hadramaut. Saya pun belum pernah ke Hadramaut.

Belum pernah ke Hadramaut? Tidak merasa terpanggil?

Merasa terpanggil. Tapi tidak, belum takdir. Saya ingin melihat ke sana, masih banyak keluarga di sana. Kalau istri saya sudah pernah dua kali ke Hadramaut. [Saat] saya jadi duta besar di Djibouti, hanya tinggal satu langkah ke Hadramaut. Tapi belum ada takdir.

Apalagi kalau melihat dinamika keturunan Hadramaut awal-awal abad 20 itu antara terikat dengan tanah yang dipijak (Indonesia) atau berorientasi kepada Hadramaut sebetulnya masih kencang...

Ya, itu masih kencang. Tapi saya kira daya tarik ke Indonesia lebih kuat. Ini disebabkan karena apa? Orang-orang yang datang dari Hadramaut itu tidak bawa istri. Jadi, mereka kawin di sini. Jadi anak-anaknya yang dekat pada ibunya, itu lebih Indonesia. Bahkan bahasanya lebih banyak bahasa Indonesia, karena ibunya orang Indonesia. Atau bahkan bahasa Jawa. Saya di rumah berbahasa Bugis dengan ibu.

Tidak berbahasa Arab?

Tidak. Ya, kami tidak, sebagian saudara saya tidak mengerti bahasa Arab.

Dengan ayah?

Dengan ayah berbahasa Indonesia. Jadi sejak semula Ayah memerintahkan kami berbahasa Indonesia di rumah antara satu dengan yang lain.

Anda enggak diajak belajar bahasa Arab?

Kemudian saya masuk pesantren di Malang. Umur 14 tahun.

Kalau kita agak mundur, sekitar 1930an, masih ramai diskusi atau debat di kalangan Hadramaut tentang keutamaan sayid. Waktu kecil apakah Anda merasa ada privilese?

Tidak. Bahkan karena Ayah juga mengajarkan kami jangan pernah mengandalkan keturunan. Tidak perlu memperkenalkan diri sebagai sayid atau sebagai habib.

Itu dari kecil?

Dari kecil.

Ke semua?

Ke semua.

Kepada anak beliau atau mungkin juga ke keponakannya?

Iya, kepada keluargalah. Tidak ada itu. Selalu dia katakan kalau mau dikenal orang, dikenallah dengan akhlakmu, dengan hatimu. Itu satu yang beliau sampaikan.

Yang kedua, jangan permalukan leluhurmu dengan perbuatanmu yang buruk. Itu yang ditanamkan kepada kami, dan itu yang terjadi di masyarakat Indonesia di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, tidak ada organisasi sayid khusus atau non-sayid khusus.

Saya pernah membaca Syaikh Ahmad Surkati pernah mengatakan “sayid” itu dalam bahasa Belanda mirip “Meneer” atau kalau dalam Perancis itu mirip “Monsieur”. Sebetulnya bagaimana, Prof?

Sekarang gini. Gelar sayid, gelar habib, diberikan orang. Sama halnya dengan kiai. Siapa yang memberi gelar kiai? Masyarakat yang hormat sama dia. Itu setelah melalui proses yang bisa menjadi alasan untuk dia diberi gelar sayid atau habib. Itu hemat saya.

Mereka melihat bahwa ada keistimewaan pada orang-orang yang mempunyai tali keturunan dengan Rasulullah, ada keistimewaan. Keistimewaan itu suka atau tidak suka harus Anda akui. Kenapa demikian? Bukankah di Indonesia juga ada yang namanya bibit, bebet, bobot? Iya, kan?

Jadi itu ada. Di dalam tinjauan ilmuwan pun itu anak child between heredity and education. Ini dikuatkan oleh perintah mencintai. Dan lebih dikuatkan lagi karena akhlak mereka sangat luhur sehingga tidak segan orang memanggilnya sayid atau habib.

Kalau saya baca literatur-literatur peranan tentang Indo-Eropa, Indo-Tionghoa, Indo-Arab, sebetulnya dulu saya jarang sekali membaca orang ditulis namanya “Habib”, paling cuma “sayid” saja.

Ya, karena habib sangat jarang. Karena syaratnya, bahwa dia harus orang alim, di samping keturunan [Nabi]. Harus orang alim, harus orang yang memberi perhatian pada masyarakat.

Mengurusi segala macam urusan umat?

Iya.

Jadi tidak sembarangan kira-kira.

Tidak sembarangan, tidak sembarangan.

Mustahil orang jaman dulu mengaku dirinya habib?

Kalau kita mau lebih jujur: tidak menolak [dipanggil habib], tapi [juga] tidak meminta orang memanggil habib.

Ada tidak kasus di mana seorang sayid yang sebetulnya pantas dipanggil habib tapi dia merasa tidak pantas?

Iya, ada. Dan saya kira banyak.

Sampai sekarang?

Sampai sekarang. Bahkan sampai sekarang, sebenarnya ada orang-orang yang punya garis keturunan dari Nabi, punya pengabdian yang besar, tidak dikenal sebagai sayid.

Padahal punya reputasi yang baik?

Iya, betul. Itu misalnya (pelukis) Raden Saleh. Dia punya pengabdian, punya karya yang besar.

Ada sayid, ada habib, ada syaikh. Perbedaannya apa?

Itu terminologi dalam masyarakat. Mereka membedakan antara yang keturunan dari Nabi dan yang bukan. Yang bukan, tetapi mempunyai kedudukan yang tinggi, terhormat, dan sebagainya, dipanggil “syaikh”. Itu sebabnya, misalnya, di kalangan NU, Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari. Itu orang sangat terhormat.

Terhormat dan punya…

Dan punya kedudukan. Iya, kan? Ini, kan, kemudian terjadi inflasi.

Anda sendiri, kan, lebih suka dipanggil profesor atau bahkan ustaz saja?

Iya, ustadz saja, sudah cukup. Sudahlah, tidak banyak dampaknya buat saya dan buat masyarakat. Bahkan saya kira dampaknya lebih baik kalau saya tidak dipanggil apa-apa.

Saya baca wawancara Gus Mus, bagi dia “inflasi” itu disebabkan media yang terlalu mudah memberi panggung. Komentar Anda bagaimana?

Betul. Ada benarnya bahwa media seringkali memberi gelar-gelar terhormat kepada orang-orang yang belum wajar diberi gelar, belum memenuhi syarat. Katakanlah kiai. Kata Gus Mus, kan, itu modalnya sorban. Sekian banyak yang dinamai kiai, [padahal] ya bukan kiai. Yang berbicara dinamai kiai, tapi pembicaraannya keliru. [Ada] sekian banyak yang dinamai habib tidak mencerminkan akhlak yang baik. Inflasi, kan?

Dan itu banyak, ya?

Ya, kalau kita berkata banyak, lebih dari dua itu sudah banyak.

Itu kira-kira sama dengan betapa mudahnya orang disebut pengamat politik?

Sama.

Gelar “sayid”, gelar “habib”, mendadak mencuat menjadi politik identitas yang menjadi narasi penting dalam politik Indonesia. Dalam pandangan saya, mohon dikoreksi kalau keliru, baru sekarang terjadi. Ada komentar?

Sekarang terjadi, dulu juga pernah terjadi, tapi kejadiannya bertolak belakang. Dulu terjadi, tapi diterima baik oleh seluruh masyarakat. Kita ambil satu contoh dalam sejarah Indonesia yang termasuk modern. Habib Salim Bin Jindan itu orang keras, sangat keras. Pidatonya berapi-api, tapi ilmunya dalam. Ilmunya dalam, jadi orang berkumpul sama dia. Akhlaknya luhur.

[Kalau] sekarang, sebagian yang terlibat dalam bendera sayid itu ada yang tidak mengerti agama, lho. Ada yang sangat keras.

Tapi tidak mengerti agama?

Iya.

Asal keras atau kenapa ya?

Kita keras terhadap orang kafir, tapi keras itu dalam pengertian tegas. Dan tegas itu tidak harus dalam bentuk makian.

Kekerasan fisik?

Apalagi kekerasan fisik. Salah satu ciri Alawiyyin dari Hadramaut adalah mematahkan pedang. Artinya mematahkan pedang, tidak akan bersikap keras. Kita tidak bersikap keras, apalagi antar-sesama muslim. Kita bersikap keras terhadap penjajah. Tapi intinya kita berdakwah dengan akhlak, dengan kalimat-kalimat yang indah dan lain sebagainya.

Fenomena sekarang ini menjadi isu tidak di keluarga Anda? Kan Anda dengan Pak Rizieq juga satu marga?

Yah, manusia bermacam-macam. Saya dengan Pak Alwi [Alwi Shihab, adik Quraish] saja beda. Kita, kan, punya kepribadian masing-masing. Boleh jadi ada yang berbeda tapi masih bisa dihimpun dalam satu wadah. Boleh jadi ada yang berbeda tapi tidak bisa dihimpun dalam satu wadah. Iya, kan?

Saya selalu ingin, ketika menyampaikan sesuatu itu dengan santun. Ada orang yang berkata santun sudah tidak cukup lagi, harus dengan [cara] keras! Ya, silakan masing-masing.

Ini sikap berdasarkan pendidikan dari orangtua, atau…?

Saya pahami sebagai anjuran agama. Pendidikan orangtua yang kemudian saya ketahui bahwa itu nyambung dengan anjuran agama.

Jika agama disampaikan tidak dengan cara yang baik?

Orang tidak akan tertarik. Di Alquran ada pesan kepada Nabi, di Surat Ali Imran.

Saya ingin beri Anda gambaran. Kota Madinah akan diserang. Nabi berkumpul bersama sahabat-sahabatnya membicarakan bagaimana sikap kita dengan rencana serangan ini. Sebagian berkata, kita menunggu di dalam kota karena musuh tidak tahu [kota]. Kita lebih tahu kota daripada mereka.

Ada yang berkata, "Tidak, kita keluar!" Ini anak-anak muda yang semangat. Kata Nabi, kalau memang itu kesepakatan kalian, saya akan setuju. Nabi masuk ke kamarnya memakai pakaian perang.

Kemudian sebagian sadar: "Kita setengah memaksa Nabi." Akhirnya mereka berkata, "tidak usahlah Nabi, kita nunggu saja di sini."

Kata Nabi, seorang Nabi ketika sudah memakai pakaian perangnya tidak wajar membukanya sebelum terjadi perang. [Maka], berangkatlah. 70 orang muslimin akhirnya gugur. Perang Uhud.

Kembali [pulang], Tuhan berpesan pada Nabi: jangan berucap kasar. Jangan berhati keras. Bermusyawarahlah, maafkanlah mereka. Kalau kamu bersikap keras dan berhati keras, mereka akan lari dari kamu. Jadi, walaupun sebenarnya mengikuti usul mereka itu sudah jelas dampak buruknya, Nabi tetap disuruh bersikap baik. Bermusyawarah. Karena kalau kamu bersikap keras, mereka akan lari.

Manusia itu harus direbut hatinya. Dan Anda tidak bisa merebut hati manusia dengan uang atau dengan janji.

Cucu Quraish Shihab datang

(Cucu) Assalamua’alaikum

(Quraish) Wa’alaikumsalam. Ini siapa? (menunjuk diri sendiri) siapa ini?

(Cucu) Jiddu.

(Quraish) Jiddu. Dia tidak bilang habib.

Jiddu itu artinya?

Kakek.

Tidak ada yang memanggil habib?

Ya, di atas mereka [kakak-kakaknya], iya. Setelah itu, saya lihat sudah semakin inflasi [panggilan habib], sudahlah tidak usahlah. Panggil “jiddu” saja.

Keputusan yang baru kira-kira, ya?

Keputusan baru.

Jadi habib itu sebenarnya orang yang dikasihi?

Habib itu orang yang mengasihi dan dikasihi. Jadi kalau “mengasihi” dalam bahasa Arab itu artinya “muhib”. Kalau “yang dikasihi” itu “mahbub”. Kalau “habib”, bisa berarti subjek bisa berarti objek. Jadi, “habib” tidak boleh bertepuk sebelah tangan, hanya mau dicintai tapi tidak mencintai orang.

Dan itu porsinya sama besarnya, ya?

Oh iya, prinsipnya dalam hidup ini, sebanyak Anda menerima mestinya sebanyak itu pula Anda memberi. Mestinya begitu. Bulan memberi cahayanya sebanyak posisinya.

Tidak gampang, dong?

Itulah yang saya katakan. Tidak gampang. Iya? Lebah memberi madu sebanyak apa yang dia serap dari nektar-nektar. Mestinya kita terhadap Tuhan begitu. Tapi karena kita tidak mampu, maka Allah berkata, "sudahlah semampu kamu." Take and give.

Maksudnya mengasihi?

Mestinya, Anda melihat orang lain itu adalah diri Anda. Nah, sekarang begini. Ada orang butuh makan. Saya lihat dia butuh makan. Kalau saya melihat orang itu adalah saya, saya pasti beri dia makan. Kalau saya melihat dia orang lain, dan saya melihat diri saya sendiri, saya tidak akan kasih makan.

Seorang yang mencintai akan begitu, kalau perlu akan berkorban. Karena, dia melihat yang dicintainya adalah dirinya. Sahabat, begitu. Sahabat adalah diri Anda, tetapi dalam sosok yang lain.

Itu mengapa dulu tidak banyak ulama yang bisa dipanggil habib, walaupun sayid begitu banyak di Batavia?

Iya. sayid hanya karena garis keturunan, tapi garis keturunan tidak akan banyak manfaatnya kalau dia berakhlak buruk.

Dan tidak menjamin serta-merta masuk surga juga?

Oh, iya. Nabi berkata, kepada putrinya langsung, "Saya tidak bisa menolongmu, wahai Fatimah." Jadi jangan sembarang mau dipanggil habib atau memanggil habib.

Ada pesan untuk para ustaz yang mendapatkan mimbar?

Saya ingin berkata begini. Nabi sebelum ditugaskan untuk berdakwah, disuruh membaca. Wahyu pertama itu “Iqra!”. Di situ diperintahkan membaca dua kali: Iqra, bismi rabbika-lladzi khalaq. Khalaqa-l-insana min 'alaq. Iqra, wa rabbuka-l-akram.

Jadi, baca dulu. Iya, kan?

Nanti setelah itu turun ayat: Bangkitlah, untuk menyampaikan berita. Tapi masih disyaratkan: Agungkan Tuhanmu. Penampilanmu biar baik. Pakaianmu biar bersih. Tinggalkan segala macam kekotoran. Fisik atau non-fisik. Dan jangan memberi dengan mengharap menerima lebih banyak. Jangan jual agamamu.

Ini [banyak yang] tidak membaca sebelum syiar, membaca paling Habib Google. (bersambung)

Baca juga artikel terkait HABIB atau tulisan lainnya dari Zen RS

tirto.id - Indepth
Reporter: Zen RS & Ahmad Khadafi
Penulis: Zen RS
Editor: Maulida Sri Handayani