tirto.id - Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Andi Komara, menunjukkan sejumlah kampanye penolakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang membagikan draf yang salah.
"RUU PKS yang benar, yang bukan hoaks, adalah yang ada di [website] DPR," kata Andi kepada reporter Tirto saat ditemui di Jakarta Pusat, pada Rabu (6/2/2019).
Andi mengimbau kepada masyarakat untuk lebih kritis dan memerhatikan bentuk draf RUU PKS yang dibagikan, terutama oleh kelompok yang menolak. Ia menegaskan bahwa draf yang asli adalah yang dapat diakses di website DPR.
Salah satu bentuk potongan draf yang banyak beredar, atau dijadikan bahan dasar untuk penyerangan RUU PKS adalah poin yang mengatur terkait cara berpakaian, termasuk jilbab.
"Itu gak ada," tegasnya.
Andi menjelaskan bahwa wajar jika memang banyak draf yang beredar. Pasalnya, dalam proses pembentukannya, banyak pihak yang memang dapat mengajukan soal bagaimana bentuk RUU PKS yang ideal. Namun, draf yang dibahas DPR adalah yang dicantumkan di website resmi instansi tersebut.
Saat ini, Andi sebagai perwakilan dari LBH Jakarta, dan sejumlah lembaga lainnya, bergabung dalam Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3).
"Kami [JKP3] luruskan [informasi salah soal RUU PKS] melalui kampanye, media sosial, konferensi pers ke beberapa media," kata Andi.
Naila Rizki Zakiyah, pengacara Publik LBH Masyarakat, menjelaskan apa tujuan dan poin-poin yang memang terdapat dalam RUU PKS.
“Jadi sebenernya gini, kenapa kawan-kawan, terutama pendamping hukum, atau aktivis itu terus menyerukan pengesahan RUU PKS? Ini berangkat dari pengalaman korban, kawan-kawan pendamping hukum, yang saat terjadi kekerasan seksual, mereka tidak bisa mendapatkan keadilan secara hukum, karena tidak ada hukum yang mengaturnya,” jelas Naila.
Naila juga menjelaskan bahwa selama ini kekerasan seksual hanya diatur dalam dua poin, yakni pemerkosaan dan pencabulan. Pemerkosaan memerlukan banyak bukti, termasuk adanya kekerasan di dalamnya, atau adanya jejak sperma.
Dalam RUU PKS, ada sembilan poin terkait bentuk kekerasan seksual. Beberapa di antaranya memang sebelumnya belum diatur oleh hukum.
Naila menjabarkan kesembilan bentuk kekerasan adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan pemasangan alat kontrasepsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan penyiksaan seksual.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri