Menuju konten utama

Bank Perlu Lakukan Edukasi Agar Tak Rugikan Konsumen KPR

Penelitian YLKI pada triwulan-I 2016 menemukan selama ini bank tidak cukup memberikan akses informasi dan edukasi kepada konsumen dalam melakukan penawaran produk KPR. Akibatnya, konsumen seringkali dirugikan atas isi perjanjian kredit termasuk dampak dan kemungkinan timbulnya akibat hukum.

Bank Perlu Lakukan Edukasi Agar Tak Rugikan Konsumen KPR
(Ilustrasi). Antara Foto/Wahdi Septiawan.

tirto.id - Penelitian YLKI pada triwulan-I 2016 menemukan selama ini bank tidak cukup memberikan akses informasi dan edukasi kepada konsumen dalam melakukan penawaran produk KPR. Akibatnya, konsumen seringkali dirugikan atas isi perjanjian kredit termasuk dampak dan kemungkinan timbulnya akibat hukum.

Hal tersebut diperparah dengan sikap lepas tangan pihak bank atas wanprestasi developer “nakal” dalam berbagai bentuk, mulai dari gagal bangun, status tanah dan bangunan bermasalah, dan tidak adanya kepastian refund.

“Oleh karena itu, konsumen perlu mendapat informasi dan edukasi yang cukup dalam setiap tahapan penawaran/pemasaran KPR sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan pembelian rumah. Hal ini karena KPR akan mengikat konsumen dalam jangka panjang,” kata Peneliti Koalisi Responsi Bank dari YLKI. Sularsi dalam siaran pers yang diterima Tirto.id, Kamis (14/4/2016).

Kendati demikian, YLKI menilai perbankan sampai saat ini masih dibutuhkan dalam memfasilitasi pembelian rumah melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sebab harga rumah melambung tinggi dan tidak terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Hulu persoalannya, menurut YLKI, jumlah backlog yang mencapai 13,5 juta unit rumah pada tahun 2014, tidak diimbangi dengan jumlah ketersediaan rumah yakni sebesar 400.000 unit per tahun. Oleh karena itulah keterlibatan bank masih dibutuhkan.

Namun YLKI memberikan catatan, keterlibatan bank dalam penyediaan properti ternyata tidak menjamin proses penyediaan rumah dan KPR bebas dari masalah. Selain persoalan keterbatasan informasi dari bank ke konsumen, penelitian juga mengungkap masalah lain yakni Perjanjian Kerja Sama (PKS).

YLKI menilai PKS tersebut tidak memberikan perlindungan kepada konsumen seperti pembatasan pilihan produk KPR; dan kurangnya koordinasi antara OJK dan Kemenpu-Pera dalam praktek di lapangan.

Sementara itu, Rotua Tampubolon, koordinator ResponsiBank Indonesia dari Perkumpulan Prakarsa menambahkan "Perbankan merupakan salah satu pihak yang turut bertanggungjawab atas berbagai permasalahan yang dialami oleh konsumen di sektor properti. Praktik bisnis yang tidak sehat ini tidak bisa terus dibiarkan. Pemerintah perlu membuat aturan yang lebih tegas untuk melindungi konsumen sektor properti, terutama mereka yang menggunakan fasilitas KPR dari bank."

Baca juga artikel terkait KPR atau tulisan lainnya

tirto.id - Bisnis
Reporter: Agung DH