Menuju konten utama

Bahaya (Pasal) Dukun Santet

Dukun santet akan menjadi (pelaku) kriminal dalam KUHP terbaru. Isu dukun santet kerap membuat tertuduh jadi kambing hitam dalam situasi krisis politik.

Bahaya (Pasal) Dukun Santet
Seorang dukun santet mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto/CaptureYoutube

tirto.id - “Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan, menawarkan atau menentukan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental, atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau dikenakan denda paling banyak Kategori IV.”

Begitu penggalan bunyi Pasal 295 KUHP yang disetujui Panitia Kerja Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di DPR. Pemerintah pun akhirnya mau melibas orang yang belajar Marxisme dan komunisme, tetapi juga orang-orang yang lebih populer dengan sebutan dukun santet.

Ini tentu mengagetkan. Selain perdebatan teknis hukum, misalnya soal cara pembuktian pidana, ia menjadi pembicaraan karena dukun santet bagaimanapun menjadi bagian organis masyarakat Indonesia sejak lama.

Dalam sejarah nusantara, cerita soal dukun santet yang identik dengan ilmu hitam atau teluh pernah ada di zaman raja Airlangga di Jawa Timur. Cerita tentang Calon Arang, dukun santet wanita cantik di Bali, cukup terkenal. Penulis besar Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer atau Toety Heraty pun pernah membuat cerita soal Calon Arang.

Meski sakti, karena punya ilmu hitam yang bisa mendatangkan celaka bagi siapa saja, hidupnya pun dijauhi masyarakat. Para laki-laki mendekati putrinya yang cantik dan nyaris jadi perawan abadi. Dalam cerita, Raja Airlangga akhirnya menikahi putri Calon Arang. Namun, hidup Calon Arang berakhir tragis setelah pertarungannya dengan Mpu Barada.

Santet atau teluh adalah ilmu purba nusantara. Sebelum ilmu pengetahuan modern berkembang melalui sekolah, ilmu teluh atau santet sudah mengakar. Ketika keadilan tak didapat dari para penguasa, dukun santet bisa dianggap sebagai pemberi keadilan. Membalaskan dendam misalnya. Tentu para dukun melakukannya lewat udara yang tak kasat mata.

Hingga Indonesia memasuki zaman modern lewat kolonialisme, ilmu-ilmu hitam itu masih hidup. Bahkan sampai hari ini.

Masruri dalam bukunya The Secret of Santet menulis, santet juga berkembang di Eropa sekitar tahun 1450 hingga 1750an. Sampai tibalah kemarahan massa terhadap para dukun santet dengan cara membakar hidup-hidup mereka. Di Amerika Serikat, tepatnya di wilayah bersama Salem, Massachusetts, di tahun 1692 pun pernah terjadi pembunuhan terhadap ratusan orang yang dituduh sebagai penyihir. Para perempuan dibakar hidup-hidup.

Hebatnya, di Indonesia pembunuhan besar-besaran terjadi di tahun 1998. Akhir tragis dukun santet terbesar di Indonesia itu terjadi di Banyuwangi, di mana orang-orang yang dituduh menjadi dukun santet jadi sasaran amuk berujung kematian. Isu dukun santet itu juga diwarnai isu soal pembunuh senyap para dukun yang disebut ninja.

Namun, yang menjadi korban ninja itu justru dukun suwuk (penyembuh), tokoh masyarakat (RT/RW), bahkan guru mengaji. Pembunuhan-pembunuhan itu marak di bulan Agustus-September 1998.

Pada 6 Februari 1998, Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik, mengeluarkan radiogram untuk mendata orang-orang yang diperkirakan memiliki ilmu hitam, agar orang-orang tersebut diamankan. Tapi yang terjadi malah melonjaknya angka pembunuhan. Yang terbunuh mencapai 2 hingga 9 orang per hari. Data pemerintah Kabupaten Banyuwangi mencatat ada 115 orang tewas, sementara versi Tim Pencari Fakta dari Nahdlatul Ulama menyebut 147 orang jadi korban.

Menurut M.F. Nurhuda dalam Pergulatan Membela Yang Benar: Biografi Matori Abdul Djalil (2008), para ninja yang tak jelas jejaknya setelah pembunuhan itu disebut sebagai pelakunya oleh kelompok militer tertentu. Kelompok pembunuh itu disebut Amuk Naga Hijau. Matori Abdul Djalil menyebutnya sebagai operasi intelijen.

Tujuannya untuk melemahkan masyarakat bawah yang dekat dengan Nahdatul Ulama (NU). Ketika itu, pembunuhan dukun santet yang dimulai rezim Soeharto kebetulan mulai goyah, sampai akhirnya Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998.

“Bagi penduduk di desa-desa di Banyuwangi, dukun santet dipercaya merupakan ancaman kronis dan dekat dengan diri mereka. Selama bertahun-tahun tetangga atau paman salah satu warga desa mungkin telah menggunakan kekuatannya untuk hal-hal gelap dan menyebabkan berbagai musibah termasuk kematian,” tulis Nicholas Herriman dalam Negara vs Santet (2013).

Ketakutan yang begitu besar terhadap dukun santet itu diatasi, dengan satu-satunya cara bagi mereka, yakni membunuh dukun santet tersebut. Meski melanggar hukum, itu dianggap sebagai langkah terbaik.

Infografik pembunuh berlatar dukun santet

Isu dukun santet disinyalir telah merusak hubungan antarwarga di desa-desa Jawa Timur. Dalam bukunya, Mencintai Indonesia Dengan Amal: Refleksi Atas Fase Awal Demokratisasi (2004), Eep Saefullah Fatah menceritakan kawannya Aguk Wahyu Haryadi yang melihat rusaknya tatanan sosial di Banyuwangi setelah geger pembunuhan dukun santet 1998.

“Kerukunan, rasa aman, saling percaya, saling hormat, yang dulu menjadi salah satu identitas Banyuwangi sudah hampir tak tersisa,” kata Aguk. Tak hanya rasa percaya terhadap aparat saja yang hilang, tapi juga karakter sosial.

Ilmu santet di daerah Banyuwangi sendiri punya sejarah panjang. Masruri punya pendapat menarik. Menurutnya, ilmu santet dimiliki oleh orang-orang Majapahit yang dikalahkan penguasa Demak. Ilmu santet yang semula hanya miliki kalangan terbatas, akhirnya disebarkan ke kalangan rakyat biasa sehingga banyak orang berbakat jadi dukun santet.

Kebetulan, Banyuwangi yang dianggap daerah Blambangan itu menjadi wilayah terakhir yang tak bisa ditaklukkan penguasa Jawa yang beragama Islam. Mereka masih menganut kepercayaan awal mereka, baik Hindu maupun kepercayaan lokal mereka. Santet dianggap ilmu non-Islam.

Agama Islam sendiri akhirnya pelan-pelan menyebar ke daerah Banyuwangi, namun kepercayaan lokal dan budaya masyarakat asli Banyuwangi yang disebut Osing masih hidup. Ilmu santet salah satunya. Sampai akhirnya muncul pembantaian dukun-dukun santet di Banyuwangi itu.

Pembunuhan terhadap dukun santet tak hanya terjadi di Banyuwangi. Setelah Banyuwangi di tahun 1998, Di Pangandaran juga terjadi pembantaian pada 1999. Menurut hasil penyelidikan dan penyidikan Kepolisian Resort Ciamis, sebanyak 37 orang menjadi korban karena dituduh dukun santet. Setelahnya, pembunuhan terhadap orang yang dianggap dukun santet bahkan masih terjadi.

Desember 2015, seorang laki-laki berusia setengah abad di desa Pangereman Barat, Kecamatan Batumarmar, Pemekasan, bernama Munir dikeroyok hingga tewas. Ia dianggap dukun santet. Banyak warga yang bisa jadi saksi atas pembunuhan itu, namun mereka menolak bersaksi di pengadilan. Bahkan tahun ini masih ada yang menjadi korban tudingan. Sirat, yang dianggap dukun santet di Pasongsongan, Sumenep, terbunuh.

Semua masalah di atas itu menunjukkan satu hal: jika tanpa pasal yang menjerat dukun santet saja sudah begitu banyak tindakan main hakim sendiri, bagaimana jika dikukuhkan status perbuatannya sebagai pidana. Berapa banyak nanti penjara yang akan terisi oleh mereka-yang-disebut-dukun-santet? Jangan sampai ini menambah fobia yang menjalar menjadi persekusi.

Baca juga artikel terkait DUKUN SANTET atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Hukum
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani