tirto.id - Hidup adalah pilihan adalah adagium lama yang diyakini sebagian orang. Sebagian lain percaya bahwa kejadian atau tindakan dalam hidup ini terjadi di luar kemauan. Yang dihadapi hari ini bukanlah karena kita memilihnya, melainkan konsekuensi dari apa yang terjadi sebelumnya.
Paham kedua disebut determinisme. Ia menganggap kehendak bebas hanyalah ilusi. Tak ada pilihan dalam hidup.
Lalu, mana yang benar? Mana yang nyata?
Episode terbaru serial Black Mirror coba melempar diskusi itu lewat konflik yang dialami Stefan Butler (Fionn Whitehead), remaja depresi di 1984 yang sedang membuat sebuah gim baru, bernama Bandersnatch. Ia terobsesi pada novel sains-fiksi peninggalan mendiang ibunya berjudul sama, yang punya banyak alternatif akhir cerita. Stefan ingin para konsumen gimnya berpikir bahwa mereka bisa menentukan sendiri plot mana yang mereka kehendaki.
Yang tak Stefan ketahui: sejak awal film itu diputar, kita sebagai penonton telah berpartisipasi pada tiap-tiap pilihan dia. Mulai dari sarapan apa yang ingin ia makan, musik apa yang ingin ia dengar, sampai pilihan-pilihan brutal (lagi krusial) yang akan kita putuskan dalam hitungan detik. Ya, Netflix sedang memberikan kita pengalaman nonton yang berbeda.
Seperti gim yang ingin diciptakan Stefan, Netflix juga ingin kita (konsumennya) berpikir bahwa kitalah yang menentukan plot hidup sang karakter utama. Cara bercerita begini lebih populer di dunia gim. Ia biasa disebut choose-your-own-adventure (CYA).
Pada menit-menit pertama, kita akan menikmati jadi penentu semua keputusan yang akan diambil Stefan. Di layar akan selalu muncul kotak pilihan (kadang satu atau tiga, tapi lebih sering dua). Ia dibatasi waktu, yang disediakan agar kita bisa berpikir. Waktu ini juga berfungsi jadi pengikat agar penonton makin tenggelam dalam kisah hidup Stefan, seolah-olah kita benar-benar menentukan sesuatu, dan cemas pada konsekuensinya.
Kita akan berandai-andai, apa yang terjadi jika kita memilih opsi lain? Bagaimana jika ternyata kita mengambil keputusan yang salah? Akankah ceritanya berbeda jika Stefan tak makan Frosties dan lebih memilih mendengar Phaedra daripada The Bermuda Triangle?
Sampai akhirnya, tiba-tiba film berhenti saat kita lebih memilih menyiram komputer Stefan dengan teh panas ketimbang menggebrak meja. Layar kemudian akan menampilkan dua kotak televisi kuno yang mengisyaratkan kita untuk memulai lagi petualangan itu dengan pilihan yang berbeda.
Di tahap ini, kita mungkin akan sadar dua hal: satu, bahwa semua pilihan-pilihan itu nyata dan punya konsekuensi; dan dua, plot hidup Stefan punya banyak alternatif, tergantung pilihan yang akan kita ambil. Kedua-duanya akan menciptakan ilusi, bahwa hidup adalah pilihan. Seolah-olah Stefan memang punya kehendak bebas (free will) yang amat bergantung pada jari (atau insting) kita, sang penonton.
Namun, benarkah demikian? Bagaimana jika semua pilihan itu sudah ditentukan?
Bukankah semua pilihan-pilihan Stefan sudah ditentukan Charlie Brooker sang pencipta Black Mirror dan rekannya David Slade, sang sutradara?
“Come on. If there’s someone there, just give me a sign!” tiba-tiba Stefan mendongak dan berteriak ke arah langit-langit kamarnya. Ia bicara kepada kita, penonton, tapi ia tak tahu di mana arah mata kamera.
Stefan mulai sadar bahwa keputusan-keputusan yang ia buat bukan datang dari dirinya, dan ada seseorang atau sesuatu yang mengarahkannya. Di titik ini, Stefan beberapa kali berusaha melawan pilihan yang kita buat. Misalnya, ia tak akan mencongkel lubang telinga atau menggigit kuku. Sebelumnya, ia tak yakin: apakah memang ada seseorang yang mengatur hidupnya atau dia mulai gila karena terobsesi mewujudkan alternatif plot untuk gimnya? Apakah ia juga jadi gila seperti Jerome F. Davies, penulis novel Bandersnatch?
Seiring realisasi yang dialami Stefan, kita juga mulai sadar (atau kembali sadar), bahwa pilihan-pilihan yang ada bukan serta-merta karena kita punya pilihan; bahwa apa pun yang akan kita pilih, nyatanya telah disiapkan Brooker dan Slade; bahwa sebenarnya cerita Stefan adalah sebuah plot utuh, yang memang punya sejumlah ujung alternatif; bahwa kisah ini punya ujung adalah sebuah keniscayaan.
Saya tak akan membeberkan apa saja ujungnya, sebab tak penting bagaimana akhir dari kisah karakter ini. Apa pun ujungnya, Bandersnatch akan menyuguhkan Anda diskursus tentang kehendak bebas versus determinisme.
Cara Menonton Baru
Selain jumlah ending dan bagaimana cara menonton film interaktif ini, diskusi lain yang muncul ketika Bandersnatch rilis—akhir Desember kemarin—adalah: akankah ia jadi tren baru dalam cara kita menonton?
Sebagian kritikus mengkritik jalan cerita naskahnya yang dianggap tak sekuat film tradisional. Sebagain lain memuji cara baru bertutur dalam film yang coba dipopulerkan Netflix lewat Bandersnatch. Tak bisa dimungkiri, cara interaktif ini memang cuma cocok dengan gaya menonton streaming yang belakangan makin populer. Masih sulit untuk membayangkan film serupa Bandersnatch kita tonton di bioskop konvensional.
Late Shift, film interaktif pertama yang pernah dirilis pada 2016 silam, memang pernah ditayangkan di bioskop. Para penonton akhirnya dilengkapi dengan alat voting, yang akan menentukan pilihan sang aktor utama. Tapi, sensasinya pasti akan berbeda jika Anda menentukan ujung kisah Anda sendiri, dibanding ketika Anda memutuskannya secara demokrasi.
Namun, bukankah perdebatan tentang cara menonton yang baru ini juga berakhir sebagai pilihan? Atau sebenarnya, sebuah ending sudah disiapkan buat kita, dan apa pun pilihannya: kita akan menuju ke sana.
Editor: Maulida Sri Handayani